Dari hanya mampir sebentar akhirnya menjadi kunjungan yang lama. Kalau kami sudah dengar dari belakang rumah, bahwa seekor ayam lagi dikejar dan ditangkap, kami sudah langsung tahu, bahwa pasti kami diundang untuk makan siang. Kebaikan seperti ini yang datang dari hati, dari kesederhaan, kesahajaan dan spontanitas terus membentuk kepribadian dan panggilan saya dan bagaimana cara saya berpastoral sekarang ini.
Di Jerman kebiasaan seperti ini tidak ada. Semua harus dijadwalkan dengan baik. Semua teratur. Saya harus mempunyai buku kalender untuk menulis semua jadwal tugas dan kunjunganku. Jadwal pernikahan sudah dibuat satu tahun sebelumnya, undangan pernikahanpun demikian. Kalau saya berlibur di Sumba tidak jarang saya mendapatkan undangan pesta nikah satu hari sebelum acara itu berlangsung. Saya belajar untuk menghayati pepatah tua kita: "Masuk ke kandang kambing mengembik, masuk ke kandang kuda meringkik", yang artinya kita harus belajar menyesuaikan diri dengan tempat di mana kita berada.
Kedua, cintailai umatmu. Cinta kepada umat untuk saya harus nyata di dalam upaya kita untuk mencintai bahasa mereka, mempelajarinya dengan baik dan serius, karena bahasa adalah alat transportasi budaya, cara pikir, karakter dan iman mereka. Cinta kepada umat harus tampak jelas di dalam cara kita memperlakukan mereka.Â
Saya menganggap mereka sebagai ibu, bapak dan saudara-saudari sendiri. Banyak masalah di dalam paroki bisa kita selesaikan bersama, bila kita mencinta umat kita.Â
Dalam rapat terkadang saya juga alami kritik dari anggota dewan gereja atau dewan keuangan. Kenalilah diri kita sebagai manusia, yang juga tidak sempurna. Keberanian kita untuk mengakui kesalahan kita dengan rendah hati bukan justru membuat kita merasa rendah dan direndahkan, melainkan umat semakin mencintai kita dan menerima kita apa adanya.
Ketiga, janganlah membuat perbedaan. Dalam rangka mencintai umat, kita jangan membuat perbedaan dalam sikap kita terhadap mereka. Jangan ada umat yang memberi bantuan kepada kita mendapatkan perlakukan yang istimewa dan selalu kita sediakan waktu untuk mereka atau berkunjung ke rumah mereka.Â
Kemudian kalau ada seorang yang tidak aktif di gereja atau meminta bantuan keuangan, kita menyembunyikan diri, tidak peduli dengan mereka dan cari alasan, kita sibuk dan tidak punya waktu. Kita dipanggil untuk melayani semua orang, apapun latar belakang ekonomi atau kehidupan iman dan moral mereka.
Keempat, jangan pernah lupa asal usul kita. Hiduplah yang sederhana saja. Di kampung halaman kita biasa berjalan kaki, naik sepeda atau sepeda motor. Terima dan puas dengan apa yang disediakan oleh komunitas untuk kehidupan harian kita. Jangan malah kita yang melayani umat datang dengan mobil yang lebih bagus dari mobil mereka yang kita layani. Pakailah mobil itu sebagai alat pelayanan.
Kelima, kehidupan rohani. Jangan pernah lupa Tuhan dalam doa dan renungan harian kita. Itulah makanan rohani kita sehari-hari, sehingga dalam pelayanan kita tidak pernah lupa, bahwa kita ini pelayanan yang melayani, bukan yang dilayani.