Mohon tunggu...
Niam At Majha
Niam At Majha Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat Buku dan Penikmat Kopi

Penulis Lepas dan Penikmat Kopi

Selanjutnya

Tutup

Diary

Gelang Harapan

17 Desember 2022   08:39 Diperbarui: 17 Desember 2022   15:54 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kapan terakhir kali kau menerima hadiah? Akutelah melupakannya atau sekadar bertukar kabar tentang kondisi saat ini. Aku pun tak ingin mencari-cari kabar tentangmu. Karena aku menyadari bahwa kita telah memiliki kehidupan masing-masing. Kau punya cinta aku pun jua.

 Akan tetapi tampaknya kau tak sebahagia seperti saat pertama kali bercinta, lambat laun perjalanan kisah keluargamu berbeda; apa pepatah mengatakan, apabila ketika sudah bersama akan tampak aslinya, akan terlihat watak sesungguhnya seperti apa. Sesal tiada guna. Kini kau baru menyadarinya apabila yang menjadi pilihanmu ketika itu, belum mampu membahagiakanmu sepenuhnya, kau kelimpungan mencari uang untuk memenuhi kebutuhan keluargamu.

Padahal tak sepatutnya kau berbicara seperti itu terhadapku, bahkan kau juga bilang yang mengucapkan "Selamat Tambah Umur" hanya aku saja yang mengucapkanya. Orang disampingmu tak mau tahu, karena kemesraan hanya ada ketika baru perkenalan, baru pendekatan, baru mengungkapkan cinta-cintaan, bahkan hingga setelah pelaminan, merasakan geliatnya persendian kencang.

 "Boleh minta sesuatu dihari ulang tahun saya, Pak?"

"Minta apa Bu?"

Setahun lalu, kita telah dipertemukan dengan ketidaksengajaan. Keadaan telah mempertemukan kita dan berujung kerinduan; yang jadi alibi kita untuk saling berkabar dan bertanya tentang keadaan sekarang. Bahkan takjarang lebih dari itu. Keakraban kita menjadi tanpa sekat, tanpa labirin.

"Intinya berkesan dan mudah diingat. Sejak nikah hingga mau punya anak tiga belum bahagia."

 "Jika tak bahagia kenapa dulu kau menikah dengannya, Bu?"

 Diam. Tanpa suara tanpa kata. Seakan kau terperangah dengan pertanyaanku barusan.

 "Saya menyesal menikah dengannya, Pak. Tidak seperti janji-janji manisnya sebelum menikah, semua kebutuhan keluarga, saya yang memikirkannya. Selain itu, saya melayaninya hanya sebatas saja. Saya sudah mati rasa, Pak. Dia sudah tak pernah memikirkan saya. Basa-basi apa gitu juga tidak. Dia menghampiri saya ketika butuh nafkah batin saja. Dan saya pun melayaninya tanpa kasih sayang—hanya sekadarnya saja."

Aku diam. Mencoba meraba-raba tentang apa yang barusan kau ucapkan. Hal itu benar adanya atau hanya mencari simpatiku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun