Mohon tunggu...
Ngurah Parikesit
Ngurah Parikesit Mohon Tunggu... Dosen - PhD Candidate Melbourne Law School, Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana

Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana, PhD Candidate Melbourne Law School, Australia

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Kok Rapid Test Bayar?

22 Juli 2020   16:53 Diperbarui: 22 Juli 2020   16:56 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nah disinilah seharusnya mereka tidak lagi dibebankan pengeluaran-pengeluaran yang saya anggap tidak perlu karena itu bisa ditanggung negara. Logikanya, seluruh hal yang terkait langsung dengan wabah ini, termasuk upaya pengendalian penyebaran COVID 19 harus ditanggung negara. Jadi saya hanya berbicara dampak langsung ya, cukup dampak langsungnya dulu. 

Ga perlulah negara menanggung biaya penitipan anak (childcare) masyarakatnya. Lho apa hubungannya corona dengan urusan titip menitip anak. Kalo disini ada hubungannya boss! Biaya childcare ditanggung negara agar masyarakatnya tidak perlu bayar childcare yg mahal, trus ini diprioritaskan bagi anak-anak yang ortunya bekerja sebagai tenaga kesehatan. Pemerintah takut dong kalo mereka memilih tidak bekerja demi bisa mengurus anaknya di rumah karena kalo dibawa ke penitipan anak, biayanya mahal. Disinilah logikanya.

Tetapi saya salut dengan beberapa gubernur yang berkomitmen untuk menggratiskan biaya rapid test didaerahnya. Saya juga salut dengan Pemerintah Kabupaten Aceh Besar yang berani menggelar Tes Swab massal ke sekitar 2000 warganya. Ini terobosan yg patut diapresiasi. Ini baru pemimpin dengan sense of crisis!!! Tidak menggangap semua ini sebagai kenormalan. Kalimat ini saya pinjam dari Pidato Kemarahan Pak Jokowi di tanggal 18 Juni 2020 lalu.

Wah kalo menggratiskan biaya rapid test atau test lainnya mahal bro, negara ga mampu! Jika ada anggapan ini, saya kembali teringat Pidato Kemarahan Presiden lagi. 

Apa benar penyerapan anggaran di kementerian itu demikian rendahnya. Apa benar anggaran Kemenkes yang 75 Trilliun itu baru terserap 1,53 persen? Ini baru satu kementerian kan ya? Lalu benarkah beberapa Pemerintah Provinsi lebih senang mengendapkan dananya di bank ketimbang mendistribusikannya kepada masyarakat yg terkena dampak pandemi ini? Benarkah jumlahnya secara total mencapai 170 trilliun?

Jadi untuk sekedar membiayai biaya rapid test atau bahkan biaya swab test saya yakin negara mampu. Biaya pelatihan online saja bisa dan mau, masak untuk urusan yg lebih penting tidak mau. O iya, bayangkan jika swab test dilakukan secara gratis dan massif dengan tempat yg tersebar luas di beberapa area, bukannya ini malah mendukung upaya pemerintah untuk menekan laju penyebaran virus ini?

Saya lalu memprediksi (atau bahkan sudah terjadi) dua hal minimal yang akan terjadi jika persoalan rapid test ini tidak dituntaskan.

Bisnis baru diatas bencana

Rapid test akan menjadi ladang bisnis baru. Pihak-pihak tertentu akan menjadikan rapid test sebagai alternatif pemasukan untuk mengganti keuntungan yg berkurang di masa pandemic. Jika rumah sakit mengadakan rapid test, ini masih masuk akal, tetapi akan ada paket rapid test untuk naik pesawat ataupun naik bus yang biayanya dimasukkan dalam komponen tiket. 

Lama-lama kalau dibiarkan, kita nanti berkunjung ke tempat wisata, harga tiket masuk sudah include biaya rapid test. Pemerintah memang sudah menentukan tariff batas atas rapid test itu Rp 150.000. Tapi, kalo melanggar apa sanksinya? Kebanyakan hukum di Indonesia bersifat lex imperfecta alias tidak sempurna karena tanpa sanksi. Apalagi kalo sudah menggunakan alasan klasik, kami swasta pak, tidak ikut pemerintah. Please acknowledge this is no time to be profiting from the pain of others.

Lalu soal alat rapid testnya sendiri, pasti akan banyak merek yang beredar di Indonesia dan pasti juga kualitasnya berbeda. Beda kualitas beda akurasi kan? Untuk apa bayar rapid test kalo hasilnya juga tidak akurat? Sudahkah semua yang beredar itu melalui proses semacam pengujian? Kita mungkin perlu mencari tahu ada apa di balik program rapid test ini? Siapa produsen alat-alatnya, siapa distributornya, adakah hubungan tertentu dengan pihak pengambil kebijakan? Ini sama halnya ketika kita akhirnya tahu mengapa program pelatihan online itu tetap dijalankan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun