Mohon tunggu...
Nasyiah Hasanah
Nasyiah Hasanah Mohon Tunggu... -

I'm a lecturer.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Titip Rindu Buat Bapak

17 Juli 2015   03:48 Diperbarui: 17 Juli 2015   10:05 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

SOLO, 17 JULI 2015
Takbir masih terus berkumandang di hari Jum’at dini hari yang bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri 1436 H. Aku terjaga di pagi buta dan memoriku melayang pada tanggal yang sama tujuh tahun yang lalu. Tepatnya tanggal 17 Juli 2008. Berawal dari kejadian sehari sebelumnya.

Malang, 16 Juli 2008
Malam itu aku di kamar kos saja, malas untuk keluar. Biasanya, kalau malam aku menyempatkan diri untuk nonton tv bersama adik-adik kos sambil ngobrol dan bercanda-bercanda. Aku memang tidak menyediakan tv di kamar karena selain tidak suka nonton tv, aku menganggap aktivitas menonton tv di ruang tengah itu akan mempererat hubungan sesama anak kos. Tapi malam itu aku hanya bermain hp. Padahal waktu itu belum musim blackberry apalagi android. Aku cukup mendengarkan radio dari hp ku sambil mencari-cari acara radio yang enak didengar. Tiba-tiba aku menghentikan pencarianku pada acara konsultasi kesehatan. Sayang aku lupa sama sekali radio apa yang kudengar saat itu dan siapa nama nara sumbernya. Yang aku ingat nara sumbernya bergelar Professor Doktor dokter…...
Setelah memberikan pengantar singkat ada penanya yang menelpon. Berikut ringkasan pertanyaannya. “Saya punya pasangan tidak menikah. Setiap kali berhubungan saya keluarkan di luar. Bagaimana caranya ya dok, biar ketika berhubungan terasa enak” Aku tidak mengerti sama sekali maksud pertanyaan itu. Maklum aku belum menikah kala itu. Tapi aku tersentak dengan jawaban sang nara sumber. “Kalau seperti itu jelas tidak enak. Kalau mau enak ya nikah saja atau zina sekalian”. Dokter ini luar biasa sekali, batinku. Prinsipnya jelas dan tegas. Sedikit-sedikit aku menebak untuk mencoba memahami maksud pertanyaan tadi.
Selanjutnya, ada penelpon kedua. Secara singkat begini kalimat dari penanya kedua. “Saya laki-laki usia 70 tahun. Setiap hari mengkonsumsi berbagai jenis obat-obatan. ( Beliau menyebutkan nama beberapa obat). Obat apa yang manjur yang harus saya minum supaya saya tidak harus mengkonsumsi begitu banyak jenis obat?” Awalnya aku pikir sang dokter akan menyebutkan satu jenis obat yang dia rekomendasikan. Atau setidaknya menjawab berdasarkan disiplin ilmunya. Tapi aku salah karena ternyata seperti ini jawabanya. “Obat yang Bapak minum itu adalah obat-obat mahal semua. Kalau sudah berumur 70 tahun ke atas, itu sudah waktunya berserah diri. Ikhlas dan banyak beribadah. Daripada uangnya digunakan untuk membeli obat-obat itu, mendingan uangnya disumbangkan ke panti asuhan. Lalu banyak beribadah dan tawakkal. Nanti malah sehat”. Untuk kedua kalinya saya terbengong-bengong dan tercenung dengan jawaban sang dokter. Dan seketika itu, saya teringat pada Bapak di Solo.
Bapak lahir tahun 1936 sehingga usia beliau kala itu 72 tahun. Kalau kata dokter tersebut usia 70 itu sudah waktunya berserah diri, berarti Bapak sudah dapat bonus 2 tahun. Saat aku pulang ke Solo terakhir kondisi Bapak sudah menyedihkan. Aku juga teringat ketika ditelpon ibu pada awal Juni 2008 dalam perjalanan Denpasar-Malang di dalam Bis Mubarok setelah aku selama 3 bulan diberi tugas dari kampus untuk mengikuti kursus bahasa Inggri di IALF Denpasar Bali. Waktu itu ibu mengatakan kalau Bapak sudah (maaf) pikun. Tengah malam ke masjid cuma pakai kaos oblong, kemudian mengetuk pintu rumah tetangga yang kemudian diantar pulang oleh tetangga tersebut. Aku juga teringat obrolan dengan teman sekamar waktu kursus di Bali. Mbah Indah Dwi Pratiwi, beliau adalah dosen Keperawatan di UMM. Waktu itu aku cerita kalau tahun 2004 Bapak divonis kanker paru-paru stadium 3. Waktu itu sudah hendak menjalani kemoterapi namun batal karena pertimbangan usia. Setelah itu hanya menjalani pengobatan alternatif. Namun pada waktu mendaftar haji di awal tahun 2007, tidak terdeteksi adanya kanker itu. Waktu itu hanya dinyatakan anemia dan beberapa kali transfusi darah. Sampai pada akhir tahun 2007, seminggu sebelum berangkat pun Bapak harus opname dan menjalani transfusi. Meskipun kondisinya tidak terlalu sehat, Bapak memang sangat bersemangat untuk menjalani ibadah haji dengan niat menghajikan ibunya (nenek saya almarhumah). Bapak sendiri sudah pernah melaksanakan ibadah haji pada tahun 1998. Dan akhirnya Bapak tetap melaksanakan ibadah haji walaupun hanya bisa melaksanakan ibadah-ibadah wajib saja. Yang aku ingat adalah jawaban dari mbak Indah saat mendengar ceritaku. “Kalau seperti itu mbak, sepertinya kankernya sudah metastase. Artinya kanker itu menyebar dan menyerang organ tubuh yang lain” . Intinya malam itu aku teringat Bapak. Tapi entah mengapa aku tidak menelpon ke rumah untuk menanyakan kondisi Bapak. Dana mengapa aku tidak memutuskan pulang malam itu.
Malang, 17 Juli 2008
Sekitar jam 08.30 aku dapat telepon dari kakakku. “Kamu cepat pulang. Bapak kritis”. Karena kupikir kalau travel dari Malang sudah mulai menjemput penumpang pada jam itu, aku akan kesulitan mendapatkan tiket travel. Aku memutuskan naik bis saja tapi lewat Jombang bukan lewat Surabaya. Beberapa kali aku mencoba alternatif itu lebih cepat sampai Solo dibanding naik travel atau naik bus dari Surabaya. Dari terminal Landungsari aku naik bus Puspa Indah jurusan Malang Jombang. Aku duduk di kursi paling depan di samping seorang bapak. Si Bapak itu bertanya mau ke mana. Aku jawab singkat mau ke solo. Sampai di Batu, sekitar jam 09.30 aku mendapat telepon lagi dari kakakku. “Bapak meninggal”. Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Rojiun. Air mataku mengalir deras. Menyesal mengapa malam tadii aku tidak memutuskan pulang. Padahal malam itu, semua ingatan tentang Bapak telah datang. Ketika Bapak di sebelahku mengajak ngobrol aku cuma mengangguk-angguk tidak mengerti beliau bicara apa. Aku cuma mengusap-usap air mataku dan menahan agar isakku tidak terdengar oleh penumpang lain.
Aku lupa persisnya jam berapa aku sampai Jombang. Yang jelas perjalananku tidak secepat yang kuperkirakan. Dari Jombang aku naik bus Eka jurusan Surabaya-Magelang. Bus itu transit di rumah makan Duta sekitar jam tiga sore. Di RM Duta, aku ditelpon saudara dari Malang yang sedang menyusulku dalam perjalanan ke Solo. Aku diminta menunggu di rumah makan. Sekitar jam 15.30 aku melanjutkan perjalanan dengan mobil bersama saudaraku. Jam 18.00 aku sampai di rumah. Banyak orang yang menungguku. Jenazah Bapak belum dimakamkan. Kata beberapa saudara, memang menunggu kedatanganku. Meski selama hampir 6 tahun tinggal di Malang aku mengagumi kebiasaan di Malang yang ketika ada orang meninggal, tak berselang lama tanpa banyak acara seremoni jenazah segera dimakamkan, namun kala itu aku bersyukur Bapak tidak langsung dimakamkan. Setidaknya aku masih bisa melihat jenazahnya. Wajahnya bersih dan tersenyum, trelihat jauh lebih muda dibanding terakhir aku bertemu Bapak. Sayang seribu sayang, aku tidak bisa menyolatkan karena sedang datang bulan. Entah mendapat kekuatan dari mana. Malam itu aku merasa tegar sekali. Bahkan ketika beberapa teman datng aku bisa bercerita banyak tentang Bapak. Jenazah Bapak dimakamkan keesokan harinya, Jum’at tanggal 18 Juli 2008 di TPU Bonoloyo. Setelah pemakaman itu, justru dadaku terasa sesak dan sakit sekali. Aku menangis sejadi-jadinya. Ketegaranku yang sebelumnya kurasakan begitu besar seperti terkikis habis.
Malam-malam berikutnya, aku sering merindukan Bapak. Aku juga termasuk sering mimpi bertemu Bapak. Biasanya setelah memimpikan Bapak, kerinduanku sedikit terobati. Hari ini, genap tujuh tahun Bapak meninggal. Tentu saja kerinduan itu terkadang datang menghampiri meski tidak sesering dulu. Saat ini, aku sudah menikah dan diberi anugerah satu putri (Reynadine Alfathunnisa Fajrin, lahir 5 November 2010) dan satu putra . Herannya, putraku Reynanda Fairuzidane Paripurno yang lahir pada tanggal 23 Mei 2012 adalah cucu yang paling wajahnya paling mirip dengan Bapak, dibandingkan 7 cucu yang lain. Saudara-saudara serta tetangga-tetangga juga sering beromentar bahwa Nanda ini mirip Mbah Hasan Bashry, kakeknya. Aaahh….semoga jadi anak yang sholeh ya naak…. Insya Allah nanti ketemu kakek di surga. Semoga Allah mengampuni dosa-dosa Bapak, melipatgandakan pahala amal ibadahnya. Semoga anak cucu Bapak dapat meneruskan cita-cita dan perjuangan Bapak di jalan dakwah. Aamiin
Allahu Akbar….Allahu Akbar..
Laa Ilaaha Illallahu Allahu Akbar..
Allahu Akbar Wa Lillahil Hamdu…
“SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI 1436 H”
TAQABBALALLHU MINNA WA MINKUM
MOHON MAAF LAHIR DAN BATIN

Solo, 17-07-2015 jam 2.09

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun