Mohon tunggu...
Nia
Nia Mohon Tunggu... Mahasiswa - suka membaca buku

menjadikan pelajaran menjadi sebuat inspirasi untuk menulis.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

[Opini Publik] Mengulik Pemimpin yang Tak Lulus Kuliah, Setarakah dengan Bill Gates dan Mark Zuckerburg?

18 Januari 2022   09:30 Diperbarui: 18 Januari 2022   09:35 721
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Isu politik di Indonesia memang akan selalu ada. Berbagai polemik dan juga masalah yang membuat kehidupan berdemokrasi di Indonesia semakin berwarna. Isu tentang Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yakni Giring Ganesha, atau sering disebut dengan Giring Nidji ini menyita perhatian banyak orang, termasuk penulis ini sendiri. Isu tersebut bermula ketika tangkapan layar yang isinya tentang Ketua PSI tersebut ternyata telah di drop out atau dikeluarkan dari Universitas Pramadina.

"Dua kali DO dari kampus yang sama itu sih otak lu yang dikit" -- Geisz Chalifah. "Sebagai seorang yang mencalonkan diri sebagai presiden RI di tahun 2024, rakyat wajib tahu latar belakang pendidikan calon pemimpinya. Kalau Giring memang DO, jelaskan penyebabnya. Jangan baper" -- Muhammad Syamsul Arifin. Opini tentang Giring yang diungkapkan oleh orang-orang seharusnya menjadikan sebuah representatif keresahan publik atas isu yang beredar tersebut.

Ternyata, banyak orang yang menyamakan kasus Giring Nidji dengan Bill Gates dan Mark Zuckerberg, yang mana merupakan orang-orang yang juga dikeluarkan dari tempat kuliahnya. Tanpa mendiskreditkan hal tersebut, tetapi kita perlu mengulik kembali tentang kedua tokoh tersebut sebelum membandingkannya.

Bill Gates, adalah seorang tokoh bisnis, investor, filantropis, penulis, dan juga ketua dari Microsoft. Bill Gates yang merupakan pendiri Microsoft ini tidak menamatkan pendidikannya diperguruan tingginya, yakni Harvard University. Alasan Bill Gates drop out ternyata dikarenakan masalah ekonomi, dimana kemudian keputusannya untuk keluar dari Harvard menjadikannya miliader di usia 26 tahun karena ia bisa fokus terhadap bisnisnya. 

Sedangkan Mark Zuckerberg, yang mana juga keluar dari Harvard, dikarenakan ingin memfokuskan dirinya untuk pengembangan Facebook. Jika dilihat tentang perkembangan bisnis keduanya, maka dapat dikatakan bahwa merelakan gelar sarjananya dari kampus ternama sekelas Harvard menjadi tidak sia-sia.

Tanpa mendiskreditkan Giring Ganesha, tetapi menyamakan kasusnya dengan Mark dan Bill Gates rasanya agak berlebihan. Meskipun dalam hal ini Giring mengungkapkan bahwa alasannya untuk keluar dari Universitas Pramadina ini adalah karena untuk mengejar karirnya, tetapi dalam hal ini kemudian langkah Giring ternyata menuju ke dunia perpolitikan, dan meninggalkan karir yang dikejarnya ketika meninggalkan kuliah.

Kampus yang ditinggalkan oleh Mark dan Bill Gates adalah kampus berkelas dunia, yang merupakan cita-cita dari banyak orang. Meskipun dalam hal ini nampaknya serupa, tetapi membandingkan antara Giring dengan kedua tokoh tersebut agaknya bukanlah hal yang benar. Pun Bill Gates dan Mark tidak menceburkan diri ke dunia politik, dimana panggung politik sering kali menjadi representatif dari rakyat dan negara, sehingga akan berimbas dari banyak aspek.

Perihal apakah seorang pemimpin harus lulusan dari perguruan tinggi ataukah tidak, itu adalah pertanyaan yang menimbulkan pro dan kontra. Menganggap bahwa pendidikan bukanlah indikator penting dalam menentukan seorang pemimpin artinya mendiskreditkan fakta bahwa pendidikan mampu menaikkan taraf kehidupan manusia dan membentuk SDM yang berkualitas. 

Ketika seorang pemimpin menganggap remeh jenjang pendidikan tanpa dibarengi dengan alasan yang kuat, maka bisa-bisa pendidikan tidak lagi memiliki marwah dan tidak ada artinya. Meskipun pendidikan bukan tolak ukur yang utama, tetapi dalam kasus Giring sepertinya harus dipertimbangkan kembali mengingat alasan yang diberikan tidak begitu kuat.

Apalagi, meninjau dari draf RUU pemilu pada pasal 182 atar (2) menyatakan bahwa syarat pendidikan minimal  bagi orang yang akan maju dalam pemilu adalah pendidikan tinggi atau sederajat. Wacana yang menimbulkan banyak pro dan kontra ini setidaknya memberikan sedikit penerangan bahwa kesadaran atas pentingnya tingkat pendidikan di kancah politik mulai diperhatikan.

Dalam isi draf RUU pemilu pasal 182 ayat (2) dinyatakan bahwa: "Calon Presiden, Wakil Presiden, Anggota DPR, Anggota DPD, Gubernur, Wakil Gubernur, Anggota DPRD Provinsi, Bupati dan Wakil Bupati/Walikota dan Wakil Walikota serta Anggota DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat antara lain : (1) berpendidikan paling rendah lulusan pendidikan tinggi atau sederajat".

Publik seakan dianggap pilih kasih antara Menteri Susi Pudjiastuti dengan kasus Giring Ganesha ini. Tetapi, publik mencondongkan keberpihakan bukan tanpa alasan. Bu Susi telah bersepak terjang dalam dunia kelautan dan perikanan, sehingga dapat dikatakan meskipun hanya berijazah SMP, beliau sudah disekolahkan oleh alam secara langsung.

Jika meninjau dari apa yang dikatakan oleh Plato, seorang filsuf legendaris, bahwa sejatinya kepemimpinan merupakan sikap kepribadian yang bisa membedakan mana yang penting ataukah yang tidak, maka perlu pengkajian mendalam apakah menyelesaikan pendidikan adalah hal yang harus diwajarkan dalam situasi yang ada. Jawabannya bisa iya  dan tidak, yang mana hal tersebut sangat  subjektif tergantung yang melihatnya.
Terkait prestasi Giring di kancah industri musik, bagaimanapun tidak bisa diremehkan. 

Giring merupakan seorang musisi berbakat dan berkarakter, dengan lagu-lagu yang dibawakannya mampu membuat orang yang mendengarkannya terkesima. Meskipun demikian, keberpihakan penulis dengan rekam jejak hidup Giring yang sedemikian tidak mampu menggerakkan hati untuk mendukungnya secara penuh dalam dunia politik. Walaupun begitu, Giring tetap memiliki kesempatan yang sama untuk mengajukan dirinya dan terus berkiprah dalam dunia politik. Giring punya hak untuk promosi, kita memiliki hak dalam memilih. Indonesia, merdeka! Indonesiaku, negara demokratis!

Nia 

Mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Kristen Indonesia yang mengikuti mata kuliah Opini Publik dengan Dosen Melati Mediana Tobing, ST., S.I.Kom., M.Si.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun