Â
Hal apa yang ada dalam benak anda ketika melihat seorang bapak dengan usia senja sedang mengadahkan tangannya di sebuah perempatan, atau jika seorang ibu dalam terik matahari sembari menggendong anak kecil mengulurkan tangan untuk sekedar meminta belas kasihan dari kita pengguna jalan? Tentunya mereka berharap untuk mendapatkan beberapa keping receh atau selembar uang seribuan. Ketika mereka mendapatkan uang, di pikiran kita tentu mereka akan menggunakannya untuk membeli makanan atau kebutuhan yang lainnya. Namun apa benar sesederhana itukah hal yang terjadi?
Â
Tidak. Pengemis di beberapa tempat sudah dilakukan sebagai pilihan profesi, bukan sekedar meminta belas kasihan karena mereka tidak mempunyai pekerjaan. Berikut beberapa fakta mencengangkan tentang pengemis yang ada di sekitar kita.
Â
1. Mengemis itu profesi
Ketika kita beranggapan bahwasanya pengemis adalah orang yang tidak mempunyai pekerjaan dan tidak mempunyai uang, maka anggapan anda tersebut tidak sepenuhnya benar. Beberapa orang memilih untuk mengemis daripada bekerja, karena dengan mengemis mereka dapat mendapatkan uang dengan cara yang sangat mudah. Di beberapa tempat di Jawa Tengah dan Jawa Timur terdapat desa pengemis, kebanyakan penghuni desa tersebut memilih untuk berprofesi sebagai pengemis, dan dapat dilihat rumah-rumah disana bukanlah rumah yang kumuh, kotor dan tidak terawat. Namun sebaliknya rumah-rumah disana berdiri sangat layak dan tidak ada kesan bahwa pemiliknya adalah seorang pengemis.
Â
2. Struktur organisasi jelas
Siapa bilang struktur organisasi hanya ada di perusahaan atau tempat anda bekerja? Para pengemis profesional ini sangat tertata struktur organisasinya. Ada koordinator lapangan yang menentukan dimana mereka akan bekerja, di atas koordinator tentu ada seorang big boss yang menerima upeti dari setiap pengemis yang ada di dalam wilayah kekuasaannya. Ketika saya bersekolah dulu saya pernah mendapatkan kejadian yang mencengangkan, secara tidak sengaja angkot yang saya tumpangi berhenti di satu terminal untuk menunggu penumpang lain. Ketika angkot tersebut berhenti, saya mendapati ada beberapa orang pengemis yang "setor" hasil kerja mereka pada hari itu, dan yang lebih membuat saya tidak dapat berkata-kata, sekitar 10 menit kemudian datanglah sebuah motor delivery fast food yang terkenal dengan badut berhidung besar, mengantarkan sepaket makanan cepat saji lengkap dengan kentang goreng dan minuman bersoda kepada sang big boss tersebut.
Â
3. Memanfaatkan rasa iba
Yap rasa iba dari kita, itulah yang digunakan oleh para pengemis profesional untuk mendapatkan uang. Tentu kita akan berpikir "Ah tidak ada salahnya juga, hanya beberapa keping uang receh atau selembar seribu-an", namun seberapa banyak uang yang dihasilkan jika dalam satu hari 1% dari total penduduk Indonesia berpikir demikian? Proyeksi BPS pada 2015 jumlah penduduk sebesar 250 juta jiwa, jika 1% dari total penduduk memberikan 200 rupiah maka dalam satu hari terdapat 5 milyar rupiah perputaran uang yang dihasilkan oleh para pengemis ini. Jumlah yang luar biasa bukan?
Â
Kemudian bagaimana sebaiknya kita menyikapi para pengemis profesional ini? Bukankah dalam satu buku ada tulisan "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku". Bukankah kita dituntut untuk mengasihi sesama kita?
Ketika saya memilih memberi kepada pengemis, saya tidak memberinya uang tunai. Saya lebih memilih untuk memberi mereka snack atau jajanan ringan, karena saya tahu snack dan jajanan ringan itu tidak mungkin mereka setor kepada big boss mereka. Kita memang dituntut untuk saling mengasihi, namun bukankah kita juga harus cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati?.
Â
ilustrasi: dreamstime.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H