Banyak tempat unik di Indonesia ini. Tapi kalau ada tempat yang bisa sambil makan terus diramal, mungkin cuma sedikit sekali. Ya, salah satunya di Kya-kya ini.
“Sekarang jangan bilang pernah ke Surabaya, kalau belum pernah mampir ke Kya-kya,” kata Yanto, pemandu kami di Surabaya. Sebuah pernyataan yang aneh menurut saya. Sebab, biasanya orang bilang, “ Jangan bilang pernah ke Surabaya kalau belum melihat jembatan merah.”
Lalu apa uniknya Kya-kya, sampai bisa menggeser pendapat para pemandu untuk mengantarkan turisnya kesana? . Makanan, jawabannya makanan. Setelah lelah berkeliling kota, berwisata melihat-lihat sejarah patriotis kota ini. Tak banyak yang diminta badan ini, selain kasur dan makanan enak, dan Kya-kya memenuhi salah satu kebutuhan tersebut.
Sebenarnya daerah pusat jajanan di seberang jembatan merah ini belum lama direstorasi kembali. Kini dengan perbaikan disana-sini, jadilah salah satu jalan industri di pusat kota itu, disulap menjadi deretan penjual makanan berbagai rasa. Mulai dari cita rasa nasional hingga bumbu-bumbu internasional. Siap terhidang bila memang kita mau memesannya.
Tercatat untuk kategori nasional ada makanan-makanan seperti plecing lombok, tempe penyet, gudeg, nasi padang, seafood, sate babi bakar, soto dan sate ayam madura, gorengan, tempe bacem, nasi pecel, nasi rawon dan banyak lainnya yang kalau di tulis satu-satu bisa habis satu halaman koran ini.
Buat yang gandrung dengan makanan internasional juga bisa di temui berbagai masakan khas China, mulai dari berbagai hidangan bebek hingga makanan India yang beraroma menusuk itu. Kalau ingin masakan intercontinental, yang jelas makin tak karuan rasanya dilidah. Terserah.
Seafood Plecing
Entah mengapa pilihan makan kami kali ini berupa makanan laut. Mungkin karena hawa hangat yang terus-terusan di tebarkan kota Pahlawan ini. Mengingatkan kami pada daerah pinggir laut, seperti kebanyakan daerah ibukota provinsi di Indonesia lainnya.
Tapi tak enak rasanya bila hanya memakan masakan laut yang tanpa serat tersebut. Akhirnya pilihan juga jatuh ke makanan berkadar serat tinggi, seperti plecing lombok misalnya. Makanan yang dipenuhi dengan kangkung ini seperti mengingatkan kami pada kemewahan. Sebuah kekayaan rasa pedas, yang tersembul dari sambal kacang yang tertebar diatasnya. Di tambah dengan gorengan sebagai lauk, jadilah makan malam campur-campur ini di nikmati juga.
Makanan laut yang ada sebenarnya tidak berbeda jauh dengan yang ada di kota besar lain, seperti Jakarta misalnya. Ikan kakap bakar, yang ditampilkan berkesan mentereng karena banyaknya aksesori diatasnya. Namun kalau mau bicara soal rasa, lebih menarik di Muara Karang sepertinya.
Namun, kalau mau bicara mengenai Plecing, barulah bisa kita berdesah-desah. Pilihan aroma pedas yang diciptakan sangat terasa sekali memanaskan mulut. Sambal kacang yang tertabur indah di permukaan sayur kangkung, toge, kacang panjang dan kikil itu, seperti tak henti-hentinya memaksa bibir untuk mendesah.
Untung ada sedikit goreng-gorengan yang sempat terbeli sambil menanti makanan matang. Hingga mampu agak memadamkan perasaan pedas yang sampai ke ulu hati tersebut. Di tambah aneka jus yang terasa encer, malah mampu memadamkan cita rasa tinggi nabati itu.
Sayangnya kami tak sempat merasakan masakan India, yang kata Yanto cukup yahud itu. Biarlah yang penting perut sudah kenyang. Masalah makanan India, nanti saja kami makan di negeri asalnya sana.
Ramal
Selain makanan yang beraneka rupa. Desain tempat makan di Kya-Kya terlihat menarik sekali. Dengan bangku-bangku merah dan meja kuning, terlihat kontras di malam hangat Surabaya. Belum lagi hiasan berbagai lampion yang tergantung di sepanjang jalan ini. Mengingatkan kita pada daerah China town di luar negeri sana.
Isi pusat jajanan ini juga makin meriah dengan kehadiran para penjual aksesoris di sepanjang pinggir jalan. Menjual berbagai cendera mata, seperti kerajinan kaca, sepatu, pernak-pernik China Town, dan lainnya. Enaknya disini tak ada pemaksaan sama sekali. Siapapun bisa datang dan bertanya bila tertarik pada satu hal. Syukur-syukur kalau mau membeli. Kalau hanya mampir, juga dianggap angin lalu saja.
Ada satu lagi yang bikin kita agak betah disana. Kios-kios ramalan banyak bertebaran. Saya sempat menghitung jumlahnya, di sepanjang sisi kanan saja mencapai enam buah jumlahnya. Belum yang disisi kiri, paling tidak sama saja. Keunikan meramal nasib ini juga terasa mengisi waktu luang kita menunggu makanan jadi. Dengan uang Rp. 25.000, kita bisa merasakan jiwa yang melayang karena ramalan nasib yang ada sepertinya kebanyakan berbau indah. Justru yang apes kalau sedang diramal, tiba-tiba masakan jadi. Yang jelas-jelas bikin kelimpungan penjual yang mencari pelanggannya. Sayangnya saya tak sempat mencoba diramal sambil makan, mungkin asyik kedengarannya. Asal ramalannya menjurus yang baik-baik saja sih, okey deh. (sulung prasetyo/www.ngarai.com).
Artikel Terkait:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H