Cerita Bersambung
Oleh: Dadang Sukandar
“She will be love” lantunan Maroon Five yang menggantung di langit-langit kafe itu adalah pesanan seorang pria yang sedang mabuk. Bukan, bukan mabuk minuman, mariyuana, atau sejenisnya. Pria itu sedang mabuk cinta. Fakta yang relevan dengan kondisi itu antara lain seorang gadis di seberang mejanya yang tersipu malu-malu ketika jari-jemarinya digerayangi. Di atas meja, selain lilin juga berjejer setangkai mawar merah dan kotak kecil berwarna coklat – yang mudah ditebak isinya cincin kawin. Ketika Maroon Five berganti petikan gitar “Harmoni” dari band Padi, pasangan itu telah luluh ke dalam keajaiban asmara, saat sang pria memasukan lubang cincin itu di jari manis tangan kiri si gadis. Gadis itu berbinar matanya dan nyaris meledak. Di atas kepala mereka Dewi Cupid sedang merayakan kesuksesan, menyelesaikan misinya menancapkan panah cinta tepat di jantung hati mereka, seolah menegaskan bahwa di titik inilah mereka akan bahagia bersama selamanya sehidup semati.
Di pojok lain kafe itu suasananya bertolak belakang: tenang dan murung. Di sana Yosua duduk sendirian bersama laptopnya. Sambil menunggu seseorang ia menjelajahi google. Sesekali Yos menyempatkan melirik ke arah pasangan tadi, juga ke arah pasangan-pasangan lainnya di meja tengah ruangan. Rata-rata meja-meja di kafe itu diduduki oleh pasangan-pasangan yang terlihat bahagia – kecuali satu pasangan yang sedang bertengkar di lantai dua.
Tak ada yang aneh pada dirinya, pikir Yos. Biasa-biasa saja kalau ia tak punya pasangan. Sudah dua tahun terakhir Yos menjalani dinas aktifnya sebagai jomblo. Karena status itu pula Yos merasa lama-lama harapan mamanya untuk segera punya cucu darinya menjadi tuntutan. Juga di kalangan kawan-kawan seangkatan kuliahnya dulu yang rata-rata sudah beranak satu. Kejombloannya itu pula yang sering menuntunnya pada pertanyaan kalau tidak “siapa?”, ya, “kapan?” Pertanyaan-pertanyaan yang sering dijawab Yos dengan tidak konsisten dan meragukan – itupun kalau ia sedang berselera menjawabnya. Meski usianya sudah dua puluh delapan tahun, tapi hard disk di otaknya masih belum cukup kapasitas untuk memuat memori-memori tentang wanita.
Keterlambatan yang membuatnya menunggu di kafe itu diawali oleh janjinya dengan seorang sahabat lama yang telah memastikan dirinya akan tiba di kafe itu tepat jam delapan malam. Sekarang sudah jam delapan lewat dua puluh menit tapi orang yang ditunggu-tunggu belum juga muncul. Kalau saja bukan Yos yang butuh, mungkin ia sudah meninggalkan kafe itu sejak sepuluh menit yang lalu – batas toleransinya pada keterlambatan cuma sepuluh menit. Pekerjaan menunggu, jikapun bisa dianggap sebagai pekerjaan, adalah hobi yang paling tak diminatinya. Untungnya ia membawa laptop dan kafe itu ber-wi-fi, membuat pekerjaan menunggunya menjadi lebih produktif. Di internet ia sedang membaca blog dan menelusuri foto-foto pendakian gunung.
Setengah jam kemudian tiba-tiba di hadapannya muncul seorang pria layaknya tukang sulap, “Coy! Sory, gue telat!”
Pria itu adalah Nikolas.
Niko meletakan tas laptop ke kursi di sebelahnya dan ia mengambil duduk tepat berhadapan dengan Yos, sambil seperti biasanya, melempar senyum yang paling tidak bersalahnya dan berancang-ancang menyebutkan sepuluh dasar pembenar yang dapat menjustifikasi keterlambatannya selama hampir lima puluh menit.
Niko menengok jam.
“Baru jam sembilan kurang. Gue pesen makanan dulu, ya. Laper berat, coy!” pinta Niko yang dijawab Yos cuma dengan anggukan alis.
Dengan ujung jari telunjuk Niko berhasil menarik seorang pelayan wanita ke mejanya.
“Rencananya tadi gue mau cabut dari kantor jam tujuh kurang,” jelas Niko mengemukakan dasar pembenar pertama. “Waktu mindik-mindik gue ketahuan. Bos gue ternyata masih di kantor. Gue malah dikasih kerjaan baru.”
“Kalau nggak sanggup janji jam delapan, tinggal bilang jam sembilan. Beres, kan?” celetuk Yos tanpa mengalihkan perhatiannya dari laptop.
Sepanjang tujuh tahun persahabatan mereka, kata telat telah disempilkan Yos ke dalam nama tengah Niko: Nikolas “Telat” Purba. Itu pula yang membuat Yos terbiasa membawa bacaan tebal yang enteng kalau janji bertemu dengan Niko. Tapi setahun belakangan kondisinya sudah lebih baik dibandingkan awal-awal persahabatan mereka dulu, waktu Niko belum punya konsep tentang waktu. Dulu, Niko tak pernah memakai jam, dan waktu hanyalah apa yang mengalir di pikirannya. Justru aneh kalau Niko tepat janji, itu berarti terjadi kemunduran pada konsepnya tentang waktu – tapi sekaligus kemajuan pada karakternya menghargai waktu orang lain.
Niko baru setahun bekerja di sebuah law firm sebagai asisten pengacara – tapi Niko lebih suka menyebut dirinya junior lawyer. Kebiasaan disiplin janji meetingdengan klien-klien hukumnya telah membuat Niko sadar, waktu tidak bergulir secara tanpa batas. Waktu punya ukuran, dan segala yang punya ukuran dapat dinilai dengan harga. Sebagai calon pengacara sungguhan, waktunya telah mulai dihitung dengan dolar. Janji-janji dengan klien selalu diupayakannya tepat waktu demi atas nama profesionalisme. Kecuali pada Yos, sahabat lamanya itu, kepadanya Niko masih menyisakan semiliar alasan untuk menjustifikasi dasar pembenar soal janji dan waktu yang sering diselewengkannya sesuka hati. Tapi dalam diam dan acuhnya Yos sudah pasti memafkan, sebesar dan sekecil apapun kesalahan Niko. Sahabat sejati selalu memaafkan, apalagi cuma gara-gara terlambat lima puluh menit.
Seorang pelayan wanita menghampiri meja mereka kemudian menyodorkan buku menu. Pelayan itu nampak tergesa-gesa. Meski sibuk karena terlalu banyak meja yang perlu dilayani, bibir pelayan wanita itu masih sempat dikembangkannya. Niko melakukan riset cepat buku menu dan ia memesan sirloin steak. Ketika menyerahkan kembali buku menu Niko menyempatkan diri melirikkan matanya ke arah pelayan itu, dan wajahnya, amboi! Kalau bukan keturunan India pastilah wanita itu berdarah Timur Tengah. Wajahnya panjang, melancip di dagu dan simetris sempurna. Ia memiliki mata coklat dan pipi yang bulat. Bibirnya merah dibuat-buat dan tebal seperti guling. Dorongan darah tiba-tiba menderas dalam tubuh Niko, mulai dari mata, turun ke dada, dan menyebar ke mana-mana. Dorongan itu memancing lirikannya dengan sapuan mata terakhir merabai pinggul wanita itu yang bulat vespa. Niko memesan sirloin steak.
“Dan minumnya?” tanya pelayan wanita itu.
Niko meminta lagi buku menunya dan membolak-balik buku itu, entah mencari apa, sebab pikirannya mulai kusut dan sedang kemana-mana.
“Menu standar kami untuk minuman adalah aneka milkshake,” jelas pelayan itu sambil setengah membungkuk.
“Mmmhhh… Ya, ya, ya, Boleh! Boleh! Milkshake!” pesan Niko.
“Milkshake apa?” tanya pelayan lagi.
“VANILA,” jawab Niko dengan liur yang nyaris menetes di ujung bibir. “MILKSHAKE VANILA!”
Pelayan wanita itu mencatat pesanan Niko dan langsung balik punggung menujupantry. Dari arah duduknya pandangan Niko tak putus-putus menembusi rok belakang wanita itu yang bulat sempurna.
“Keren!” bisik Niko pada Yos.
Wanita. Perbedaan isi kepala kedua bersahabat itu tentang wanita bisa dibilang putus-putus nyambung. Niko adalah pria yang sudah kecanduan pada nikmatnya eksplorasi otak kanan dalam membayangkan obyek-obyak vital seperti bagian dada atau tonjolan berlebih lainnya di seputar tubuh wanita. Yos sebaliknya, sering meredam memori-memori semacam itu dan sering kali berakhir dengan perasaan leleh karena menahan hasrat menyentuh kulit dan membelai lekuk. Persamaan mereka adalah sama-sama menyukai wanita yang tangguh dan nggak banyak ngeluh – yang dalam beberapa kesempatan teman-teman mereka pernah menyomblangi mereka dengan seorang waria.
Cerita selanjutnyaCamp 4 (Bagian 2)Camp 4 (Bagian 3)Camp 4 (Bagian 4)Camp 4 (Bagian 5)Camp 4 (Bagian 6)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H