Di tahun 2024 lalu, publik sempat digegerkan dengan lahirnya polemik RUU Penyiaran beserta beberapa pasal-pasal di dalamnya yang menuai kontroversi karena dianggap mengancam kebebasan media dan pers dalam meliput dan memberikan akses seluas-luasnya kepada masyarakat. Hadirnya regulasi ini dianggap sebagai upaya-upaya meruntuhkan demokrasi dan kebebasan publik dalam bersuara dan mengakses segala bentuk berita.Â
Kebebasan pers merupakan salah satu unsur fundamental dalam aliran yang menggenang dalam tubuh demokrasi. Lahirnya kebebasan pers ialah sebagai penjaga sekaligus pengawas terhadap berbagai bentuk belenggu kekuasaan. Kemudian, fungsi ini dimaksudkan agar terciptanya transparansi dalam pelaksanaan setiap jenis kekuasaan, memastikan hadirnya akuntabilitas dari sela-sela mereka yang memiliki wewenang, serta mendongkrak partisipasi masyarakat dalam tahap-tahap pengambilan keputusan publik. Â Di Tanah Air, kebebasan pers telah dijamin dan diatur secara tegas dalam konstitusi nasional, yakni melalui Pasal 28F Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal ini menjamin dan memberikan hak kepada setiap kepala untuk bisa berkomunikasi serta mengakses dan memperoleh informasi secara bebas, tanpa ada hal yang harus mencekik kebebasan tersebut.
Namun, sekalipun kebebasan masyarakat terhadap pers telah diatur dalam konstitusi yang tegas dan sah. Realisasi yang diupayakan selalu menemui jurang permasalahan yang subur masa-nya. Salah satu permasalahan yang muncul dan mengancam kebebasan masyarakat terhadap akses komunikasi dan informasi adalah eksistensi regulasi tertentu yang secara langsung maupun tidak langsung membelenggu kebebasan pers, baik melalui peraturan yang terlalu ketat, intervensi politik, tekanan ekonomi, maupun ancaman hukum yang dapat mengintimidasi jurnalis. Akibatnya, para aktor media kerap dihadapkan pada dilema antara menjalankan peran kritis mereka atau tunduk pada tekanan yang berpotensi melemahkan independensi mereka.
Salah satu upaya Pemerintah dalam mengelola sektor penyiaran adalah dengan melahirkan serta menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran. RUU ini bertujuan melengserkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 yang dianggap sudah usang dan tidak relevan lagi dengan laju perkembangan teknologi dan perubahan cara masyarakat mengonsumsi media, seperti adanya layanan streaming dan platform digital.
Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran adalah regulasi yang mengatur terkait dengan perizinan, konten siaran, perlindungan terhadap konten lokal, penyebaran informasi secara akurat, penyesuaian terhadap hadirnya teknologi digital, serta pengelolaan sekaligus pengawasan penyiaran oleh berbagai media yang bertujuan untuk menciptakan iklim penyiaran yang berkeadilan dan terus menyesuaikan dengan perkembangan teknologi yang pesat.
Namun, eksistensi RUU Penyiaran ini menimbulkan keresahan, terutama dari kalangan media dan organisasi masyarakat sipil. Beberapa ketentuannya dianggap dapat mencekik kebebasan pers dan memberikan pemerintah kendali lebih besar atas media. Misalnya, ada kewenangan tambahan untuk pemerintah dalam perizinan dan pengawasan konten yang berisiko besar disalahgunakan untuk menekan media kritis atau membatasi beragam pendapat yang ada di masyarakat. Oleh karena itu, penting memastikan regulasi ini relevan dengan perkembangan zaman sekaligus tetap menghormati kebebasan berekspresi.
Hadirnya RUU Penyiaran ini telah memicu beragam polemik dari golongan jurnalis, organisasi media, serta masyarakat sipil yang muncul di berbagai platform dan berbagai aksi. Sebagian menanggapinya sebagai langkah positif dan upaya menyesuaikan regulasi dengan laju perkembangan teknologi yang pesat. Namun, tak sedikit yang merasa cemas dengan hadirnya regulasi ini justru dapat mengancam kebebasan berpendapat dan memperkuat kontrol negara atas media.
Konsep Demokrasi
Secara garis besar, demokrasi adalah kekuasaan sepenuhnya berada di tangan rakyat. Dikutip dari (Noviati, 2013) Dalam konteks Indonesia Konstitusi yang menjadi pegangan adalah UUD 1945, jika dicermati, UUD 1945 mengatur kedaulatan rakyat dua kali, pertama pada pembukaan alinea keempat, "maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang berkedaulatan Rakyat..."Â Kedua, pada pasal 1ayat (2) UUD 1945 hasil perubahan berbunyi, "Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar". Dengan demikian, UUD 1945 secara tegas mendasar pada pemerintahan demokrasi karena berasaskan kedaulatan rakyat.
Dalam bukunya Suparyanto berjudul Demokrasi di Indonesia (2018), dinyatakan bahwa Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warga negara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.
Dapat ditarik simpulan bahwa Demokrasi adalah sistem kerakyatan, dimana kekuasaan di suatu negara secara penuh berada di tangan rakyat. Sehingga para pejabat atau pemerintah di suatu negara yang menganut demokrasi hanyalah sekumpulan orang yang menjalankan mandat yang dibebankan oleh rakyatnya.
Demokrasi dan RUU Penyiaran
Era Reformasi (1998-Sekarang) merupakan gerbang awal masyarakat mampu meraup hak-hak yang sempat terbelenggu di era Rezim Orde Baru. Reformasi menjadi episode baru untuk meniti implementasi demokrasi yang sesungguhnya di Tanah Air.Â
Dalam buku karangan Purnawati yang berjudul Perjalanan Demokrasi di Indonesia (2020) menjelaskan bahwa salah satu indikator utama penyelenggaraan demokrasi yang sah di Indonesia adalah adanya kebebasan pers. Hadirnya kebebasan pers ini kemudian menjadi ruang publik yang menjamin dan memastikan partisipasi masyarakat dalam kehidupan kebangsaan dan kenegaraan.Â
Namun, dalam beberapa pekan yang lalu, Indonesia menghadapi tantangan demokrasi yang cukup serius. Publik dibuat risau dengan hadirnya Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran dibersamai dengan pasal-pasal dalam tubuh-nya yang memicu polemik yang cukup panjang, baik dari aktor media maupun warga sipil.
RUU Penyiaran menjadi perhatian karena dianggap berpotensi mengancam kebebasan pers dan hak masyarakat untuk memperoleh informasi. Salah satu isu utama dalam rancangan ini adalah adanya pasal-pasal yang dikhawatirkan dapat membatasi kebebasan jurnalistik, termasuk pelarangan praktik jurnalisme investigatif. Ketentuan tersebut dinilai sebagai upaya untuk mengurangi pengawasan terhadap pemerintah sekaligus mengekang kebebasan berekspresi, yang merupakan pilar penting dalam demokrasi. Selain itu, beberapa pasal dalam RUU ini dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Pers yang saat ini berlaku, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. Hal ini berpotensi melemahkan posisi jurnalis dalam menjalankan tugas mereka, baik dari segi hukum maupun etika.
RUU Penyiaran memberikan kewenangan lebih besar kepada KPI dalam menangani sengketa jurnalistik, yang seharusnya menjadi tugas Dewan Pers. Perluasan kewenangan ini menimbulkan kekhawatiran atas meningkatnya kontrol terhadap media dan melemahkan independensi pers. Selain itu, proses penyusunannya dikritik karena kurang transparan dan minim partisipasi publik, sehingga dinilai tidak mencerminkan aspirasi masyarakat. Beberapa ketentuan dalam RUU ini juga dianggap melanggar hak konstitusional, khususnya kebebasan berekspresi dan akses informasi yang dijamin UUD 1945. Jika disahkan, regulasi ini berpotensi melemahkan kebebasan pers, mengancam hak dasar warga negara, dan menjadi kemunduran bagi demokrasi di Indonesia.
Latar Belakang Lahirnya RUU Penyiaran
Percepatan pembahasan RUU Penyiaran didorong oleh meningkatnya kebutuhan akan regulasi baru yang mampu mengikuti perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang pesat. Selain itu, perubahan dalam pola konsumsi media oleh masyarakat turut menjadi alasan penting untuk melakukan pembaruan undang-undang. Regulasi ini diharapkan dapat memberikan kepastian hukum yang lebih jelas bagi masyarakat dan pelaku penyiaran, serta mendukung terciptanya ekosistem penyiaran yang lebih sehat, transparan, dan berintegritas di Indonesia.
Komisi I DPR RI berkomitmen mempercepat pembahasan RUU Penyiaran untuk menjawab berbagai tantangan akibat regulasi yang dianggap sudah usang. Langkah ini diambil guna menyesuaikan aturan dengan perkembangan era digital dan melindungi masyarakat dari konten yang tidak sesuai dengan norma budaya Indonesia. Regulasi baru juga diharapkan memperkuat penegakan hukum dengan sanksi yang lebih tegas, menciptakan sistem penyiaran yang lebih tertata, sesuai nilai budaya, serta responsif terhadap perkembangan teknologi.
Namun, beberapa ketentuan dalam draf RUU Penyiaran 2024 menuai penolakan dari berbagai pihak, termasuk Dewan Pers. Mereka mengkhawatirkan pasal-pasal yang berpotensi bertentangan dengan regulasi yang ada, khususnya terkait kebebasan pers dan penyiaran. Regulasi yang dinilai terlalu ketat dikhawatirkan dapat membuka peluang penyalahgunaan kewenangan, seperti penyensoran kritik terhadap pemerintah, sehingga mengancam independensi media.
Perdebatan pun muncul mengenai keseimbangan antara kebutuhan untuk mengatur sektor penyiaran dan melindungi kebebasan pers serta kebebasan berekspresi. Ketakutan akan pembatasan terhadap suara kritis memunculkan keprihatinan atas dampaknya terhadap prinsip demokrasi, termasuk hak masyarakat untuk mengakses informasi yang transparan dan beragam.
Analisis Dampak RUU Penyiaran Terhadap Kehidupan Demokrasi di Indonesia
Dalam Jurnal Quantum Juris: Jurnal Hukum Modern, dengan judul Ancaman Terhadap Kebebasan Pers di Indonesia yang ditulis oleh Rizky Johan Pattiasina (2024) dinyatakan bahwa diskusi terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran menitikberatkan dampak yang sangat berpotensi besar terhadap kebebasan pers di Indonesia, meliputi beberapa pasal yang menjadi fokus utama perhatian karena memberi dampak yang cukup besar dan dianggap kontroversial.
RUU Penyiaran merupakan bagian dari kerangka regulasi yang bertujuan untuk mengatur sektor penyiaran yang memuat sejumlah pasal yang menjadi polemik yang cukup intens. Salah satu pasal yang mencuri perhatian publik adalah Pasal 50 yang menetapkan larangan terhadap penyiaran konten-konten yang mengandung unsur kekerasan, atau isu-isu sensitif terkait Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA).
Meskipun ketentuan ini bertujuan utama melindungi masyarakat dari dampak negatif yang mungkin ditimbulkan oleh jenis konten tertentu, terdapat kekhawatiran bahwa penerapannya dapat menimbulkan masalah. Jika pasal tersebut ditafsirkan secara ambigu atau diterapkan terlalu ketat, hal ini berpotensi menjadi alat sensor yang membatasi akses publik terhadap informasi yang penting. Informasi semacam itu diperlukan untuk memastikan transparansi dalam pengelolaan informasi publik dan menjaga akuntabilitas, baik di tingkat pemerintah maupun dalam masyarakat secara umum.
Pasal 66 dalam RUU Penyiaran menarik perhatian karena mengharuskan media menayangkan program yang mendukung keutuhan negara, menjaga persatuan bangsa, serta mempromosikan nilai moral dan budaya yang sesuai dengan Pancasila. Meskipun bertujuan positif untuk memperkuat identitas nasional dan rasa kebangsaan, pasal ini menimbulkan kekhawatiran jika interpretasinya terlalu ketat atau berlebihan. Hal tersebut dapat membatasi kebebasan media dalam menjalankan perannya sebagai pengawas publik, termasuk dalam menyampaikan kritik terhadap kebijakan pemerintah atau mengangkat isu-isu sensitif. Situasi semacam ini berisiko melemahkan fungsi media sebagai pilar demokrasi yang menyediakan ruang untuk diskusi kritis dan aspirasi masyarakat.
Pengesahan RUU Penyiaran diperkirakan akan berdampak besar pada praktik jurnalistik di Indonesia. Salah satu kekhawatiran utama adalah potensi tekanan hukum yang dapat memicu sensor ketat atau self-censorship di kalangan pelaku media. Kondisi ini berpotensi menghambat keberagaman opini dan membatasi kebebasan berekspresi, yang merupakan elemen penting dalam demokrasi. Media juga mungkin harus menyesuaikan metode dan pendekatannya untuk mematuhi aturan baru, yang dapat memengaruhi kedalaman dan keberagaman informasi yang disampaikan kepada masyarakat.
Namun, di sisi lain, beberapa ketentuan dalam RUU ini yang berfokus pada perlindungan hak individu dan kelompok dapat memberikan dampak positif. Aturan ini berpotensi meningkatkan kepercayaan publik terhadap media serta menyediakan perlindungan hukum yang lebih baik terhadap praktik publikasi yang merugikan atau tidak bertanggung jawab. Regulasi yang seimbang dapat membantu menciptakan ekosistem penyiaran yang lebih sehat dan bertanggung jawab.
Implementasi RUU Penyiaran di Indonesia telah memicu berbagai tanggapan dari berbagai pihak, termasuk dari kalangan jurnalis, organisasi media, dan masyarakat sipil. RUU ini menjadi polemik yang serius, terutama implikasinya dalam aspek sosial dan poliyiknya terhadap peran media dan dampaknya bagi masyarakat luas.
Para jurnalis dan organisasi media mengungkapkan kekhawatiran mereka terhadap potensi pembatasan kebebasan pers dalam RUU Penyiaran. Mereka menilai sejumlah ketentuan, seperti kewajiban memiliki lisensi dan penegakan kode etik yang diatur dalam rancangan ini, dapat mengancam independensi media. Aturan-aturan tersebut dikhawatirkan akan mempersempit ruang gerak media dalam melaksanakan tugas jurnalistik secara bebas dan bertanggung jawab.
Di sisi lain, masyarakat sipil turut aktif memantau proses penyusunan dan pembahasan RUU ini. Mereka menyoroti dampak potensial regulasi terhadap akses masyarakat pada informasi yang objektif dan keberagaman dalam pemberitaan. Partisipasi masyarakat sipil mencerminkan pentingnya menjaga kebebasan informasi serta melindungi hak konsumen media, termasuk privasi dan keamanan data pribadi. Keterlibatan mereka menunjukkan semangat demokrasi, yang menekankan transparansi dan inklusivitas dalam proses legislasi.
Dampak jangka panjang dari implementasi RUU Penyiaran diperkirakan signifikan terhadap demokrasi, transparansi, dan akuntabilitas di Indonesia. Dalam konteks demokrasi, regulasi ini berpotensi memengaruhi akses masyarakat pada informasi yang seimbang dan keberagaman media yang esensial bagi masyarakat demokratis. Dari segi transparansi, aturan tentang kepemilikan media dan akses informasi publik dapat memengaruhi keterbukaan dalam industri media. Sementara itu, akuntabilitas pemerintah dan industri media diharapkan meningkat melalui regulasi yang dirancang dengan baik, meskipun penerapannya kemungkinan menghadapi tantangan.
Lebih jauh, dampak dari RUU ini tidak hanya terkait dengan regulasi media, tetapi juga pola pemberitaan yang dapat memengaruhi cara media meliput isu sosial, politik, dan ekonomi. Dengan perencanaan dan pengawasan yang matang, regulasi ini memiliki potensi membawa perubahan positif dalam budaya media di Indonesia. Standar profesionalisme dan kualitas media diharapkan meningkat, menciptakan ekosistem media yang lebih kredibel dan berintegritas. Namun, keberhasilan ini sangat bergantung pada sejauh mana regulasi dapat mendukung kebebasan pers sambil tetap melindungi kepentingan masyarakat.
Strategi Menjaga Kebebasan Pers di Tengah Polemik RUU Penyiaran
Dalam merumuskan kebijakan yang mampu menjaga kebebasan pers terkait pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran, diperlukan pendekatan yang seimbang dan mendalam dengan mempertimbangkan berbagai aspek penting. Kebijakan ini harus dirancang tidak hanya untuk melindungi kebebasan berekspresi, tetapi juga untuk memastikan bahwa penyiaran dilakukan secara bertanggung jawab demi kepentingan masyarakat secara keseluruhan.
Langkah awal dalam merumuskan kebijakan RUU Penyiaran adalah memastikan bahwa regulasi didasarkan pada prinsip pengaturan yang seimbang. Artinya, aturan yang dibuat harus mampu melindungi masyarakat dari konten yang berpotensi merugikan, sekaligus mendukung kebebasan jurnalistik dan kebebasan berekspresi. Keseimbangan ini penting untuk menghindari penyalahgunaan kewenangan, seperti penerapan aturan yang terlalu ketat yang dapat menghambat aktivitas media dan membatasi akses masyarakat terhadap informasi yang seharusnya mereka peroleh.
Transparansi dalam proses perumusan RUU juga merupakan elemen kunci yang tidak boleh diabaikan. Proses legislasi yang terbuka harus melibatkan berbagai pihak, termasuk masyarakat sipil, pakar media, dan pemangku kepentingan lainnya. Diskusi yang inklusif dan partisipatif akan memastikan bahwa berbagai sudut pandang dipertimbangkan secara menyeluruh. Keterlibatan publik ini tidak hanya memberikan ruang untuk menyuarakan aspirasi, tetapi juga berfungsi sebagai pengawasan terhadap potensi manipulasi oleh kelompok tertentu yang ingin memanfaatkan regulasi untuk kepentingan pribadi.
Dengan melibatkan banyak pihak dalam perumusan kebijakan, RUU Penyiaran dapat dirancang lebih komprehensif dan mencerminkan kebutuhan masyarakat. Pendekatan ini akan meningkatkan legitimasi regulasi yang dihasilkan, memastikan bahwa kebijakan tersebut mendukung kebebasan pers, melindungi masyarakat, dan memperkuat kepercayaan publik terhadap institusi media di Indonesia.
Dalam pengawasan implementasi RUU Penyiaran, peran lembaga hukum menjadi sangat penting. Mahkamah Konstitusi dan sistem peradilan lainnya bertanggung jawab memastikan bahwa regulasi yang dihasilkan sesuai dengan prinsip-prinsip konstitusi tanpa mengesampingkan hak dasar, seperti kebebasan pers. Lembaga-lembaga ini harus meninjau konstitusionalitas RUU tersebut serta menangani kasus-kasus yang melibatkan pelanggaran terhadap kebebasan pers atau penyalahgunaan wewenang oleh pemerintah dan badan pengawas penyiaran.
Selain lembaga hukum, organisasi masyarakat sipil juga memiliki peran strategis dalam mengawasi implementasi RUU Penyiaran. LSM, asosiasi jurnalis, dan kelompok advokasi hak asasi manusia dapat bertindak sebagai pengawas independen untuk memastikan bahwa praktik penyiaran berjalan sesuai aturan. Mereka juga berperan aktif dalam memperjuangkan kebebasan berekspresi, memberikan tekanan publik, dan mendorong perubahan saat terjadi pelanggaran.
Partisipasi masyarakat umum juga menjadi elemen penting dalam menjaga kebebasan pers. Dengan meningkatkan literasi media dan kesadaran akan hak mereka, masyarakat dapat menjadi pengawas aktif terhadap pelaksanaan RUU ini. Mereka dapat memberikan umpan balik, melaporkan pelanggaran kebebasan pers, dan memberikan tekanan moral maupun politik agar pemerintah dan badan regulator bertindak sesuai dengan prinsip demokrasi.
Secara keseluruhan, menjaga kebebasan pers dalam konteks RUU Penyiaran membutuhkan kolaborasi yang erat antara pemerintah, lembaga hukum, organisasi masyarakat sipil, dan masyarakat umum. Pendekatan ini harus berlandaskan prinsip demokrasi yang kuat, di mana kebebasan pers tetap menjadi pilar utama untuk menciptakan masyarakat yang terinformasi, kritis, dan berdaulat. Sinergi ini dapat memastikan bahwa kebebasan pers terlindungi dan terus berkontribusi pada kemajuan demokrasi di Indonesia.
Dari Rakyat, Oleh Rakyat, Untuk Rakyat.
Kebebasan Pers Amanah Konstitusi dan Demokrasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H