Usianya juga beragam dari muda hingga veteran perang 45 yang masih hidup. Peziarah tua tampak khidmat berdoa dan menangis haru di depan makam beliau, sementara yang muda justru asyik berselfie ria di depan makam.
Para pengunjung tampak lebih bebas berekspresi di depan makam tanpa takut kualat atau kena sambar jin. Ada yang tertawa riang, berfoto-foto dengan pose bebas tanpa takut diintip hantu atau jin yang ikut numpang foto.
Saya lebih kaget lagi ketika selesai berdoa dan mendokumentasikan suasana sekitar makam. Ternyata jalan keluarnya lebih panjang dan berliku yang tak ada ujung pangkalnya.
Kita harus melalui lorong mirip labirin yang terdapat toko-toko souvenir di sisi kiri kanannya. Puluhan toko berjajar menjajakan barang dagangan yang hampir sama dan kita dipaksa untuk melewatinya tanpa ada jalan pintas sehingga harus berputar mengikuti alur untuk menuju jalan keluar.
Lorongnya tampak pengap karena tertutup rapat dan nyaris tanpa ventilasi udara, hanya ada sedikit jarak antara atap toko dengan atap jalan yang terbuka.
Jalannya juga agak sempit sehingga bila suasana ramai tentu sulit untuk berpapasan dan semakin pengap di dalam. Untung waktu itu cuaca agak mendung sehingga tidak terlalu terasa panas di dalam ruangan. Setelah keluar baru terasa udara segar, dan sayapun menyusuri jalan pedestrian tersebut dan menemukan gong perdamaian dekat pintu masuk utama.
Tetap saja yang beruntung adalah yang berada di awal pintu keluar makam karena pertama kali dikunjungi peziarah, sementara yang di belakang tinggal menunggu godot dan berharap ada yang belum dibeli pengunjung di toko depan.