Mencuri dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia dijelaskan sebagai tindakan mengambil milik orang lain tidak dengan jalan yang sah dengan kata lain mengambil sesuatu  dengan sembunyi-sembunyi (atau dengan tidak diketahui orang). Perbuatan mencuri secara tidak sadar sering kita lakukan, namun seringkali pula kita memberikan dalih, dengan mengatakan kita hanya menginginkan/mendambakan di dalam pikiran saja. Padahal jika kita mengkaji ulang tentang hukum "JANGAN MENCURI" tidaklah demikian. Mencuri tidak hanya bisa dilakukan oleh tangan saja, tetapi bagian tubuh yang lain.  Maka untuk menelaah lebih dalam  perihal "mencuri", maka berikut ini adalah tentang hukum ke delapan yang tertulis di dalam Hukum Taurat.
Hukum ke delapan ditulis dengan tujuan supaya kepada setiap orang diberikan apa yang menjadi haknya, karena ketidakadilan menjijikan bagi Allah. Jadi intinya ialah, kita dilarang mendambakan barang kepunyaan orang lain dan karena itu kita diperintahkan untuk memberi jasa baik kepada siapa saja untuk menjaga hartanya. Allah tidak hanya melarang pencurian, dan perampasan yang dihukum oleh pemerintah. Segala tipu daya yang dirancang untuk memperoleh milik sesama kita juga Dia namakan pencurian, apakah dilakukan dengan kekerasan atau dengan berbuat pura-pura adil, ataupun dengan timbangan, ukuran, takaran, barang-barang, mata uang palsu, dengan makan riba, atau dengan cara apapun yang dilarang oleh Allah. Selain itu juga segala sifat kikir, dan segala pemborosan serta pemakaian dengan sia-sia atas pemberian-pemberian-Nya.
Allah melihat undang-undang yang keras dan tak berkemanusiaan yang dipakai oleh orang berkuasa untuk menekan dan membinasakan yang lemah; Dia melihat umpan-umpan yang dipasang oleh orang yang cerdik untuk memancing orang yang kurang waspada bagaikan dengan pancing ikan; semuanya ini adalah tersembunyi bagi pertimbangan insani. Dan ketidak adilan itu tidak hanya berlaku dalam perkara uang, atau perkara barang dagangan, atau perkara tanah, tetapi juga dalam perkara apa pun yang menyangkut hak-hak orang lain.
Akhirnya, setiap orang harus memeriksa sampai di mana kewajibannya mengikat dia kepada orang lain, dan harus membayar hutangnya secara jujur. Hal-hal yang berkaitan dengan ini di antaranya adalah:
Pertama, hendaknya rakyat menghormati mereka yang ditempatkan di atasnya. Dalam hal ini berarti rakyat harus menerima pemerintahan di atas mereka dengan rela. Taat pada hukum-hukum dan perintah-perintah, dan jangan mencoba meloloskan diri dari sesuatu (kewajiban) yang oleh Allah masih diijinkan untuk dijalankan. Selain itu rakyat wajib, oleh karena hati nurani mendoakan tokoh-tokoh pemerintahan, menghormati pribadi-pribadi mereka , membayar pajak dan cukai kepada mereka, mematuhi perintah-perintah mereka yang sesuai dengan hukum dan tunduk kepada wewenang mereka. Jika pemerintah merupakan orang yang tidak setia kepada agama atau beragama lain, hal itu tidak meniadakan wewenang mereka yang sah sesuai dengan hukum, dan tidak membebaskan rakyat dari kepatuhan yang seharusnya kepadanya.
Kedua, pihak lain  (pemerintah) hendaknya memelihara bawahannya dengan baik, menjaga ketentraman umum, melindungi orang yang baik-baik, mengekang orang-orang yang jahat, dan mengurus segala-galanya dengan kesadaran bahwa mereka akan memberi pertanggungjawaban kepada Allah sebagai Hakim tertinggi. Mengenai pelaksanaan jabatan mereka. Dalam penyelenggaraan jabatan itu sepatutnya mempertahankan kesalehan, keadilan, dan kedamaian, serta seturut dengan undang-undang yang sehat di tiap-tiap negara.
Ketiga, pelayan-pelayan gereja harus menyelanggarakan pelayanan firman dengan setia, dan ajaran keselamatan tidak boleh mereka palsukan, tetapi harus mereka ajarkan kepada umat Allah secara murni dan utuh. Dan tidak hanya dengan ajarannya, tetapi juga dengan contoh hidup mereka sendiri, dimana contoh hidup mereka hendaknya memberi pengajaran. Pada intinya adalah, hendaknya mereka memimpin sebagaimana gembala-gembala yang baik membimbing domba mereka.
Keempat, umat hendaknya menerima pelayan-pelayan gereja sebagai duta dan utusan Allah, memberi mereka kehormatan yang oleh Guru yang mahatinggi dianggap pantas mereka terima, dan menyediakan keperluan hidup mereka.
Kelima, orang tua harus menerima anak-anak sebagai titipan Allah yang diberika kepada mereka, supaya mereka pelihara, mereka beri perintah, dan mereka beri ajaran. Dan janganlah mereka dengan kekerasan membuat hati anak-anak itu sampai kesal dan benci kepada mereka, tetapi hendaknya dengan kelembutan dan kesabaran yang selayaknya, mereka sayangi dan merangkul anak-anak tersebut dengan kasih.
Keenam, yang muda hendaknya menghormati yang lanjut usia, sebab umur lanjut itu menurut kehendak Tuhan sepantasnya memperoleh kehormatan itu. Dengan pengertian dan pengalaman mereka (yang lebih besar dari pada kaum muda). Selain itu yang muda juga wajib menghormati, mengasihi, dan setia kepada orang tuanya dan kepada semua orang yang diberi kuasa atasnya, tunduk pada pengajaran dan hukuman mereka dengan ketaatan yang patut. Dan bersikap sabar terhadap kelemahan dan cacat mereka, karena Allah berkenan memerintah yang muda melalui tangan mereka.
Ketujuh, kaum tua hendaknya membimbing kaum muda; jangan mereka serang dengan tuduhan yang kasar dan gaduh, tetapi hendaknya mereka lunakkan kekerasan mereka dengan kata-kata manis dan sikap sabar.