Manusia dapat dianalogikan dengan laptop. Perangkat keras (harware) diibaratkan sebagai jasad. Daya listrik diibaratkan sebagai ruh. Tanpa listrik, laptop tidak bisa hidup. Laptop yang sudah bisa dihidupkan tidak akan bisa dioperasikan jika tidak ada software. Software inilah yang diibaratkan sebagai jiwa.
Manusia yang hanya memiliki jasad hanyalah seperti seonggok sampah organik berbentuk tubuh manusia yang akhirnya membusuk terurai kembali ke bahan dasar, yaitu tanah. Manusia yang hanya memiliki jasad dan ruh tidak ubahnya hanya sebagai si fulan yang sedang koma. Kendati ia mengetahui apa yang ada di sekitar dirinya, tetapi ia tidak mampu berbuat apa-apa. Ia memang hidup tetapi tidak bisa melakukan kehendaknya. Manusia yang memiliki ketiga unsur secara lengkap -jasad, ruh dan jiwa-, ia bisa bertindak sesuai kehendaknya. Ia hidup secara aktif.
Pada saat manusia dikatakan meninggal dunia, ketiga unsur pembentuk dirinya akan berpisah. Jasadnya kembali ke tanah, ruhnya kempali kepada Allah, dan jiwanya masuk ke alam kubur (barzah). Orientasi jasad adalah berkaitan dengan unsur tanah, disebut "selera rendah," maunya ingin makan, minum, dan syahwat. Sedangkan orientasi ruh adalah kembali kepada Allah Sang Pencipta, disebut "selera tinggi." Jiwa berperan sebagai pengendali diri. Ia bisa menilai, mempertimbangkan, merencanakan, mengambil keputusan, dan mengeksekusi dalam tindakan. Karenanya ia harus bertanggung jawab atas tindakannya.
Berhadapan dengan kewajiban berpuasa, jika jiwa lebih mengikuti orientasi jasad -selera rendah (makan, minum, dan syahwat)-, maka puasa akan terasa berat. Jika ia lebih mengikuti orientasi ruh -selera tinggi-, maka puasa akan terasa ringan. Jadi jiwa ini sebagai pengendali diri manusia, mau berpihak kepada selera jasad atau selera ruh. Tentu tidaklah mungkin manusia meninggalkan selera jasad sama sekali. Karena, jika hal itu yang terjadi, maka manusia akan mati. Yang perlu dilakukan oleh jiwa adalah mengendalikan kepentingan unsur jasad dan ruh agar seimbang. Jiwa diberi ilham untuk menilai mana jalan yang fasiq -jalan sesat- dan mana yang jalan takwa -jalan taat.
Keseimbangan ini bisa dicapai jika manusia diberi batasan atau aturan yang membatasi kehendak jiwanya. Jika tidak dibatasi akan menjadi liar tak terkendali. Itulah kelemahan manusia. Aturan yang terbaik adalah aturan yang dibuat oleh Yang Menciptakan manusia, karena hanya Dialah yang paling mengetahui kelebihan dan kelemahan manusia.Â
Sehingga Dia yang paling tahu bagaimana seharusnya manusia itu diatur. Semua aturan itu pada dasarnya adalah untuk kebaikan manusia, itu sebagai bentuk kasih-sayang Allah kepada manusia. Orang yang mampu menyeimbangkan diri dengan mengikuti aturan ini, disebut sebagai orang yang beriman.
Malang, 2 Mei 2021
Ngudi Tjahjono
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H