Pohon tak lahir, terlahir begitu saja. Sama halnya cintaku padamu Na; perlu mencari benih, tanah dan jambangan tempat ia berbagi rahasia, harapan dan proses hidup merdeka.
Pagi tadi sejumlah media membuat koma seluruh kota. Akhir-akhir ini kenapa budaya kekerasan dan kebencian tumbuh subur menjamur. Ada atas nama cinta, atas nama dendam, atas nama ketersinggungan; tak keliru jika saya kutip pernyataan guru Zen "Thich Nhat Hanh" sebagai praktisi meditasi yang hidup di periuhan globalisasi ia selalu menanamkan pentingnya membuka jalan kesadaran dan ajakan berpulang membawa pesan perdamaian dalam bahasa sederhanaya, latihan hidup"Eling dan Wasapada." Dan cinta bisa datang "Tresno jalaran kulino" apakah cintaku padamu seperti itu, Na?
Kira-kira 2500 tahun lalu seorang anak manusia lahir. Malam itu purnama mulai menulis riwayatnya. Ia lahir sebelumnya sudah diketahui, berawal dari nujum Kala Dewa peramal istana kepercayaan sang Raja.
'' Tak usah kecewa, ya begitulah kehidupan, Paduka Raja.'' katanya pelan. Lalu sang raja bersabda, '' aku tetap ingin anakku menjadi seorang raja dan tak akan kubiarkan Ia menjadi si penunjuk kebenaran yang menebarkan benih pohon perdamaian di bumi.''
Ya, beberapa tahun kemudian si Gotana kecil mencoba mengenali setiap ruang yang ada di lingkar istana, di tengah gempita kemewahan ia sempatkan bertanya, Kenapa hidup serupa perjalanan sepi?Aku tak ingin lakon nasibku berada di tangan paduka Raja.
Kenapa hidup tak sederhana? Begitulah kehidupan Tuanku, ujar Channa si sais kereta yang menemani hari-harinya. Channa, esok pagi kuingin kau siapkan kereta, aku akan memulai sebuah perjalanan.
Di hari yang lain tibalah ia pada malam yang menjadi titik balik dalam sejarah kehidupanya. Bergegaslah Channa aku ingin melihat apa-apa di luar istana. Hingga sampailah ia di perempatan jalan. di situ ia menjumpai 4 orang - Orang tua, Orang sakit menunggu kesembuhan yang tak ia dapatkan, orang mati dan terakhir seorang biarawan.
Hari itu Gotama mulai mengenal ruang lingkup kesengsaraan dan ia putuskan untuk mengalir mengikuti jalan si biarawan. Nasibnya kini berada di persimpangan. Apa nasib seperti kartu keberuntungan dan putaran dadu?
Tengah malam Ia berjalan menuju peraduan istri dan anaknya Ruhula. Dengan penuh keharuan ia cium pipi kedua orang yang begitu ia cintai sebagai bahasa perpisahan. sebenarnya mana yang disebut persinggahan, disini ataukah di luar sana?
Di kedua mata yang kucintai ku kubur kenangan. tak perlu lagi yang perlu ku ingat. kini ia memilih menerobos dinding istana, ia kesampingkan dunianya. Beberapa tahun kemudian ia tampak ringkih bersama lima orang pertapa.
Apa kita sudah temukan sebuah jalan tempat muasal benih pohon perdamaian ditanam? selama ini apa yang kau bawakan untukku, selain tubuh yang renta dan pikiran yang semakin keruh. Lalu ia pun mulai meninggalkan lima pertapa dan kembali menempuh jalan hidup sederhana. Tingga suatu hari di teduh pagi tibalah ia di bawah pohon Bodhi. Ia rebahkan tubuhnya mengalir dalam kesunyian. Aku tak akan bangun sebelum temukan benih pohon itu. Ditengah samadinya dewa Mara mencoba menawarkan sesuatu kepadanya.