Catatan Perjalanan
"Peserta dimohon sudah siap pkl. 06.30 WIT di depan Hotel Matahari". Demikian pesan penutup dari panitia menjelang tidur malam. Selanjutnya...hening malam di Hotel Nusantara 2 Atambua, segera mengantar ke peraduan, lelap... menjemput metahari terbit. Timor Lorosae.
Menjelang pkl. 06.30, seluruh peserta sudah siap didepan Hotel Matahari. Bis berjejer lengkap dengan nomor sesuai petunjuk panitia. Para peserta bergerak memasuki bis, sambil melengkapi formular digital dari pihak imigrasi.
Rombongan bus keluar dari hotel. Tidak butuh waktu lama, iringan bus sudah berada di jalan yang mulus, menghubungkan dua negara, membawa kami menuju perbatasan Motaain, menemui "saudara muda" yang terpisah oleh jarak waktu belum lama.
Hamparan ladang dan kebun-kebun jati di kiri kanan jalan, deretan perbukitan, juga ternak berseliweran, terasa indah mengiringi perjalanan dipagi yang cemerlang. Kurang lebih 45 menit kemudian, kami sampai di perbatasan. Ya.. perbatasan Timor Leste-Indonesia, batas teritori yang memisahkan dua saudara; Timor Leste di Timur dan Indonesia di barat pulau Timor.
Semua turun dari bus. Proses keimigrasian berjalan lancar, walau memakan waktu cukup lama. Ini karena rombongan yang datang cukup besar. Pos perbatasan Indonesia di perbatasan kedua negara ini begitu megah, layaknya sebuah gedung di kota besar. Berdiri diatas lahan seluas 11,29 Ha, diperbaharui pada awal tahun 2015 dengan anggaran sebesar Rp. 128 Milyar, dan selesai dibangun pada akhir Desember 2016. Taman dan lalan masuk menuju pintu gerbang begitu luas dan indah. Bangunan-bangunan megah dan monument yang indah menambah rasa kagum.
Bangunan di Lintas batas ini kemudian menjadi objek wisata yang menjanjikan. Walaupun pengunjung yang datang ke tempat ini tidak dipungut biaya, namun dampak lain yang dirasakan oleh masyarakat sekitar cukup berarti. Ada yang membuka kios untuk berdagang, kantin dan rumah makan. Jumlah pengunjung yang datang ketempat ini, rata-rata perhari 200 orang. Jika hari raya tiba seperti Natal, Tahun Baru dan Idul Fitri, jumlah pengunjung akan berlipat-lipat, mencapai ribuan orang. Saya turun, mengamati kompleks perbatasan yang berada ditengan hutan ini dengan rasa kagum. Luar biasa.
Saya mendekati seorang satpam yang sedang bertugas. Namanya pak Alex dan sudah dua tahun bertugas ditempat ini. Dengan riang dia menceritakan rasa senang dan bangga dapat bekerja ditempat sebagus  ini. Sejak selesainya referendum tahun 1999 hingga tahun 2015 awal, gedung diperbatasan ini kesannya masih berupa bangunan seadanya dibandingkan dengan bangunan diseberang milik Timor Leste. Sambil guyon, pak Alex menambahkan; "sebelum pak Jokowi, kami adalah masyarakat terbelakang. Setelah pak Jokowi, kami adalah masyarakat kota terdepan". Jawaban yang agak satir memang, tetapi memberi pesan kuat soal perbedaan kepemimpinan politik Indonesia dua jaman. Klaim-klaim keberhasilan pembangunan tidak saja berhenti pada retorika semata, namun justru kasat mata dalam realitas di era digital ini. Omong kosong penuh kepalsuan akan menemukan jalannya sendiri dan kemudian muncul dalam realitas publik masyarakat modern sebagai sampah.
Memasuki pintu gerbang Imigrasi Timor Leste, kami Kembali turun untuk keperluan di kantor imigrasi. Sambil menunggu antrian, kembali saya mendekati seorang polisi penjaga perbatasan yang berpakaian lengkap dengan senjata api. Rasa was-was timbul, jangan-jangan dia tidak bisa berbahasa Indonesia. Saya sapa saja dalam bahasa dan dia langsung membalas, juga dalam Bahasa Indonesia. Selanjutnya komunikasi menjadi cair melalui cerita-cerita mengapa mereka kini adalah warga negara tetangga kita. Awalnya, mereka adalah warga negara RI yang kemudian memilih menjadi warga Timor Leste dengan segala macam tantangannya. Pesan yang terasa cukup kuat adalah pesan persahabatan. "Sampaikan salam persahabatan kami bagi saudara-saudari kami di Indonesia. Kita tetap bersaudara". Merinding mendengar ucapan ini. Betapa tidak, jika saja tidak terjadi referendum 23 tahun yang lalu, kini kita adalah saudara sebangsa.
Dokumen beres, perjalananpun dilanjutkan. Kurang lebih 4 jam perjalanan dari perbatasan menuju kota Dili. Perjalanan kali ini terasa begitu menyenangkan. Kanan jalan adalah deretan perbukitan, ladang-ladang masyarakat menghampar, kebun-kebun jati sejauh mata memandang, merambat di perbukitan khas pulau Timor. Di kiri jalan adalah pantai dengan pasir putih dan laut biru memanjakan mata. Masyarakan tampak beraktifitas seperti biasa, layaknya di daerah bagian barat pulau Timor.
Pemimpin rombongan kami di bis menyampaikan Informasi rutin tentang tempat-tempat yang kami lewati, memunculkan kembali ingatan akan nama-nama tersebut ketika Timor Timur masih dalam masa pergolakan. Maubara, Liquisa dan beberapa nama lain, adalah kisah-kisah pahit penuh darah dan air mata ketika pergolakan menuju refrendum dan setelahnya. Atambua - Dili, adalah perjalanan mempertemukan dua saudara yang terpisah.
Bis meliuk-liuk dijalanan mulus berkelok. Rumah-rumah penduduk disepanjang jalan dihiasi bendera Timor Leste, melambai-lambai seolah mengucapkan selamat datang saudaraku di bumi Timor Lorosae. Lambaian bendera-bendera tersebut, membuat saya merenung, membayangkan Merah Putih yang hanya berkibar menjelang hari kemerdekaan di Indonesia. Itupun banyak kontroversi, menandakan nasionalisme kita masih penuh tantangan.
Melewati bukit terakhir, kota Dili mulai menampakan diri. Dari kejauhan tampak patung Kristus Raja di bukit Fatumaca, hanya berupa setitik bayangan hitam. Alat-alat berat di kiri jalan memenuhi teluk memasuki Dili, berserak, bergerak, sedang megengerjakan sebuah proyek besar, entalah. Konon, sedang mengerjakan jembatan penghubung antara dua daratan yang menjorok ke laut, Â mengapit kota Dili.
Keramaian disana-sini menandakan kami telah berada di kota Dili. Pertokoan, perkantoran, rumah-rumah makan dan bangunan-bangunan lain adalah tanda-tanda kehidupan kota. Dalam iringan yang mulai melambat, rombongan bergerak langsung menuju komunitas Yesuit, Taibesi - Dili. Bus-bus masuk kedalam sebuah tanah lapang di depan komunitas Jesuit, lalu rombongan di pandu oleh pimpinan komunitas sekaligus pimpinan SJ Timor Leste, pater Joaquim Sarmento, SJ menyeberang jalan memasuki komunitas. Semua menyebar di sekitar makam pater Karim Arbi berdampingan dengan Alm. Pater Dewanto. Â
Inilah tujuan utama rombongan ini ke Dili, dalam rangkaian acara Rapat Anggota Tahunan Federasi Nasional PUSKOPCUINA. Insan Credit Union yang tergabung di Puskopcuina, yang terdiri dari 46 CU primer, tersebar dari Papua hingga Medan dan Nias, bersatu hati, bersepakat untuk menyisihkan sedikit waktu mengunjungi kota Dili untuk berziarah di makam Pater Karim Arbi, mengenang sekaligus mendoakan inisiator dan pendiri Credit Union di Indonesia ini. Biarawan Yesuit asal Jerman inilah yang berperan aktif menginisiasi dan memperkenalkan koperasi Credit Union di Indonesia. Beliau mengadopsi nama 'Indonesia' dan kemudian menambahkannya sebagai "Karim Arbie" di belakang namanya yang asli Jerman: Albrecht. Romo Albrecht adalah 'orang penting' yang aktif menggalakkan Credit Union (CU), Â gerakan koperasi yang kini marak dimana-mana termasuk di Timor Leste.
Dalam sambutan penerimaan yang disampaikan oleh pimpinan Serikat Jesus di Timor Leste, Pater Joaquim Sarmento, SJ, mengatakan; kunjungan luar biasa ini diterima sebagai suatu ungkapan penghormatan dan penghargaan kepada pater Albrecht, yang telah berjasa besar memulai Gerakan Credit Union di Indonesia.
Peserta mengelilingi makam pater Arbi, dan segera misa Konselebrasi di gelar. Dalam kotbah singkat yang disampaikan, romo Sipri mengatakan; "Pater karim Arbi telah berjasa besar menggerakan Credit Union dimana saja dia berada. Dia juga telah mengambil bagian dalam penderitaan dan kematian Kristus. Hari ini, kita semua yang meneruskan perjuangan pater Arbi, mengambil bagian dalam karya keselamatan demi kemanusiaan. Kita berada di tempat yang istimewa ini, di sekeliling makam seorang pribadi besar, seorang yang bernama besar; Pater Albrecht yang dikenal dalam Gerakan Credit Union. Kita syukuri rahmat Tuhan ini, kita persembahkan Ekaristi ini untuk keselamatan jiwanya. Allah maha Rahim, berikan dia kebahagiaan di surga, dan jadikan dia pendoa dan penyalur rahmat bagi kita dalam seluruh Gerakan Credit union, baik di Indonesia maupun di mana saja. Â Kita persembahkan doa ini untuk keselamatannya dan untuk hidup kita".
Karena waktu yang sempit, maka selesai misa, diselingi dengan beberapa sambutan, termasuk sambutan ketua Puskopcuina; bapak Sunardi, dilanjutkan dengan makan siang Bersama secara  cepat. Rombonganpun siap berangkat kembali. Kali ini ke Fatumaca, tempat berdiri megah patung Kristus Raja, berjarak kurang lebih 10 KM dari kota Dili. Patung ini dibangun pada tahun 1996 dengan ketinggian 27 meter, merupakan patung terbesar kedua di dunia setelah Patung Christ The Redeemer, Brazil, dengan tinggi patung 36 meter di atas bukit setinggi 1,5 km. Sayang sekali, rombongan tidak dapat menikmati meganya patung Kristus Raja dari dekat. Selain karena sudah terlalu sore, juga karena tenaga yang tersisa rasanya tidak sanggup mendaki 700 anak tangga menuju puncak bukit Fatumaca. Rombongan hanya bisa memandang patung Kristus Raja dari kejauhan, sambil berfoto bersama.
Hari makin sore. Iringan bus bergerak perlahan, keluar dari parkiran lereng bukit Fatumaca, mengejar matahari ke arah barat membela kota Dili, menuju pulang. Dalam temaram matahari senja, semua insan CU termenung dalam diam, sambil menikmati pemandangan indah dikiri-kanan jalan. Entah lelah atau bahkan sedang mengenang kembali setiap jengkal perjalanan ke Dili lengkap dengan seluruh kisahnya. Â Â Â
Dalam diam, angan kembali terbang kesuatu masa. Ketika itu, menjelang 9 tahun wafatnya Romo Albrecht. Alm. Romo Maryono adalah sejawat satu rumah dan kawan seperjuangan di Dili kala itu, mengenang persahabatan mereka melalui sebuah kisah menarik. Diakhir tulisan tersebut, romo Maryono mengisahkan begini :
"Sebelum saya berangkat ke Timor, Romo Sindhunata berkata pada saya, "Mar, dulu Presiden Sukarno meringkas semangat yang ada dalam Panca Sila menjadi satu, yaitu Gotong Royong. Dalam serikat kita, semangat-semangat yang kita pelajari juga bisa diringkas menjadi satu, yaitu Paseduluran (persaudaraan). Orang akan sengsara dalam serikat ini bila tidak punya saudara meskipun di bidang kerja mencapai kesuksesan besar." Kata-kata Romo Sindhu menurut saya benar. Bukankah dalam perjumpaan-perjumpaan saya dengan Romo Albrecht semangat itu yang tumbuh dalam diri kita? Entah Romo Albrecht ingat atau tidak, ketika suatu kali Romo datang ke Seminari, saya menawari minum. Dan, meskipun saya pendek, saya merangkul pundak Romo. Secara spontan sambil memasuki pintu refter, Romo mengatakan, "Inilah yang disebut persaudaraan."
Kehadiran seluruh insan Credit Union dalam Federasi Nasional Puskopcuina ini adalah wujud persaudaraan dalam gerakan Credit Union, diejawantakan dalam bentuk saling mendukung dan saling memelihara hubungan antar pribadi yang sejajar dan menerima kehadiran sesama sebagai bagian dari diri sendiri. Persaudaraan yang kita bangun dalam Credit Union tampak dalam relasi yang kita bangun berdasarkan sikap menjunjung tinggi keluhuran martabat manusia.
Alm. Romo Maryono yang "pendek" merangkul alm. Pater Albrech yang "tinggi", Semuanya hanya bisa terjadi dalam bingkai PERSAUDARAAN. Selanjutnya.... ke Jakarta ku kan kembali... Sampai jumpa Atambua. Salam Credit Union.
Jakarta, 24 Mei 2022
-Nhl-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H