Konflik Israel-Palestina adalah perselisihan politik dan teritorial yang kompleks yang berpusat pada sejarah Palestina, yang terbagi antara Israel, Tepi Barat, dan Jalur Gaza. Akarnya dapat ditelusuri kembali ke akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, dengan faktor-faktor seperti konteks sejarah, sengketa tanah, identitas nasional, masalah keamanan, perluasan pemukiman, pendudukan dan kontrol, serta dinamika regional yang berkontribusi terhadap kegigihannya. Konflik ini dipicu oleh persaingan identitas nasional, masalah keamanan, perluasan pemukiman, dan pembenaran pemerintah Israel atas operasi militer dan kontrol perbatasan. Pendudukan Israel di Tepi Barat dan Jalur Gaza, yang dimulai pada tahun 1967, terus menjadi isu sentral, yang menimbulkan keluhan dan kebencian terhadap pemerintah Israel. Hubungan Iran dan Israel memburuk, dengan Iran menyerang Israel sebagai respons terhadap jet perang Israel yang menargetkan konsulatnya di Suriah. Sejak tahun 1979, konflik Iran dengan Israel telah meluas secara geografis dan strategis, dan permusuhan tidak lagi berupa perang bayangan. Baik Iran maupun Israel telah memperingatkan adanya konflik langsung.
apa yang bisa meredakan permusuhan Iran dan Israel?
Rekonsiliasi antara Israel dan Iran tidak mungkin terjadi karena keadaan yang tidak menguntungkan. Kelompok Islamis Iran memandang Israel sebagai negara yang ilegal dan tidak sah, sementara kelompok Islam moderat mendukung pembentukan negara non-pengakuan. Para pejabat Iran yang radikal bersikap keras, namun masyarakat Iran yang liberal dan reformis menerima keberadaan Israel di samping negara Palestina. Iran mungkin merasa terdorong untuk memulai dialog dengan Israel, dan perbaikan dalam hubungannya dengan Barat dapat mendorong Iran untuk mempertimbangkan kembali permusuhannya terhadap Israel. Kemajuan dalam penyelesaian masalah Palestina juga dapat mempengaruhi sikap Iran.
Dinamika Geopolitik Israel vs Iran
Timur Tengah sedang mengalami peningkatan destabilisasi, dengan operasi berkepanjangan Israel di Jalur Gaza yang menyebabkan dampak kemanusiaan yang signifikan. Konflik berkepanjangan antara Israel dan Iran telah meningkat, memicu kekhawatiran global mengenai konflik yang lebih luas. Pada tanggal 19 April 2024, terjadi ledakan di dekat pangkalan udara di Isfahan, Iran, yang mengakibatkan percobaan serangan, meskipun dengan kerusakan minimal. Penggunaan drone oleh Iran masih bersifat spekulatif, dan rudal balistik muncul sebagai cara yang lebih masuk akal untuk terlibat.Â
Pembalasan terukur Israel terhadap provokasi Iran baru-baru ini, yang dilakukan berdasarkan perjanjian yang telah ditetapkan sebelumnya dengan AS, menggarisbawahi tujuan strategis. Pada tanggal 1 April 2024, Israel melancarkan serangan yang menargetkan gedung konsuler Kedutaan Besar Iran di Damaskus, yang mengakibatkan hilangnya 16 nyawa dan tuduhan pelanggaran hukum internasional. Presiden Iran Ebrahim Raisi menggambarkan tindakan tersebut sebagai tindakan yang 'terbatas dan bersifat menghukum', dimana Arab Saudi dan Uni Emirat Arab berbagi informasi intelijen tentang serangan Iran dengan AS, sehingga memberikan peringatan dini yang penting kepada Israel dan sekutunya.
Serangan Israel terhadap Isfahan, meski dikritik sebagai 'timpang', memberikan manfaat strategis bagi Tel Aviv. Hal ini memungkinkan Israel untuk mendapatkan persetujuan untuk melakukan invasi ke Rafah, yang memperburuk krisis kemanusiaan di Gaza. Serangan itu juga bertujuan untuk mengalihkan perhatian internasional dari jatuhnya korban sipil di Gaza dan menumbuhkan persatuan di antara sekutu Barat. Serangan balasan Iran terhadap Israel menyebabkan sanksi baru terhadap Iran, sementara Israel hanya menghadapi dampak yang minimal.Â
Penilaian risikonya adalah meningkatnya ketegangan terus berlanjut, sehingga mengarah pada kondisi geopolitik yang berbahaya. Peringatan Iran menunjukkan adanya evaluasi ulang terhadap sikap mereka terhadap program nuklir dan penggunaan senjata yang belum pernah dilihat sebelumnya. Meningkatnya kemampuan nuklir di kalangan aktor regional juga memperumit situasi.
Ketidakstabilan di Timur Tengah, termasuk Libya, Suriah, Lebanon, dan Afghanistan, sudah menjadi perhatian utama. Negara-negara NATO memprioritaskan perlawanan terhadap agresi Rusia dan ancaman Tiongkok. Konflik yang lebih luas dapat merugikan pasar dan keuangan internasional, terutama akibat pandemi Covid-19 dan sanksi terhadap Rusia. Para migran mungkin akan meninggalkan negara-negara yang dilanda konflik, dan keterlibatan NATO dapat meningkatkan risikonya, terutama mengingat kepentingan strategis Israel.
Mengingat meningkatnya ancaman dan dinamika yang kompleks, kerja sama internasional yang berkelanjutan sangat penting untuk mengatasi terorisme dan konflik regional. Amerika Serikat harus menyeimbangkan respons militernya dengan inisiatif diplomatik, dan melibatkan pemangku kepentingan utama untuk mendorong stabilitas. Pemantauan berkelanjutan terhadap situasi yang berkembang dan strategi adaptif sangat penting untuk memitigasi risiko dan menjaga keamanan regional.