Mohon tunggu...
N.P. KADIR
N.P. KADIR Mohon Tunggu... Insinyur - * Ph.D. Candidate * * Civil Engineer *

* Universiteit Twente * The Netherland *

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Merdeka, Air, dan Pandemi

10 September 2020   10:15 Diperbarui: 10 September 2020   10:22 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Merdeka

Merdeka adalah kata sifat, menurut KBBI mempunyai pengertian "bebas (dari perhambaan, penjajahan, dan sebagainya); berdiri sendiri". Diluar Kamus besar, definisi merdeka tentu subjektif, dan bukan karena tidak berhak mendefinisikan merdeka, akan tetapi lebih kepada malu karena tidak pernah bergerilya dihutan, tidak pernah meninggalkan anak istri untuk perjuangan fisik, atau tidak pernah menjadi diplomat yang bermanuever demi kemerdekaan di meja perundingan. 

Pun sebagai millenial, usaha untuk mengisi kemerdekaan terasa tidak ada jika dibandingkan dengan manfaat yang diberikan negara. Dengan demikian mengutip pahlawan  adalah pilihan yang paling tepat untuk menjelaskan kata merdeka. Harapan penulis, kita semua setuju, bahwa Undang Undang Dasar 1945 itu adalah amanat founding father. 

Kemudian, salah satu amanat tersebut adalah  UUD 1945 Pasal 33 (3) yang bunyi adalah "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat."

Khusus pasal 33 (3) ini, terdapat dua amanat yang dititipkan dimana "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya (...)" diamanatkan (wajib).

(1) "(...) dikuasai Negara (...)";

(2) "(...) dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat."

Penulis tidak melanjutkan pembahasan terhadap Undang Undang yang ada di bawah UUD 1945 seperti UU Sumber Daya Air No.7/2004 atau penggantinya. Meskipun UU SDA no.7/2004 itu adalah hukum positif dan konstitutional, Penulis memilih tidak membahasnya karena dua hal. Pertama karena Undang Undang tersebut tidak disusun oleh Pejuang, sehingga UU SDA No.7/2004 bukanlah amanat langsung mereka. Kedua, permasalahan motif. 

Motif penyusunan UU SDA Np.7/2004 sudah tidak dapat ditentukan lagi. Sebagai pembanding, motif mengelola kekayaan alam sendiri dapat kita sematkan kepada Pasal 33 (3) UUD 1945. Sedangkan motif penyusun UU SDA No.7/2004 tidak dapat diketahui karena penyusunnya lahir jauh setelah tahun tahun perjuangan, tentu tidak merasakan pahitnya perjuangan fisik, "mungkin" tidak paham arti merdeka. Tidak ada debat soal itu, dan harusnya tidak ada peraturan perundang undangan yang bisa membelokkan keinginan para pejuang kemerdekaan.

Merdeka dan Air

Fokus pada frasa pertama yaitu "(...) dikuasai Negara (...)". Frasa ini penting untuk menerjemahkan merdeka dalam kehidupan sehari hari,  ekonomi, bangsa dan negara. Berdasarkan frasa "dikuasai" Penulis mengganggap bahwa infrastruktur air (air perpipaan, irigasi) juga dikuasai oleh negara. Untuk memahami ini diperlukan sedikit imajinasi. Bayangkan jika infrastruktur air perpipaan kita dikuasai oleh negara lain (minsalnya dikuasai oleh minsalnya Inggris dan Perancis). 

Kemudian bayangkan  ketika terjadi perperangan dengan kedua negara tersebut. Maka sabotase terhadap fasilitas Instalasi Pengolahan Air minum akan berdampak dalam hitungan menit jika fasilitas instalasi pengolahan air minum yang menyuplai Istana Negara dikuasai oleh aggressor. 

Itulah sebabnya dalam teori peperangan modern infrastruktur yang dijaga oleh negara (dalam hal ini Militer) termasuk jaringan air perpipaan, jalur transportasi (bandara, jembatan, dan pelabuhan), kelistrikan, dan telekomunikasi. Dibeberapa negara, infrastruktur air minum tersebut disebut infrastruktur pertahanan. Menyerahkannya pada penguasaan asing sama saja dengan menyerahkan pertahanan kepada asing.

Merdeka, Air, dan Pandemi

Fokus kedua pada frasa "(...) dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat." Frasa ini sangat relevan pada saat pandemic seperti ini. Kalangan bersubsidi atau kalangan yang membayar dibawah ongkos produksi mengalami peningkatan beban. Terutama yang bekerja di sektor sektor yang harus berada di keramaian (pedagang Pasar, Penjaga Bioskop, dan sebagainya). Kebijakan bekerja dari rumah berdampak terhadap ekonomi mereka. 

Logikanya, penggunaan air lebih besar karena lebih banyaknya anggota keluarga yang bekerja dari rumah. Seharusnya kehadiran air minum perpipaan menjadi salah satu yang meringankan beban ekonomi mereka (dipergunakan sebesar besarnya bagi kemakmuran rakyat). Selain air perpipaan, penggunaan sumber air alternative seperti air botolan maupun air tanah tidak dapat diandalkan, dan penggunaan air perpipaan (diharapkan) mampu menyelesaikan permasalahan.

Air perpipaan mampu meringankan beban pada saat pandemi disebabkan karena dua hal. Pertama karena kualitas air botolan mempunyai kelas yang berbeda beda.  Air botolan yang kualitas tinggi harus di bayar dengan harga yang mahal atau kualitas dan harga nya berbanding lurus. Sedangkan warga yang tidak mampu membayar lebih memilih air yang di jual dengan jerigen. 

Penggunaan air dalam jeriken tidak dapat diukur. Terlebih lagi, penggunaan kedua sumber air alternatif diatas melibat kontak fisik antara pembeli dan penjual (disarankan tidak terjadi pada saat pandemi). Kedua, Air perpipaan mengakomodir pelanggan yang tidak mampu membayar diatas ongkos produksi atau pelanggan bersubsidi.

Sehingga air perpipaan bersubsidi (karena dikuasai negara) dengan kualitas air yang dapat diminum adalah bentuk pemenuhan terhadap amanat pejuang kemerdekaan yaitu membantu rakyat yang ekonominya terhimpit (dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat) akibat tidak dapat bekerja karena pandemi corona.

Mudah sekali, kita merdeka apabila pada saat pandemi supplai air minum perpipaan mampu diandalkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun