Mohon tunggu...
Pak Suka
Pak Suka Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Berkebun

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Slogan Nganjuk Jayamrta

14 Agustus 2024   08:06 Diperbarui: 14 Agustus 2024   08:29 1048
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada hal menarik yang patut disimak, salah satu calon pemimpin nomor satu di Nganjuk telah memilih slogan dengan mengadopsi istilah bahasa Sansekerta, yaitu Nganjuk Jayamrta. Dari slogan tersebut menunjukkan bahwa Nganjuk merupakan suatu daerah dan Jayamrta suatu tujuan yang ingin digapai.

Jelas bahwa tokoh yang satu ini memiliki visi dan misi ke depan penuh dengan perenungan dan pertimbangan yang matang alias tidak asal menyomot kata-kata indah. Lantaran slogan Nganjuk Jayamrta dimana akar kata aslinya adalah Jaya Amrta tersebut sama halnya sang tokoh telah mengangkat akar budaya leluhur sebagai tujuan sukses gemilangnya dari bumi Nganjuk. 

Entah, bakal calon pemimpin ini secara sengaja atau kebetulan memilih slogan yang sesungguhnya memiliki makna filosofis sangat tinggi ini, yang jelas kata Jayamrta ter-gurit pada isi Prasasti Anjukladang atau Jayastambha. Yaitu sebuah surat keputusan raja Mataram Medang Pu Sindok tentang penetapan sebidang tanah kakatikan untuk ditetapkan sebagai tanah bebas pajak atau tanah sima.

Dalam Prasasti Anjukladang, kata Jayamrta tertulis bersama kata Sang Hyang Prasada Kabaktyan i Sri Jayamrta (baris 8). Maknanya, sebuah bangunan tinggi (candi) yang diperdewakan berada di suatu tempat bernama Sri Jayamrta. Sehingga bangunan tersebut dikenal sebagai Candi Sri Jayamrta, karena terikat oleh nama suatu tempat, yaitu Sri Jayamrta.

Kata Jayamerta sebenarnya terdiri dari tiga gabungan kata, yaitu, "jaya", "a", dan "merta". "Jaya" berarti penaklukan, kemenangan, seruan kemenangan, "a" berarti tan atau tidak, dan "mrta" berarti kematian. (Zoedmulder, Kamus Jawa Kuno - Indonesia). Karena kata "jaya_amerta" apabila digabung, salah satu vokal "a" harus lebur, sehingga menjadi "jayamrta", yang berarti kemenangan yang tak kan pernah mati alias kekal abadi.

Dalam kitab Wisnu Purana disebutkan, kata "amrta" bersama kata 'tirta", yaitu "tirtamrta atau tirta amrta". yaitu air suci yang menjadikan peminumnya hidup abadi.

Ceritanya, Dewa Wisnu menjelma sebagai kura-kura atau akupa, turun ke bumi untuk menyelamatkan mayapada dan seisinya.

Awalnya, para dewa dan para asura telah melakukan sidang di Gunung Mahameru untuk mendapatkan air keabadian atau tirta amrta. Karena siapa saja yang berhasil minum tirta amrta, maka mereka dapat hidup abadi dan tak pernah mati, layaknya hidup di surga.

Pada saat bersidang hampir mencapai date lock, karena tidak ada yang dapat menunjukkan di mana letak tirta amrta berada dan bagaimana caranya untuk mendapatkannya. Lantas, Dewa Wisnu tiba-tiba bersuara dan memberikan petunjuk bahwa tirta amerta dapat diperoleh di dasar samudera susu atau dikenal dengan sebutan Samudera Mantana. Namun untuk mendapatkannya harus dengan cara diaduk.

Bergegas, para dewa dan asura mendatangi Samudera Mantana dan bermaksud untuk mengaduk-ngaduknya. Dijebollah gunung Mandara sebagai alat pengaduk. Untuk mengaduk, para dewa minta bantuan Dewa Naga Basuki. Tubuh Naga Basuki dililitkan pada  lereng Gunung Mandara. Bagian kepala Dewa Basuki dipegangi oleh para asura, dan di bagian ekor dipegangi oleh para dewa. Kemudian pengaduk diputar dengan kencang. Kuatir akan tenggelam, maka Dewa Wisnu yang menjelma sebagai akupa atau kura-kura raksasa menyangga bagian bawah gunung dan Dewa Indra duduk di ujungnya untuk menekan agar tidak melayang.

Setelah samudera susu diaduk, muncullah Dhanwantari dari dalam samudera sedang menjinjing pertala berisi tirta amerta hendak dibagi-bagikan kepada seluruh dewa. Mengetahui para asura tidak mendapat bagian, tirta amrta direbut untuk dikuasai. Maka terjadilah pertengkaran antara pihak dewa dengan para asura.

Sadar bahwa tirta amrta berada dalam kekuasaan para asura yang berwatak raksasa tersebut, Dewa Wisnu menjelma sebagai wanita jelita bernama Mohini. Siasat ini untuk mengelabuhi para asura agar terpikat dengan kecantikan Mohini dan tirta amrta dapat dikuasai kembali.

Melihat kecantikan Mohini, para asura terpikat hingga menyerahkan tirta amrta. Setelah tirta amrta berhasil diambil alih, kemudian Mohini pergi meninggalkan para asura dan berubah wujud menjadi Dewa Wisnu kembali.

Merasa ditipu, para asura marah kepada para dewa dan terjadilah pertempuran diantara kedua belah pihak. Karena sama-sama memiliki kesaktian, Dewa Wisnu menggunakan sejata cakranya untuk memungkasi para asura.

Kemudian para dewa pergi ke Wisnuloka untuk berpesta minum tirta amrta agar mendapat kehidupan abadi yang tak kan pernah mati.

Sayang, saat pesta berlangsung ada salah seorang asura yang menyamar sebagai dewa turut minum tirta amrta.

Beruntung penyamaran asura tersebut diketahui oleh Dewa Matahari dan Dewa Bulan dan melaporkan kepada Dewa Wisnu.  Dengan cepat Dewa Wisnu melemparkan senjata cakranya tepat mengenai leher sang asura ketika tirta amrta sudah ditenggak hingga tenggorokannya.

Terkena sasaran senjata cakra, tubuh sang asura mati seketika, namun bagian kepalanya masih hidup lantaran tirta amrta sudah meresap hingga tenggorokannya.

Akhirnya sang asura marah dan mengancam kepada Dewa Matahari dan Dewa Bulan. Ia bersumpah hendak memangsa kedua dewa yang telah melaporkan kepada Dewa Wisnu tersebut setiap pertengahan bulan. Peristiwa tersebut kemudian dikenal dengan legenda

terjadinya gerhada bulan dan matahari yang terjadi setiap pertengahan bulan.

Nganjuk pada Slogan Nganjuk Jayamrta ?

Kata Nganjuk merupakan tempat atau daerah sebagaimana Kabupaten Nganjuk sekarang. Kata Nganjuk merupakan toponime dari kata Anjukladang yang juga ter-gurit pada isi Prasasti Anjukladang. Kata Anjukladang melekat pada kalimat: sang hyang prasada kabhaktyan  i  dharma  samgat  pu anjukladang ... (baris 5). Yang artinya sebuah bangunan suci (candi) sebagai dharma seorang pejabat bernama Samgat Pu Anjukladang. Kemudian, nama Anjukladang tersebut berkembang menjadi nama Nganjuk setelah mengalami proses nasalisasi huruf "ng" di depan kata Anjuk.

Pu Sindok, Jayamrta, Jayastambha, dan Anjukladang

Pu Sindok adalah raja Mataram Medang periode Jawa Timur yang bertahta pertama kali di Tawmlang (Tembelang), Kabupaten Jombang (Prasasti Turryan 929M). Kemudian istana kerajaan dipindahkan ke Watugaluh,  Kabupaten Jombang (Prasasti Anjukladang 937 M).

Selama bertahta sebagai raja, Pu Sindok banyak menganugerahkan tanah perdikan kepada daerah kekuasaannya, termasuk Kakatikan Anjukladang. Kepada rakyat Kakatikan Anjukladang, selain memberi anugerah tanah sima, Pu Sindok  juga memerintahkan untuk membangun prasada kabaktyan  Jayamrta dan meng-gurit batu prasasti sebagai bukti kemenangan atau kejayaan. Batu gurit kemudian dikenal sebagai Prasasti Anjukladang atau Jayastambha. Tujuan penganugerahan tanah sima Anjukladang, sebagai balas jasa atas perjuangan rakyat kakatikan  yang dipimpin oleh Sang Pamegat (Samgat) Pu Anjukladang  dalam mengusir musuh kerajaan dari Swarnadwipa (Melayu). 

Proses penetapan Sima Anjukladang ditandai dengan upacara disebut Manusuk Sima Anjukladang dan pesta sangat meriah pada bulan Caitra tanggal 12 paruh gelap tahun 859 Caka atau tanggal 10 April 937 Masehi. Pada prosesi Manusuk Sima ini, Pu Sindok hadir sebagai utusan Dewa dengan membacakan sapatha atau kutukan yang sangat mengerikan, yang ditujukan kepada siapa saja yang berusaha mengganggu tanah sawah Kakatikan Anjukladang . Tujuannya, agar rakyat Anjukladang selamat untuk selama-lamanya.

Berdasarkan kajian filosofis slogan Nganjuk Jayamrta di atas menggambarkan kontestasi politik dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) saat ini. Untuk meraih kemenangan, seorang pemimpin harus memiliki visi dan misi yang tepat sasaran agar dapat hidup dan menghidupi rakyatnya lebih sejahtera. Dapat melindungi dan selalu waspada terhadap segala bentuk ancaman dan gangguan keamanan agar rakyatnya dapat hidup tenang. 

Sadar, untuk mencapai kemenangan tidaklah mudah. Sang pemimpin harus melewati berbagai rintangan dari para asura, baik yang muncul secara terang-terangan maupun yang berlagak baik. Untuk itu segala bentuk rintangan dari para asura yang berwatak raksasa harus sirna oleh senjata cakra, demi Nganjuk Jayamrta. Semoga!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun