Mohon tunggu...
Niko Hukulima
Niko Hukulima Mohon Tunggu... Human Resources - Karyawan Swasta dan Aktivis Credit Union Pelita Sejahtera

Hidup terlalu singkat untuk disia-siakan. Berusaha untuk lebih baik hari demi hari.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dari Watuwawer Ke Eropa (Bagian 2)

22 Mei 2021   15:47 Diperbarui: 22 Mei 2021   19:46 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(Pengalaman Pater Devis Don Wadin, SVD)

Sebagai Imam - Pengalaman Yang Membahagiakan 

Sudah 26 tahun saya di Jerman. Sudah lebih dari 20 tahun saya mengabdikan diri sebagai imam. Saya masih tetap mencintai panggilan dan karya saya di sini. Sejak menjadi imam saya bekerja di beberapa paroki di daerah yang berbeda-beda dan juga delapan tahun sebagai guru agama dan pendamping rohani di sebuah "Gymnasium", yaitu sekolah dari kelas 5 sampai kelas 12.

Dalam masa pelayanan itu saya tidak lupa untuk membangun jembatan antara Jerman dan Indonesia. Sudah tiga kali saya mengundang dua koor gereja dari Jakarta ke Jerman. 

Tahun 2011 saya pernah membawa murid-murid sekolah Jerman untuk berkunjung ke Jakarta, yaitu ke beberapa sekolah katolik. Kami juga sempat berkolaborasi musik dengan murid-murid sekolah Kanisius dan membuat konser bersama di Goethe Institut di Jakarta.

Selain itu saya telah membawa hampir sekitar 30 Orang Jerman ke Indonesia untuk mengenal budaya dan keindahan beberapa pulau. Selain itu kami membantu beberapa karya sosial di bidang pendidikan di pulau Sumba.

dokpri
dokpri
Saat ini saya memimpin dua paroki di kota Munich, yaitu paroki Santo Joachim dan Santa Hedwig, dengan jumlah umat seluruhnya sekitar 8.300. Saya bekerja sama dengan rekan pastor dari India dan seorang tenaga katekis berpendidikan teologi dari Jerman. Pekerjaan kami sangat bervariasi dan karena itu tidak pernah membosankan.

Pada masa Covid seperti ini semakin banyak umat yang membutuhkan pendampingan rohani. Ketika saya menulis pengalaman saya ini pada tanggal 5 Februari 2021 saya baru saja kembali dari kunjungan ke seorang ibu yang merayakan hari ulang tahunnya yang ke 85 dan ke seorang ibu lainnya yang membutuhkan komuni dan sakramen perminyakan suci. Di sini saya mengalami banyak perbedaan dengan di Indonesia. Kalau di Indonesia masih banyak paroki, di mana umat mencari pastor.

Di sini kami yang harus mencari umat. Kalau di Indonesia (bukan maksud saya untuk menggeneralisir) setelah misa orang masih datang ke pastoran dan menganggap pastoran sebagai rumah mereka sendiri, di Jerman tidak. Tetapi itu juga tergantung dari pastor itu sendiri. Karena itu saya juga berusaha mendampingi umat secara lain. Saya mengajak mereka ke pastoran. Kami duduk di taman pastoran dan membicarakan persiapan permandian atau pernikahan di sana, sambil minum Bir.

Dokpri
Dokpri

Di Jerman Bir dilihat sebagai kebutuhan pokok, sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. Keramahan kita sangatlah penting. Cara pergaulan kita juga penting. 

Kedekatan kita dengan mereka membantu mereka memandang kita sebagai sahabat. Untuk mereka imam itu bukan bos, melainkan rekan atau teman. Walaupun demikian tetap kita bisa memelihara jarak, yang sama sekali tidak mengurangi kehangatan hati kita.

Pengalaman yang menantang 

Saya pernah ragu dan bertanya, apakah saya mampu sebagai orang asing untuk berkarya misi di negara yang sangat moderen ini, apakah kemampuan bahasa saya cukup untuk menyelesaikan masalah pastoral, untuk mempersiapkan sakramen permandian, komuni pertama, krisma, perkawinan dan kematian, apakah saya bisa menerima kebebasan yang mereka hayati, yang merupakan bagian dari budaya mereka, apakah pelajaran teologi saya cukup di tengah budaya mereka yang begitu tua dengan penulis-penulis dan penyair-penyair mereka yang terkenal di berbagai belahan dunia, apakah saya harus kembali ke rahim ibuku lebih dahulu dan dilahirkan kembali sebagai orang jerman untuk mengerti cara pikir, cara hidup dan cara mereka memandang dunia dan gereja.

Saya ke jerman bukan karena saya pernah mendapatkan penglihatan seperti Paulus, di mana dia melihat seorang Makedonia yang bediri di depannya dan berkata kepadanya, "Menyeberanglah ke mari dan tolonglah kami!" (Kisah Para Rasul 16, 9). Saya tidak melihat orang Jerman berdiri di depan saya dan berkata, "Terbanglah ke Jerman dan tolonglah kami!" Dengan berjalannya waktu saya belajar untuk memahami, bahwa yang terpenting dalam tugas pelayanan misi ini, pertama-tama bukan untuk mewartakan Sabda Allah, karena mereka bukan orang yang tidak mengenal Tuhan dan Agamanya, melainkan untuk menemukan Sabda Tuhan atau jejak kakiNya di dalam hidup mereka. Tuhan sudah ada lebih dahulu sebelum saya datang. Tuhan telah mempersiapkan hati mereka sebagai "tanah garapan" untuk di tanam kembali dengan benih sabdaNya.

Dokpri
Dokpri

Refleksi pengalaman sebagai imam 

Pertama, saya tidak perlu menyangkali asal usul saya, budaya saya, pengalaman iman saya. Saya harus mengakui dan menerima latar belakang saya, pengalaman saya, yang mana saya telah ditempa oleh pendidikan di keluarga, di seminari menengah, oleh banyak kebaikan dan keramahan begitu banyak orang di Sumba, Flores dan Jawa, di mana dulu saya hidup, belajar dan mengenali panggilan saya.

Sebuah pengalaman menarik yang juga membentuk cara pikir saya sebagai seorang imam, yaitu ketika saya berkunjung ke rumah teman di Adonara pada waktu liburan sekolah. 

Kami jalan-jalan melewati sebuah rumah yang sangat sederhana. Ketika pemilik rumah itu melihat kami dan tahu, bahwa kami anak seminari, ibu pemilik rumah itu meminta kami dengan santun untuk mampir sebentar di rumahnya. 

Ini kebiasaan yang bagus di daerah perkampungan di Flores. Kalau umat tahu, bahwa kami anak seminari, calon imam, mereka akan melihat kunjungan kita itu sebagai suatu kehormatan yang luar biasa. 

Dari hanya mampir sebentar akhirnya menjadi kunjungan yang lama. Kalau kami sudah dengar dari belakang rumah, bahwa seekor ayam lagi dikejar dan ditangkap, kami sudah langsung tahu, bahwa pasti kami diundang untuk makan siang. Kebaikan seperti ini yang datang dari hati, dari kesederhaan, kesahajaan dan spontanitas terus membentuk kepribadian dan panggilan saya dan bagaimana cara saya berpastoral sekarang ini.

Dokpri
Dokpri

Di Jerman kebiasaan seperti ini tidak ada. Semua harus dijadwalkan dengan baik. Semua teratur. Saya harus mempunyai buku kalender untuk menulis semua jadwal tugas dan kunjunganku. Jadwal pernikahan sudah dibuat satu tahun sebelumnya, undangan pernikahanpun demikian. Kalau saya berlibur di Sumba tidak jarang saya mendapatkan undangan pesta nikah satu hari sebelum acara itu berlangsung. Saya belajar untuk menghayati pepatah tua kita: "Masuk ke kandang kambing mengembik, masuk ke kandang kuda meringkik", yang artinya kita harus belajar menyesuaikan diri dengan tempat di mana kita berada.

Kedua, cintailai umatmu. Cinta kepada umat untuk saya harus nyata di dalam upaya kita untuk mencintai bahasa mereka, mempelajarinya dengan baik dan serius, karena bahasa adalah alat transportasi budaya, cara pikir, karakter dan iman mereka. Cinta kepada umat harus tampak jelas di dalam cara kita memperlakukan mereka. 

Saya menganggap mereka sebagai ibu, bapak dan saudara-saudari sendiri. Banyak masalah di dalam paroki bisa kita selesaikan bersama, bila kita mencinta umat kita. 

Dalam rapat terkadang saya juga alami kritik dari anggota dewan gereja atau dewan keuangan. Kenalilah diri kita sebagai manusia, yang juga tidak sempurna. Keberanian kita untuk mengakui kesalahan kita dengan rendah hati bukan justru membuat kita merasa rendah dan direndahkan, melainkan umat semakin mencintai kita dan menerima kita apa adanya.

Ketiga, janganlah membuat perbedaan. Dalam rangka mencintai umat, kita jangan membuat perbedaan dalam sikap kita terhadap mereka. Jangan ada umat yang memberi bantuan kepada kita mendapatkan perlakukan yang istimewa dan selalu kita sediakan waktu untuk mereka atau berkunjung ke rumah mereka. 

Kemudian kalau ada seorang yang tidak aktif di gereja atau meminta bantuan keuangan, kita menyembunyikan diri, tidak peduli dengan mereka dan cari alasan, kita sibuk dan tidak punya waktu. Kita dipanggil untuk melayani semua orang, apapun latar belakang ekonomi atau kehidupan iman dan moral mereka.

Keempat, jangan pernah lupa asal usul kita. Hiduplah yang sederhana saja. Di kampung halaman kita biasa berjalan kaki, naik sepeda atau sepeda motor. Terima dan puas dengan apa yang disediakan oleh komunitas untuk kehidupan harian kita. Jangan malah kita yang melayani umat datang dengan mobil yang lebih bagus dari mobil mereka yang kita layani. Pakailah mobil itu sebagai alat pelayanan.

Kelima, kehidupan rohani. Jangan pernah lupa Tuhan dalam doa dan renungan harian kita. Itulah makanan rohani kita sehari-hari, sehingga dalam pelayanan kita tidak pernah lupa, bahwa kita ini pelayanan yang melayani, bukan yang dilayani.

179753-10200828123376888-1930124171-n-60a8c478d541df1b6502f952.jpg
179753-10200828123376888-1930124171-n-60a8c478d541df1b6502f952.jpg
Keenam, senyuman kebahagiaan. Tunjukkan kepada umat, bahwa kamu bahagia di dalam pelayanan dan panggilanmu. Tunjukkan itu dalam kejujuranmu. Tentu ada juga saat di mana kita lemah, di mana kita ragu, di mana kita kecewa, di mana ada masa kekeringan rohani, di mana kita malas, di mana kita jatuh. Tetapi lihatlah itu sebagai bagian menuju kematangan rohani. Carilah kesempatan untuk menyepi, untuk mengunjungi diri sendiri, untuk masuk ke dalam diri sendiri, untuk bersenda gurau dalam keheningan dengan diri sendiri. Jadilah sahabat yang terbaik untuk diri sendiri.

Ketujuh, percaya pada Tuhan. Tetaplah percaya, bahwa upah mengituki Yesus tidak hanya di akhirat melainkan juga saat ini. Tuhan melipatkan gandakan orang tua, sanak keluarga kita dan sahabat-sahabat.

Dokpri
Dokpri

Penutup 

Inilah pengalaman misi saya saat ini. Dalam ketidaksempurnaan diri dan pelayanan saya masih mengatakan, bahwa inilah jalan hidup saya. Inilah panggilan saya. Inilah garis tangan saya. Saya bersyukur kepada Tuhan bisa ikut ambil bagian dalam misiNya. Terima kasih. (Selesai)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun