Mohon tunggu...
Nia D Amberly
Nia D Amberly Mohon Tunggu... Freelance -

Mawar tidak pernah mempropagandakan wanginya.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

The Journey of Bunga #1

3 Februari 2016   04:44 Diperbarui: 9 Februari 2016   18:31 4
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalau Laskar Pelangi dan Negeri 5 Menara mengisahkan sekelompok mahasiswa yang berjuang susah-susah sampai akhirnya mereka sukses. Namun kali ini berkisah tentang Mahasiswa yang berjuang susah-susah hingga hampir setahun kelulusan nasibnya masih terkatung katung seperti arwah penasaran. Tidak sedikit orang-orang yang mencemooh keadaannya, yang menutup mata dan telinganya, tidak sedikit pula orang-orang yang masih mensupportnya.

Bunga, gadis keturunan Jawa tulen ini lahir di desa terpencil Pulau Sumatra, anak ke-4 dari 6 bersaudara yang masih memiliki keluarga lengkap. Ayahnya seorang guru SD yang gajinya jauh lebih kecil dari PNS-PNS pada umumnya. Ibunya pedagang somay yang berjualan kalau pas ada modal saja, keuntungnya pun tak seberapa. Mereka tidak mempunya penghasilan tambahan lain selain pekerjaan itu, sawah dan kebun tak punya. Kakak pertama laki-laki, tidak tamat SD, kerjanya masih serabutan. Kakak kedua perempuan, lulus Diploma 1 jurusan farmasi, tak lagi kerja, sekarang membantu ibunya berdagang, kakak ketiga bekerja sebagai satpam SMA yang tidak jauh dari rumah. Sedangkan kedua adiknya masih mengenyam pendidikan di bangku sekolah.

Satu tahun yang lalu rumahnya masih bilik bambu, kayu-kayu yang mulai lapuk termakan usia dan tergerus rayap menyangga atap rumahnya. Ketika musim penghujan datang bersama dengan angin kencang kondisi rumah sudah dipastikan siaga 1. Setiap sudut ruang dari mulai kamar, ruang tamu, hingga dapur dipenuhi oleh baskom-baskom penadah air hujan yang bocor menyelinap lewat genting-genting berlubang. Ketika kemarau datang debu mudah masuk. Sekarang rumahnya sudah bata merah dan berlantai semen kasar. itupun dari potongan uang gaji ayahnya hingga beberapa tahun ke depan. Beruntung anak-anaknya dididik untuk belajar prihatin, tidak menomorsatukan gengsi, dan tidak terbawa arus hedon rekan-rekan seusia mereka.

Dari kondisi yang demikian itu, bunga memiliki harapan dan cita-cita besar untuk dirinya dan keluarganya. Pasca lulus dari SMA bunga terobsesi mengikuti tes untuk mendaftar ke Universitas Negeri, namun takdir belum berkehendak.

Sembari menenggelamkan obsesinya, Bunga melanjutkan kuliah di Sekolah Tinggi Swasta jurusan Pendidikan Matematika. Pada pertengahan semester 2 bunga mengalami kegalauan yang begitu dahsyat, keinginannya untuk berlanjut ke Perguruan Tinggi Negeri kembali muncul menggelora di dalam dada. Dalam benaknya kuliah di PTN adalah jembatan emas untuk menuju harapan-harapannya yang tinggi. Nampaknya Bunga terpengaruh oleh cerita-cerita sukses orang-orang yang lulus di PTN, belum lagi tuntutan dunia kerja yang selalu mencantumkan syarat “Lulus Perguruan Tinggi Negeri terakrediatasi A” pada kolom-kolom lowongan kerja yang mereka sughuhkan, dan ditambah beasiswa-beasiswa yang ditawarkan di PTN sangat bertebaran dibandingkan di Perguruan Tinggi Swasta. Itu semua semakin membulatkan tekadnya untuk melanjutkan obsesi yang sempat tenggelam.

 

Bersambung.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun