Bagian kedua adalah ruang didalam Wetak. Ini adalah sebuah ruangan yang luas, disekat menjadi beberapa ruangan/kotak, dengan dinding yang rendah. Kotak-kotak inilah berisi jagung, kacang tanah, padi, bahkan pisang. Pendeknya semua barang bisa disimpan disini. Pada ruang dalam ini dibuat loteng kecil, biasanya adalah tempat menyimpan bibit tanaman yang siap ketika masa tanam tiba pada musim penghujan berikutnya.
Untuk naik kedalam wetak ada sebuah tangga, dalam bahasa daerah disebut idan. Tangga ini diselipkan diantara balok kayu yang melintang dekat pintu masuk. Ini menyulitkan anak-anak jika ingin masuk ke dalam, ketika berniat mengambil, tepatnya mencuri makanan yang disimpan disana.
Ketika malam tiba hingga pagi menjelang, oleh cuaca yang amat dingin, semua orang akan berdiam diri di dalam wetak masing-masing sambil menghangatkan badan melalui perapian yang menimbulkan asap membubung tinggi. Adalah pemandangan yang unik setiap pagi, sejauh mata memandang, titik asap akan menyembul diantara rimbunan pohon yang mengelilingi wetak, dari mana-mana pada tanah datar seputar desa Watuwawer. Semua berpusat pada Wetak yang bertebaran. Inilah tanda kehidupan orang desa jaman itu. Jika tidak memiliki sumber api (korek api atau pemantik), jangan khawatir. Silakan keluar dari wetak, pandanglah sekitar, jika ada asap datangi dan ambil api untuk kemudian dibawa ke perapian sendiri. Kesempatan seperti ini biasanya diselingi dengan makan siri-pinang, minum tuak, ngobrol sana-sini. Semua terjadi dalam kebersamaan yang akrab, selaras dengan alam dan lingkungan sekitar. Semua berpusat pada WETAK.
Tahun 80-an, atas nama kerapihan desa dan entah alasan lainnya, pemerintah desa kemudian mengharuskan semua bangunan yang bernama Wetak keluar dari kampung, dibangun di kebun atau dipinggir kampung. Didalam kampung hanya boleh ada rumah dan dapur keluarga.
Mulailah terjadi eksodus. Seluruh wetak yang ada di dalam kampung beramai-ramai dibongkar kemudian dipindahkan keluar kampung. Namun demikian, tidak sedikit keluarga yang tidak membangun kembali. Mereka membongkarnya, lalu membiarkannya lapuk dan hancur bersama waktu.
Ketika pulang tahun 2012, saya mencoba berkeliling sekitar kampung untuk melihat-lihat bangunan Wetak ini. Beberapa Wetak ditinggal begitu saja, tidak terurus sehingga perlahan hancur. Miris mendapati keadaan bahwa Wetak yang adalah pusat kehidupan keluarga pada jamannya, kini semakin ditinggalkan. Ada satu dua keluarga yang masih setia membangun dan merawat Wetak. Entah dengan kesadaran ingin tetap melestarikannya, atau tujuan yang lain, adalah sesuatu yang patut diapresiasi.