Di Jerman Bir dilihat sebagai kebutuhan pokok, sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. Keramahan kita sangatlah penting. Cara pergaulan kita juga penting.Â
Kedekatan kita dengan mereka membantu mereka memandang kita sebagai sahabat. Untuk mereka imam itu bukan bos, melainkan rekan atau teman. Walaupun demikian tetap kita bisa memelihara jarak, yang sama sekali tidak mengurangi kehangatan hati kita.
Pengalaman yang menantangÂ
Saya pernah ragu dan bertanya, apakah saya mampu sebagai orang asing untuk berkarya misi di negara yang sangat moderen ini, apakah kemampuan bahasa saya cukup untuk menyelesaikan masalah pastoral, untuk mempersiapkan sakramen permandian, komuni pertama, krisma, perkawinan dan kematian, apakah saya bisa menerima kebebasan yang mereka hayati, yang merupakan bagian dari budaya mereka, apakah pelajaran teologi saya cukup di tengah budaya mereka yang begitu tua dengan penulis-penulis dan penyair-penyair mereka yang terkenal di berbagai belahan dunia, apakah saya harus kembali ke rahim ibuku lebih dahulu dan dilahirkan kembali sebagai orang jerman untuk mengerti cara pikir, cara hidup dan cara mereka memandang dunia dan gereja.
Saya ke jerman bukan karena saya pernah mendapatkan penglihatan seperti Paulus, di mana dia melihat seorang Makedonia yang bediri di depannya dan berkata kepadanya, "Menyeberanglah ke mari dan tolonglah kami!" (Kisah Para Rasul 16, 9). Saya tidak melihat orang Jerman berdiri di depan saya dan berkata, "Terbanglah ke Jerman dan tolonglah kami!" Dengan berjalannya waktu saya belajar untuk memahami, bahwa yang terpenting dalam tugas pelayanan misi ini, pertama-tama bukan untuk mewartakan Sabda Allah, karena mereka bukan orang yang tidak mengenal Tuhan dan Agamanya, melainkan untuk menemukan Sabda Tuhan atau jejak kakiNya di dalam hidup mereka. Tuhan sudah ada lebih dahulu sebelum saya datang. Tuhan telah mempersiapkan hati mereka sebagai "tanah garapan" untuk di tanam kembali dengan benih sabdaNya.
Refleksi pengalaman sebagai imamÂ
Pertama, saya tidak perlu menyangkali asal usul saya, budaya saya, pengalaman iman saya. Saya harus mengakui dan menerima latar belakang saya, pengalaman saya, yang mana saya telah ditempa oleh pendidikan di keluarga, di seminari menengah, oleh banyak kebaikan dan keramahan begitu banyak orang di Sumba, Flores dan Jawa, di mana dulu saya hidup, belajar dan mengenali panggilan saya.
Sebuah pengalaman menarik yang juga membentuk cara pikir saya sebagai seorang imam, yaitu ketika saya berkunjung ke rumah teman di Adonara pada waktu liburan sekolah.Â
Kami jalan-jalan melewati sebuah rumah yang sangat sederhana. Ketika pemilik rumah itu melihat kami dan tahu, bahwa kami anak seminari, ibu pemilik rumah itu meminta kami dengan santun untuk mampir sebentar di rumahnya.Â
Ini kebiasaan yang bagus di daerah perkampungan di Flores. Kalau umat tahu, bahwa kami anak seminari, calon imam, mereka akan melihat kunjungan kita itu sebagai suatu kehormatan yang luar biasa.Â