Mohon tunggu...
nicholas adhitya
nicholas adhitya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hanya tugas jangan dipedulikan

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Acaman Politik Identitas dan Polarisasi Masyarakat dalam Pemilu 2024

22 Juni 2024   19:26 Diperbarui: 22 Juni 2024   20:09 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Pemilu 2024 menjadi ajang penting dalam demokrasi Indonesia, memberikan kesempatan bagi rakyat untuk memilih pemimpin mereka. Namun, pemilu ini juga diwarnai oleh polarisasi identitas yang semakin mengemuka. Polarisasi merujuk pada perpecahan tajam dalam masyarakat berdasarkan identitas politik, agama, etnis, dan lainnya. Dalam konteks politik, identitas menjadi faktor yang semakin dominan dalam memengaruhi pilihan pemilih, seringkali menciptakan garis pemisah yang kuat di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.

Media sosial memainkan peran signifikan dalam memperkuat identitas politik dan polarisasi. Platform seperti Facebook, Twitter, dan Instagram menyediakan ruang bagi individu untuk berinteraksi dengan informasi dan pandangan yang sejalan dengan keyakinan mereka, menciptakan fenomena "filter bubble" dan "echo chamber". "Filter bubble" terjadi ketika algoritma media sosial menyaring konten yang ditampilkan kepada pengguna berdasarkan preferensi dan aktivitas mereka sebelumnya. Akibatnya, pengguna cenderung terpapar hanya pada informasi yang mendukung pandangan mereka sendiri, mengisolasi mereka dari pandangan yang berbeda. "Echo chamber" merujuk pada situasi di mana pandangan yang sama berulang kali diperkuat dalam kelompok tertentu tanpa adanya masukan dari perspektif yang berbeda. Kondisi ini memperkuat polarisasi dengan membuat pengguna terpapar pada narasi yang homogen, mengurangi paparan terhadap pandangan yang berbeda, dan sering kali memicu perdebatan sengit di dunia maya.

Strategi kampanye politik juga sering kali memanfaatkan isu-isu identitas untuk meraih dukungan. Para politisi dan partai politik cenderung menggunakan narasi yang menonjolkan perbedaan identitas, baik itu berdasarkan agama, etnis, atau orientasi politik, untuk memperkuat basis pendukung mereka. Misalnya, penggunaan simbol-simbol agama atau etnis dalam kampanye, serta retorika yang mengedepankan perbedaan dan ketidakpercayaan terhadap kelompok lain, sering kali dijadikan alat untuk meraih simpati pemilih. Namun, pendekatan ini berisiko memperkuat stereotip dan diskriminasi, serta meningkatkan ketegangan antar kelompok dalam masyarakat. Stereotip yang negatif terhadap kelompok lain dapat memicu prasangka dan perilaku diskriminatif, yang pada akhirnya dapat mengganggu harmoni sosial.

Polarisasi identitas membawa dampak signifikan pada masyarakat, termasuk fragmentasi sosial dan ketidakseimbangan pandangan. Ketika masyarakat terpecah berdasarkan identitas, muncul konflik dan ketidakpercayaan antar kelompok. Hal ini dapat mengganggu kohesi sosial dan menciptakan lingkungan yang kurang kondusif untuk dialog dan kerjasama. Fragmentasi masyarakat dapat memicu isolasi sosial, di mana individu lebih cenderung bergaul dengan kelompok yang sependapat, mengurangi interaksi dengan kelompok lain. Ketidakpercayaan antar kelompok dapat memicu konflik terbuka dan kekerasan, yang merusak tatanan sosial dan menghambat pembangunan masyarakat yang harmonis.

Mengatasi polarisasi identitas memerlukan pendekatan yang holistik. Pendidikan politik inklusif yang menekankan nilai-nilai persatuan dan keberagaman sangat penting untuk meningkatkan kesadaran masyarakat. Pendidikan politik harus dirancang untuk mengajarkan nilai-nilai demokrasi, toleransi, dan keberagaman, serta pentingnya persatuan dalam keberagaman. Selain itu, dialog antar-kelompok perlu didorong untuk membuka ruang komunikasi yang lebih terbuka dan saling memahami. Dialog ini bisa berupa forum diskusi, lokakarya, atau kegiatan lain yang memungkinkan pertukaran pandangan antara kelompok yang berbeda. Pemimpin politik juga memainkan peran krusial dalam memperkuat persatuan dan menolak retorika yang memecah belah. Pemimpin yang bijak harus mampu menjadi teladan dalam mengedepankan kepentingan bersama di atas kepentingan kelompok, serta mempromosikan nilai-nilai persatuan dan inklusivitas.

Mengatasi polarisasi identitas dalam konteks Pemilu 2024 adalah tantangan yang mendesak. Penting bagi masyarakat untuk berperan aktif dalam membangun kesadaran akan persatuan dan keragaman, serta menolak narasi yang memecah belah. Dengan demikian, demokrasi Indonesia dapat terus berkembang dengan semangat kebersamaan dan inklusivitas. Persatuan dalam keberagaman adalah kunci untuk menciptakan masyarakat yang adil dan harmonis, di mana setiap individu merasa dihargai dan memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial dan politik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun