Mohon tunggu...
Ratu Kalinyamat
Ratu Kalinyamat Mohon Tunggu... lainnya -

Seorang anak desa yang ingin menulis sesuatu yang baik

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Bukan Kurikulum, Tapi Guru & Dinas yang Kadaluwarso

10 Juni 2013   12:13 Diperbarui: 29 April 2016   14:02 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Selamat pagi sahabat kompasiana dimana saja berada, pagi yang menyenangkan ini saya mau menuliskan tentang pendidikan karena sedikit banyak saya paham akan hal ini, memang saya bukan lulusan dari sekolah guru tetapi dari ilmu murni tetapi saya sudah cukup lama mengajar dan lebih serunya lagi orang tua saya kedua-duannya dulu guru SD di tempat dulu saya dilahirkan.

Kenapa saya sangat tertarik menulis ini ya karena memang dulu orang tua saya seorang guru dan saat ini saya juga mengajar di sebuah SMA Swasta di daerah. Setelah dewasa seperti sekarang ini saya mulai paham dan sangat-sangat lumayan untuk menganalisa kelebihan dan kekurangan orang tua saya dulu waktu mengajar dan berikut ini hasil analisanya :

Bapak :

Bapak saya menjadi guru hanya kebetulan saja, karena waktu itu ada lowongan guru dan dia bukan lulusan dari SPG tetapi menurut cerita hanya sekolah 2 tahun bisa langsung mengajar menurut cerita mereka (Ibu & Bapak) dan kalau saya mau jujur bapak tidak terlalu pandai seperti ibu tetapi punya daya juang yang tinggi, disiplin dan agak keras waktu mengajar (pernah di bawakan klewang orang tua siswa tetapi orang tua sadar kalau anaknya dididik bukan di hukum). Ketika pemerintah mengadakan UN pertama kali dan seterusnya murid-muridnya mendapatkan nilai NEM tertinggi tingkat kecamatan dan sewaktu beliau di pindah tugaskan ke daerah lain yang lebih pelosok ternyata anak-anaknya mendapatkan NEM tertinggi juga setingkat kecamatan. Ternyata keberhasilan suatu pendidikan bukan karena seorang guru yang pandai tetapi lebih pada Etika, Moral, kemauan , kerja keras untuk mencapai hasil pastinya di barengi dengan disiplin tinggi.

Ibu :

Ibu memang lulusan SPG kala itu dan merupakan murid berprestasi dan mempunyai karakter yang penyayang, disiplin tidak terlalu baik, mengalah dan lembut berbicara dan merupakan salah satu guru matematika terbaik kabupaten dan pernah dikirim untuk pembuatan soal ebtanas untuk propinsi Jawa Tengah kala itu,  sayang beliau tak berumur panjang karena ketika umur 48 sudah meninggal dunia dan mengajar di sekolah SD Inpres kala itu untuk hasil siswanya tak terlalu mengecewakan tetapi tidak bisa mencapai hasil yang luar biasa seperti bapak karena mungkin mempunyai karakter lembut dan penyayang jadi siswa tak terlalu kerja keras untuk mencapai hasil yang maksimal

Dari sinilah saya ingin semua masyarakat Indonesia paham bahwa bukan karena seorang guru pandai luar biasa untuk menelurkan siswa yang luar biasa tetapi yang dibutuhkan adalah seorang guru yang punya hati, etika dan moral yang baik yang bisa membikin siswanya sukses dan juga kerja keras dan disiplin tinggi untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Tak terlalu penting untuk dipermasalahkan apakah siswa hanya sebagai obyek kegiatan belajar mengajar di kelas apapun yang lain karena seorang guru yang bermoral, etika baik kerja keras dan disiplin tinggi dalam mendidik siswa otomatis mempunyai nurani untuk membuat semua siswanya sukses. Buah tidak bakal jatuh dari pohonnya, jadi menurut saya bukan Kurikulum yang salah ataupun siswa yang salah tapi yang paling dipersalahkan saat ini tentang pendidikan adalah petinggi pemerintahan, dinas kota dan yang terakhir adalah guru-guru yang sudah tak punya nurani dan hanya berpikir finansial belaka, apalagi sekarang ada fungsional dan sertifikasi.

Keberhasilan pendidikan bukanlah mengganti Kurikulum atau mensyaratkan uji kompetensi guru (UKG) yang serba online, ini kan hafalan tidak kenyataan di lapangan...........yang paling tahu kualitas seorang guru yang paling pertama pasti murid, kepala sekolah dan orang tua siswa. Kita harus paham yang dibutuhkan dalam persaingan sekarang ini adalah kualitas berpikir bukan nilai suatu hafalan tetapi lebih ke psikomotorik (praktik kehidupan) untuk menjadi manusia Indonesia yang lebih kompetitif. Dan yang paling tahu kualitas siswa secara keseluruhan tentang kemampuan intelek dan praktik adalah guru, karena seorang guru setiap hari pasti bersosialisasi dengan siswanya baik secara langsung maupun tak langsung dan sangat-sangat paham karakter siswanya.

Setahu saya dari sekolah SD dulu sampai sekarang mungkin sudah ada 5 sampai 8 kali kurikulum di rubah oleh pemerintah, tetapi setahu saya cara mengajar seorang guru di kelas dari dulu sampai sekarang tak ada perubahan sama sekali dan yang lebih parahnya lagi buku selalu di rubah-rubah terus sesuai kurikulum. Padahal kalau mau jujur untuk merubah suatu kurikulum di butuhkan dana yang tak sedikit sampai Trilyun, benar-benar tak seimbang dengan perubahan yang di harapkan.

Kalau pemerintah mau berpikir bukan hanya dengan logika tetapi juga dengan nurani pastinnya yang di bagun dulu adalah pertama pasti akarnya yaitu para petinggi pendidikan, pohonnya yaitu para guru. Kalau ini malah terbalik yang di beri obat adalah tangkai dan daun tunasnya biar buahnya baik. Akar dan pohon harus di godok dulu dari sekolah pendidikan yang berkualitas, sekarang ini di suatu perguruan tinggi baik negeri maupun swasta di setiap jurusan hanya 5 sampai 8 mahasiswa yang berkualitas untuk bisa langsung kerja dan yang lain nol besar dan itu baru berkualitas secara intelek belum lagi etika dan moral dan satu yang lebih penting adalah nurani.

Saya sangat ingin tulisan ini bisa terbaca oleh Presiden, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan orang-orang yang berkompeten di bidang pendidikan. Karena tak akan ada perubahan signifikan di pendidikan dengan bergantinya kurikulum karena bukan kita memberi obat pada daunnya tetapi yang kita bangun adalah akar pendidikan yaitu pera pejabat, kalangan akademis sehingga bisa menghasilkan guru yang benar-benar berkualitas baru setelah itu menghasilkan buah yang ranum atau siswa yang berkualitas. Kurikulum yang terbaik adalah kurikulum yang di pakai selama 25 tahun atau 50 tahun dan hanya di refisi setelah berjalan selama itu tanpa merubah fondasi dasar yang sudah ada. Bukan kurikulumnya yang salah tapi etika, moral dan nurani kita yang sudah salah karena sudah buta oleh kekuasaan dan kekayaan.

Semoga orang-orang yang kompeten dalam pendidikan mulai sadar bahwa bukan kurikulumnya yang salah tapi  mata (tak melihat walau melihat), telinga (tak mendengar walau mendengar) dan mulut (tak merasa bau walau bicara terus) kita yang paling salah bukan siswa atau kurikulumnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun