Aku selalu setia menungguinya. Meski ia sedang sibuk memberi pakan sapi, meski ia sedang dimarahi ibunya, meski ia sedang menyapu halaman rumah sambil menggendong adiknya.
Aku tidak akan beranjak, hingga ia selesai mengerjakan tugas-tugasnya, dan bisa bermain bersama.
ingatanku kembali pada masa itu,
aku masih ingat, namanya Giyatni. Gadis kecil itu sedang sibuk mengupasi jagung di beranda rumahnya, direcoki adiknya yang masih berusia setahun, Rosin namanya.
Giyatni yang duduk di kelas 5 SD, memiliki tiga orang adik yang masih kecil-kecil. Prapti kelas 2 SD, Rumini berumur 3 tahun, dan yang terakhir Rosin. Mereka kotor dan hidungnya hampir selalu mengeluarkan ingus.
kotor dan dekil, menjadi ciri sebagian besar anak kampung di sini. Baju lusuh seadanya, menjadi simbolisasi betapa sederhana dan kekurangannya hidup mereka.
Sedari kecil, anak-anak seumuran giyatni sudah terbiasa bekerja membantu orangtua. Mulai dari mencari kayu, membatik, atau ke pasar menjual hasil kebun. Maka jangan heran, jika banyak anak-anak yang pergi sekolah pada pukul 3.00 pagi dan membawa tenggok (bakul), itu artinya, mereka harus ke pasar dulu, menjual daun pisang, kayu atau apa saja hasil kebun mereka yang bisa dijual.
Â