Tiba di Haiko, ibukota Hainan - propinsi paling selatan China yang berbatasan dengan Vietnam - malam hari tidak menghalangi mata untuk menikmati kota ini. Dengan total penduduk 387.000 jiwa, kota ini terasa lengang. Â
Hainan sendiri adalah provinsi, dengan luas 34.438 kilometer persegi dengan jumlah penduduk  8.030.000 jiwa (kepadatan: 237/km - bandingkan dengan hanya Jakarta Barat; kepadatan penduduk wilayah tersebut mencapai 19.516 jiwa/km persegi). Iklimnya tak beda jauh dengan Indonesia.Â
Jalanan yang lebar, trotoar yang juga lebar dan nyaman, tidak ketinggalan taman-taman amat terawat disepanjang jalan menuju hotel Haikou New Oscar Hotel, kurang lebih 1 jam perjalanan dari bandara plus tidak pakai macet. Kesan pertama, cukup menggoda.
Makan malam di hotel ini dalam suasana yang ramai. Menunya okelah. Yang penting ada nasi. Minumnya teh hijau pahit, menyegarkan. Hotel ini cukup mewah dilihat dari sarana dan fasilitasnya yang amat modern.Â
Hanya  satu malam, karena esok pagi harus check out menuju kota, dan hotel yang lain. Yang terasa ketika bangun pagi adalah segarnya udara yang di hirup. Apa sebab? Akan terjawab melalui cerita selanjutnya.
Tempat pertama di hari baru yang di datangi adalah Haikou Arcade Ancient Street yang dianggap memiliki jalan paling unik di Haikou. Apa istimewanya?Â
Saya sendiri merasa seperti sedang berada di kota tua Jakarta atau kota lama Semarang. Nuansa klasik merebak. Yang membedakan adalah udara yang dihela, tidak pakai asap, debu atau polusi. Segar.Â
Apa sebab? Karena semuanya motor listrik. Inilah salah satu sebab, kenapa udara di sini demikian bersih. Â Sepanjang keberadaan saya disana, bisa dihitung dengan jari, motor yang memakai bahan bakar bensin yang ditemui.
Demikan juga dengan mobil-mobil, sama sekali saya tidak melihat satupun yang mengeluarkan asap pekat yang dapat mengotori udara. Ada tiga jenis warna plat kendaraan yang dapat dilihat disana. Biru, hijau dan kuning.Â
Penjelasan tour guide; yang berwarna biru itu kendaraan pribadi berbahan bakar fosil, hijau adalah kendaraan listrik dan kuning kendaraan umum.Â
Saya lupa menanyakan apakah yang berbahan bakar fosil itu bensin atau gas. Kenyataannya tiada asap yang saya lihat ngebul dari ujung knalpot kendaraan tersebut.Â
Saya hanya menduga, barangkali bahan bakarnya gas. Atau bensin sekelas pertamax beroktan tinggi? Walahuallam. Yang pasti saya sedang menikmati udara bersih disini.
 Ceritanya begini; awal tahun 60-an, pemerintah Cina memanggil pulang para pekerjanya yang bekerja di negara-negara tetangga termasuk Indonesia untuk bekerja di proyek milik pemerintah yang di buka besar-besaran di Propinsi Hainan.Â
Pekerja yang dipanggil pulang termasuk dari Indonesia, menempati urutan ketiga terbesar. Pekerja dari pulau Bali termasuk mayoritas yang pulang ke sana. Mereka pulang membawa budaya Bali hasil inkulturasi selama bekerja disana. Lambat laun budaya baru ini turut mempengaruhi masyarakat di Hainan.Â
Hasilnya, orang Indonesia termasuk saya berdecak kagum dengan upaya ini. Ironisnya, kita orang Indonesia didatangkan kesana untuk menikmati sesuatu yang yang dikemas luar biasa yang sebenarnya adalah milik kita, di tanah air mereka. Ahh.... sungguh terlaluuu. Itulah keseriusan pemerintah Cina menggarap sektor pariwisatanya.Â
Dengan cara men-tato badannya, mereka berusaha menaikkan level sosial mereka agar mendapat tempat dimata kelas sosial masyarakat yang lebih tinggi. Tato dibuat secara bertahap, dimulai ketika sang gadis masih amat belia, saat remaja, hingga kelak menjadi tua. Tidak heran sekujur tubuhnya penuh dengan lukisan ini.Â
 Arca dewi cinta dan pemberi berkah itu tegak menjulang setinggi 108 meter di kaki langit Hainan, di tepi laut Cina selatan, dan menjadikannya tertinggi di dunia.  Patung raksasa tersebut adalah dewi pemberi berkah, cinta, dan welas asih. Dalam bahasa Tiongkok, Guanyin merupakan bentuk pendek dari Guanshiyin yang bermakna "Dia yang Menangkap Suara Dunia".
Filosofi Buddha yang kental tersebut membuat pemerintah China membangun patung raksasa Dewi Kwam Im ini di pantai selatan Hainan, pulau sekaligus provinsi paling selatan China yang berukuran enam kali luas Pulau Bali.
 Ia berdiri di dekat Kuil Nanshan di Sanya, kota di pesisir selatan Hainan, dan karenanya disebut Guanyin of Nanshan. Proses pembangunan patung ini, melibatkan 108 biksu termasyhur dari berbagai kelompok Buddhis di China Daratan, Taiwan, Hong Kong, hingga Makau.
Dia balik bertanya. "Pemerintah Cina telah memberikan berbagai kemudahan termasuk potongan harga bagi travel yang mendatangkan wisatawan ke Cina".Â
Itulah mengapa tour ke Hainan termasuk murah. Konpensasinya adalah setiap rombongan wisatawan yang berkunjung kesana harus di bawa ke beberapa tempat yang sudah ditentukan pemerintah, seperti yang disebutkan diatas.Â
Setiap Tour Guide harus mematuhi aturan tersebut. Jika dilanggar, dalam arti wisatawan tidak di bawa ke tempat-tempat tersebut maka Tour Guide akan di potong gajinya sebesar 50 Yuan dikali jumlah anggota rombongan yang dia bawa. Berat bukan.Â
Penjelasan ini sebenarnya sekaligus memberikan pesan kuat bahwa pemerinta Cina sungguh-sungguh menggarap sektor pariwisata di sana dengan memberikan kemudahan-kemudahan yang menarik. Maka bolehlah dikatakan, tour ke Hainan masuk kategori wisata belanja. Maka, jika Anda bermaksud kesana, jangan lupa bawa uang yang cukup.
 Iman belanja anda dipastikan akan runtuh. Apa sebab? Begitu masuk kedalam pertokoan, disambut oleh penjaga tokoh yang ramah dan lancar berbahasa Indonesia. Apalagi begitu mendengar bahwa pemiliknya adalah seseorang yang beristrikan orang Pluit-Jakarta, lancar berbahasa Indonesia pula, dengan tidak lupa memanggil orang-orang Indonesia dengan sebutan sedulur. Runtulah iman belanjamu.
Beberapa truk hilir mudik, menyemprotkan bagian tepi jalan yang agak berdebu akibat lalulalangnya kendaraan dibagian tengah jalan. Sejenak, jalanan menjadi konclong kembali.
Dalam hati saya bergumam, betapa hebatnya kota dan orang-orang disini. Hal lain, jarang kita temukan rumah tinggal diatas tanah layaknya di Indonesia. Hampir semua masyarakat Hainan tinggal di rumah-rumah vertikal atau apartemen sehingga kota-kota disana terasa lengang.Â
Kemacetan hampir tidak ada. Pejalan kaki dalam jumlah banyak seperti di Jakarta juga hampir tidak dijumpai. Yang terlihat hanyalah para sepuh, berpasangan, berjalan perlahan menikmati udara sejuk dipinggir jalan dengan taman-taman asri terawat yang sungguh memanjakan mata, ditemani anjing peliharaan mereka. Ahhh.....andai semua ini ada di Indonesia. Betapa bahagianya.
Soal peraturan beserta sangsi-sangsinya, di Indonesia tidak kurang-kurang. Yang membedakan barangkali kita masih jauh dari mentaati aturan, walaupun sangsinya jelas. Singkatnya Rule of Law-nya belum berjalan semestinya.
Seorang teman bergurau, bagaimanapun di Jakarta jauh lebih enak karena bisa dengan mudah mendapatkan apa saja yang saya inginkan; beli gorengan ada dan dekat, beli apa saja muda karena semua tersedia di setiap jengkal jalan yang di lewati.Â
Saya amat menikmati pengalaman berkunjung ke Hainan. Hanya satu hal yang membuat saya kurang happy, "pakai tisue ketika selesai buang air besar". Rasanya tidak bersih hehehe....
Jakarta, 03 November 2019
Niko Hukulima
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H