Mohon tunggu...
Nicha Muslimawati
Nicha Muslimawati Mohon Tunggu... -

Agronomy and Horticulture IPB 2009

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Si Pohon

2 Maret 2013   07:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:27 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku sudah tua. Daun-daunku sudah mulai jarang. Batang-batangku sudah banyak yang berpatahan dan berdiriku tak lagi tegak dan tegap, namun sudah membungkuk, layaknya seorang manusia berusia 100 tahun.

Aku iri sekaligus kasihan pada mereka.

Umur mereka begitu pendek, namun mereka diberkahi oleh kaki yang membawa mereka ke tempat-tempat lain. Daerah lain, dunia lain, yang hanya bisa kulihat dan kudengar melalui cerita-cerita dan gambar-gambar. Lautan, gunung, gedung tinggi, hutan belantara, padang pasir dan berjuta-juta macam lainnya. Oh, betapa aku iri.

Sepanjang hidupku, aku selalu di sini. Di dekat sebuah rumah yang kini sudah bertingkat dua dan bercat putih. Dulunya, rumah itu mungil sekali dan keluarga yang tinggal baik sekali padaku. Menyiramiku secara rutin. Menanam teman-teman kecilku, bunga-bungaan, keladi, rerumputan, dan banyak lagi, sehingga aku tak kesepian.

Namun keluarga baik itu terpaksa pindah dan rumah itu dibiarkan kosong bertahun-tahun. Teman-temanku tak ada lagi yang merawat sehingga mereka perlahan-lahan layu dan mati. Aku menangisi mereka setiap kali, kembali takut akan rasa sepi yang menaungi diriku sebelum rumah itu dibangun.

Temanku yang terakhir adalah pohon pepaya kecil yang tumbuh tak sengaja saat seseorang membuang bijinya di dekatku. Walaupun masih kecil, tetapi ia kuat sekali. Kita mengobrol banyak, saling bercerita. Menikmati angin semilir dan matahari pagi yang hangat bersama-sama. Menuntaskan dahaga dengan hujan rintik-rintik setelah kemarau yang panjang. Musim berganti musim. Hujan badai dan terik matahari kemarau kita hadapi dan lalui bersama-sama.

Namun, belum sempat ia berbuah, seorang anak beserta ibunya menebangnya dan memakan daunnya. Sebelum mati, ia bilang padaku bahwa hidupnya sangat bahagia berada disisiku dan ia amat berterima kasih. Aku menangis berhari-hari, berminggu-minggu.

Dan untuk bertahun-tahun lamanya, aku sendirian lagi.

Hingga suatu hari, keluarga manusia itu kembali. Tetapi kini mereka sudah tua dan datang bersama pasangan dan seorang anak kecil berusia 10 tahun. Mereka tampak kagum denganku yang masih berdiri, walau kini daun-daunku mulai banyak berguguran. Mereka merenovasi rumah itu dan membangun dua tingkat lagi sebagai tempat tinggal pasangan baru itu dan
anaknya.

Entah mengapa, si anak amat menyukai diriku. Selalu menghabiskan waktu duduk-duduk di antara akar-akarku. Kadang-kadang memanjatiku dan duduk bersandar di salah satu batang sambil membaca buku atau cerita bergambar. Ia membawa teman-teman seusianya untuk memanjatiku, berkumpul bersama-sama, membaca, tidur siang, dan sebagainya.
Untuk pertama kalinya, aku merasa nyaman berteman dengan manusia. Dan mereka tampaknya nyaman berteman denganku. Aku bahagia sekali, tak lagi merasa kesepian.

Namun suatu kejadian buruk terjadi. Si anak sedang memanjat salah satu batangku dan tiba-tiba batang itu patah dan ia terjatuh. Untungnya ia hanya terluka ringan. Tapi hatiku hancur menyadari bahwa aku bisa saja membunuhnya. Dasar batang sial! Kenapa kau tak kuat menahan berat tubuhnya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun