Mohon tunggu...
kurniawati nia
kurniawati nia Mohon Tunggu... -

anak HMI

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Cerita sederhana

10 September 2010   15:29 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:19 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Normal
0

false
false
false

EN-US
X-NONE
X-NONE

Rencana biasa-biasa saja yang tanpa sengaja tercetus begitu
saja. Tanpa memikirkan mau apa besok? Ada janji atau tidak, tapi yang jelas itu
libur. Tepatnya hari sabtu, jadi kami bisa berangkat jum’at siang agar
sampainya disana malam hari tapi belum larut benar. Kota itu kunamakan saja
kota magang, karena disana aku belajar menjadi seorang pendidik pemula. Dalam
ekspedisi ini ada misi yang kami bawa, misi baik tentunya. Kata “kami” yang
kusebutkan tadi tidak berarti banyak, kami hanya dua orang, yaitu aku sendiri
dan kakak pembimbingku di organisasi tempat aku beraktivitas. Ya, “kakak
pembimbing”, agak geli mengucapkannya, tapi tak apa aku ucap begitu karena itu
tidak salah.

Kami berangkat dengan kereta siang tepatnya jam 03.00. saat
itu aku buru-buru berangkat, alias “kabur” dari acara yang terbilang cukup
penting di kampusku, tapi aku tidak terlambat, malah sehabis mengambil tiket
kami sempat minum-minum dulu sambil menunggu keberangkatan. Oya, kami juga
bertemu dengan salah seorang alumni kampusku, bisa kukatakan “orang yang cukup
kami segani” di kampus, dan ternyata lagi tempat duduknya tepat disebelah kami.

Satu, dua, hingga 6 jam lebih malah waktu kami lalui dengan
mengobrol penting. Ya, penting memang, karena materi obrolan kami adalah apa
yang menjadi persiapanku sebagai pengisi diskusi untuk teman-teman kami di kota
Magang. Lumayan, cukup mengisi otak kupikir, paling tidak nantinya aku tidak
terlihat tidak siap dihadapan mereka, hmm.. aku memang kurang percaya diri
dalam menyampaikan sesuatu, apalagi hal itu terbilang baru dan penting pula. Ketakutanku
adalah bagaimana jika aku salah menyampaikan, bisa keliru pemahaman mereka
nanti.

Kereta terlambat, harusnya jam 21.00 kami sudah sampai kota
tujuan, tapi ternyata waktu yang dijadwalkan meleset. Tak apa, aku belum
mengantuk.. kami dijemput di stasiun oleh teman-teman dan di bawa ke Rumah
Singgah mereka, tetapi karena kondisi kami lapar, layaknya tamu tanpa ditanya
kami diajak pergi makan. Aku lupa nama tempatnya, tapi yang jelas tempat itu
adalah pusat jajanan malam di kota Magang.

Setelah meregangkan otot-otot, harusnya diskusi langsung kami
buka, tapi menurut penjelasan mereka tak baik perempuan malam-malam larut
begini berada diluar, aku menurut saja, karena kota ini berbeda dengan kotaku.
Mereka menitipkan aku di rumah salah satu teman mereka yang perempuan, di rumah
Hindun pada pukul 01.00 dini hari. Aku tidur melepas penat, tapi tak lelap.

Pagi jam 09.00 diskusi kami mulai, aku lalui juga walaupun
tak begitu percaya diri, yang jelas kakak pembimbing ikut membantu. Tapi jujur
kukatakan diskusi ini tidak bisa dikatakan menarik, tapi santai.

Siang sehabis zuhur kami berangkat, percuma kutanyakan
kemana, tak satupun berminat menjawab, mungkin pikir mereka aku takkan tau
kemana, jadi lihat saja. Baiklah.. kami akhirnya berangkat dengan sepeda motor,
kalau aku tidak salah mengingat, kami berjumlah 8 orang. Target waktu
perjalanan kurang lebih dua jam, tak lama pikirku.

Indah sekali pemandangan disini, kebun-kebun sawit dengan
jalan kerikil sudah kami lewati setengan jam pertama. Sekarang gunung-gunung
dengan pepohonan hijau terhampar kadang di kanan, kadang di kiri sisi jalan,
dan sisi sebelahnya adalah jurang terjal, oh.. hati-hati kakak pembimbing,
biarlah aku saja yang menikmati keindahan ini, kakak kendarai saja sepeda motor
ini dengan baik, karena jalan ini tak bisa dibilang rata, pikirku.

“Jalan ini memang harus kita tempuh, jadi nikmati saja”,
hanya kata-kata itu yang menguatkan aku, tentu saja, artinya tidak ada pilihan
lain selain jalan ini, karena perjalanan sudah terlampau jauh. Karena dari awal
aku merengek saja di boncengan, aku takut, tentu saja aku takut, apa jadinya
kalau-kalau motor ini oleng kearah jurang, bisa-bisa hal buruk dalam otakku
benar-benar terjadi. Tapi aku terus alihkan mataku ke gunung-gunung berselimut
awan diatas sana. Subhanallah, indahnya..

Dua jam sudah terlewati, kami belum sampai. Setengah jam
kemudian kami berhenti, tapi bukan karena sampai di tempat tujuan, bukan juga
untuk melepas lelah, tapi karena ini adalah ujung jalan dengan batas sungai.
Sayang sekali aku lupa menanyakan nama sungainya. Lagi-lagi, ku katakan tak ada
lagi jalan lain selain menyeberangi sungai ini dengan sampan kecil, berikut
sepeda motor yang kami kendarai. Bayangkan saja, delapan orang dengan satu sampan,
harus menunggu berapa lama sampan ini bolak balik menyeberangi kami ke sisi
satunya lagi.

Kira-kira setelah setengah jam lebih perjalanan kami
lanjutkan. Agak bergidik juga waktu aku tau jalanan seperti apa lagi yang akan
kami lewati. Jalan itu tak lebih dari jalan setapak ditengah hutan yang basah
dan tanah yang licin. Tapi aku harus tenang agar kakak pembimbing tetap
konsentrasi tanpa terganggu rengekanku yang mengacau. Berkali-kali sepeda motor
kami terperosok ke parit semak-semak dan aku harus berjalan sedikit, dan
kupikir itu lebih nyaman, tapi harus berapa jauh? Jadi aku harus naik ke
boncengan lagi. Sepanjang jalan aku menahan napas dan sekali-sekali memicing
mata saking tak sanggupnya bersikap tenang. Terlepas sedikit dari tanah yang
licin, kami juga harus melewati jembatan yang dalam singkat aku mengukurnya tak
lebih dari lima belas senti lebarnya. Napasku tersengal,tapi tak lama setelah itu kami sampai di
tempat tujuan, aku dan kakak pembimbingku menyebutnya sebuah perjalanan “LUAR
BIASA”
. Sambil tertawa berkali-kali kami menyebutnya. Tapi nanti dulu,
ternyata perjalanan pulang lebih “mengasyikkan”. Kami coba mencari kata yang
tepat, paling tidak diatas LUAR BIASA
lagi untuk menggambarkannya.

Sebelum sampai pada keasyikan pulang kami, aku akan
deskripsikan bagaimana kampung tujuan kami. Sebuah kampung kecil dengan jumlah
penduduk 40 kepala keluarga, rumah-rumah warga kampung ini terbilang sangat
sederhana dengan dinding-dinding kayu, tanpa listrik. Tak jauh dari rumah
tempat kami singgah ada aliran sungai. Tentu saja aku lebih memilih melepas
penat dengan menikmati suasana sungai yang menyegarkan.

Malamnya kami kemping, berkemah ditepi sungai yang berbeda
dengan yang sore tadi kami kunjungi. Sungai itu kunamakan sungai bayangan,
karena di bukit sebelah sana kami bisa membuat cerita dengan memperagakan
bayangan kami menjadi bentuk-bentuk yang lucu. Aku salut pada teman-temanku
saat mereka mempersiapkan segala macam perlengkapan berkemah. Aku tidak punya
pengalaman dalam hal-hal beginian, karena aku tak pernah ikut pramuka, apalagi
kemping. Mereka membakar ayam, ikan, dan membuat api unggun yang cantik.

Malam itu dingin sekali, tapi nyaman, diatas tikar yang
dibentang diluar tenda aku berbaring menatap langit. Aku menunggu bintang, tapi
tak ada yang menampakkan sinarnya, yang ada hanya bulan, bentuknya setengah,
dan tertutup awan hitam. Aku nikmati saja sambil terus bercerita bersama kakak
pembimbing. Kami suka bermain kata dalam bahasa inggris dengan huruf awalan
yang sama. Sesekali kami curang, kalau kami sudah kalah. Tentu saja aku yang
selalu kalah.

Awan hitam dan angin dingin tadi ternyata pertanda hujan. Jam
03.00 dini hari hujan turun, kata kakak pembimbing ini biasa, jadi kami sabar
saja menunggu hujan reda. Ternyata salah, hujan turun hingga jam 07.00 pagi,
kami berdesak-desakan di dalam kemah untuk berlindung dari hujan deras. Tentu
saja dengan tetesan-tetesan yang masuk melalui celah tenda yang berlubang. Tak
mungkin menunggu lebih lama, kami berberes pulang ke rumah, dengan diseberangi
sampan.

Jam 09.00 setelah kami menikmati sarapan yang dihidangkan aku
mendesak kakak pembimbing untuk segera pulang ke kota magang, aku takut kami
terlambat sampai dan kami ketinggalan kereta untuk pulang ke kotaku. Apalagi
mengingat jalan yang harus kami lalui cukup sulit. Hasil bincang-bincang kami
akan melewati jalan lain yang katanya lebih baik, artinya tak harus menyeberangi
sungai, lalu kami pun pulang.

Kami berjalan pulang, berlawanan dengan arah kami datang.
Jalannya agak berbukit, diawal jalanan menurun, lalu menanjak, selalu begitu
hingga akhirnya kami sempat kaget saat melihat jalan didepan kami adalah bukit
dengan kemiringan tak sampai 45 derajat dengan tanah yang licin akibat hujan
semalam dan batu-batu besar yang berserakan. Dibawahnya aliran sungai. Ini tak
bisa dibilang lebih baik, bahkan jauh lebih buruk. Dengan sisa tenaga yang
kupastikan sangat sedikit kakak pembimbing terus saja berusaha melewatinya
tanpa aku di boncengan, karena kupikir aku akan menyulitkan saja. Aku berjalan
mendaki jalanan bukit yang licin tanpa sandal. Inilah pendakian, aku sudah
pernah kalau yang beginian. Tapi dengan berjalan, bukan dengan kendaraan. Bahkan,
kakak pembimbing sempat terluka karena beberapa kali terperosok. Kasihan, tapi
semangatnyatetap saja ada, dan tetap
membagi semangatnya padaku.

Kami harus melewati lima desa dan empat bukit dengan kondisi
jalan yang sama sebelum mencapai jalan bebas. Aku menjadi agak terbiasa, sudah
tidak takut lagi, karena aku memiliki motivasi terhadap tujuan kami, pulang
tentunya.

Kurang lebih dua jam kami sudah sampai kembali ke kota
magang, jalanan sudah mulus. Dan kami langsung menuju Rumah Singgah. Begitu
cepatnya aku melesat turun dari boncengan kedalam Rumah Singgah dan
membaringkan tubuh, aku terlelap.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun