Mohon tunggu...
Ngalor Ngidoel
Ngalor Ngidoel Mohon Tunggu... Freelancer - Travellers

Travelling Everywhere Anytime till you drop www.ngalorngidoel.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Labirin dan Desakralisasi Makam Bung Karno

21 Juni 2019   18:29 Diperbarui: 21 Juni 2019   18:42 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Makam Bung Karno (tengah) dan peziarah (Dokpri)

Usianya juga beragam dari muda hingga veteran perang 45 yang masih hidup. Peziarah tua tampak khidmat berdoa dan menangis haru di depan makam beliau, sementara yang muda justru asyik berselfie ria di depan makam.

Makam Bung Karno (tengah) dan peziarah (Dokpri)
Makam Bung Karno (tengah) dan peziarah (Dokpri)
Tak tampak lagi rasa takut apalagi seram saat mengunjungi makam beliau terutama buat yang muda. Makam sudah tidak lagi menjadi benda yang sakral, yang harus ditakuti atau ada tulah dan sejenisnya kalau melanggar etika atau adab.

Para pengunjung tampak lebih bebas berekspresi di depan makam tanpa takut kualat atau kena sambar jin. Ada yang tertawa riang, berfoto-foto dengan pose bebas tanpa takut diintip hantu atau jin yang ikut numpang foto.

Saya lebih kaget lagi ketika selesai berdoa dan mendokumentasikan suasana sekitar makam. Ternyata jalan keluarnya lebih panjang dan berliku yang tak ada ujung pangkalnya.

Kita harus melalui lorong mirip labirin yang terdapat toko-toko souvenir di sisi kiri kanannya. Puluhan toko berjajar menjajakan barang dagangan yang hampir sama dan kita dipaksa untuk melewatinya tanpa ada jalan pintas sehingga harus berputar mengikuti alur untuk menuju jalan keluar.

Pasar Labirin (Dokpri)
Pasar Labirin (Dokpri)
Di satu sisi mungkin niatnya baik agar semua pedagang mendapat kesempatan yang sama untuk dilalui pengunjung. Namun bagi pengunjung tentu ini melelahkan karena harus memutari pasar sebelum keluar, padahal belum tentu membeli barang tersebut. Lagipula barang yang ditawarkan juga tak jauh berbeda antara satu toko dengan toko lainnya sehingga sekilas tampak mubazir kalau harus berkeliling yang memakan waktu lebih dari sepuluh menit sebelum ketemu pintu keluarnya.

Lorongnya tampak pengap karena tertutup rapat dan nyaris tanpa ventilasi udara, hanya ada sedikit jarak antara atap toko dengan atap jalan yang terbuka.

Jalannya juga agak sempit sehingga bila suasana ramai tentu sulit untuk berpapasan dan semakin pengap di dalam. Untung waktu itu cuaca agak mendung sehingga tidak terlalu terasa panas di dalam ruangan. Setelah keluar baru terasa udara segar, dan sayapun menyusuri jalan pedestrian tersebut dan menemukan gong perdamaian dekat pintu masuk utama.

Gong Perdamaian (Dokpri)
Gong Perdamaian (Dokpri)
Tidak semua pengunjung ingin membeli souvenir karena niatnya memang hanya untuk ziarah sekaligus berdoa di depan makam beliau. Jadi jalan keluar yang seperti labirin tersebut sebaiknya ditinjau kembali keberadaannya. Memang niatnya mungkin untuk membagi rata kesejahteraan pedagang, namun kalau tidak ada yang beli jadi percuma juga.

Tetap saja yang beruntung adalah yang berada di awal pintu keluar makam karena pertama kali dikunjungi peziarah, sementara yang di belakang tinggal menunggu godot dan berharap ada yang belum dibeli pengunjung di toko depan.

Makam Bung Karno (Dokpri)
Makam Bung Karno (Dokpri)
Makam Bung Karno sudah kehilangan kesakralannya, berganti menjadi kawasan komersial dengan menjadi obyek wisata budaya dan ikon kota Blitar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun