Mohon tunggu...
Ngalimatuz Zahro
Ngalimatuz Zahro Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Ngalimatuz Zahro (43121010122). Nama dosen : Apollo, Prof. Dr, M.Si.Ak (Universitas Mercu Buana).

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

TB2_Etika dan Hukum Plato

26 Mei 2022   06:50 Diperbarui: 26 Mei 2022   06:54 565
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perkawinan dalam peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia, yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 terkait Perkawinan dirumuskan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang harmonis dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 mengenai Kompilasi Hukum Islam diberikan rumusan bahwa perkawinan menurut hukum Islam ialah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

Dari kedua rumusan terkait perkawinan di perundang-undangan tersebut apabila dianalisis maka ada beberapa perbedaan yang cukup signifikan meskipun tidak sampai bersifat konfrontatif. Di tanggal 10 Juni 1991, Presiden Republik Indonesia sudah mengeluarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 yang intinya yaitu menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang terdiri dari tiga (3) buku, yaitu hukum perkawinan, kewarisan, dan perwakafan. Kompilasi Hukum Islam ini dijadikan sebagai pedoman dalam menetukan perkara-perkara yang terjadi di kalangan umat Islam yang menyangkut dengan tiga masalah tersebut. Hal ini sudah ditetapkan oleh Menteri Agama di dalam keputusannya terkait pelaksanaan INPRES Nomor 1 Tahun 1991 tersebut.   Maka dari itu, KHI menjadi bagian penting di dalam kehidupan masyarakat muslim di Indonesia.

Perkawinan yaitu salah satu hal yang sakral di dalam kehidupan manusia. Ini dikarenakan antara lain karena semua makhluk, terkhusus manusia, diciptakan oleh Allah SWT secara berpasang-pasangan. Sebagaimana yang sudah di jelaskan, bahwa dalam pasal 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, disebutkan bahwa perkawinan yaitu ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang harmonis dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sementara mengenai sahnya suatu perkawinan dijelaskan dalam pasal 2 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974, yaitu perkawinan ialah sah, apabila dilakukan berdasarkan hukum masing-masing agama serta kepercayaannya itu. Selain itu juga terdapat ketentuan bahwa pencatatan penting dilakukan untuk suatu perkawinan sebagaimana bunyi ayat 2 bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat berasarkan peraturan perundang-undangan yang berjalan. Pencatatan perkawinan memang sangat harus dilakukan dengan tujuan sebagaimana tertera pada nomor 4 huruf b Penjelasan Umum UU Perkawinan, bahwa dalam undang-undang ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan ialah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan atau akta resmi yang juga termuat dalam daftar pencatatan.

Nikah sirri di dalam perspektif sosiologis atau masyarakat, yaitu istilah yang diberi masyarakat kepada bentuk pernikahan yang tidak mengikuti proses pencatatan resmi di Kantor Urusan Agama. Maka dari itu, apapun bentuk pernikahannya, mau pernikahan yang dilakukan secara rahasia maupun diketahui secara umum maka tetap dianggap sebagai pernikahan sirri karena pernikahan ini belum tercatat secara resmi di KUA. Sementara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dinyatakan bahwa nikah sirri ialah pernikahan yang hanya disaksikan oleh seorang modin atau saksi tanpa melalui Kantor Urusan Agama, menurut agama Islam sudah sah. 12  Istilah nikah sirri dikenal masyarakat sesudah diundangkannya Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dikeluarkannya Peraturan  Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sebagai pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.

Berhubungan dengan nikah sirri, masih sangat banyak ulama yang memfatwakan bahwa nikah siri menurut agama hukumnya sah, namun tidak memiliki kekuatan hukum. Dengan arti lain, sah menurut agama, tetapi tidak sah menurut aturan negara. Fatwa yang dirasakan kurang tegas ini merupakan salah satu alasan praktik nikah sirri diIndonesia ini masih banyak.

 

Di Islam, perceraian atau talak yaitu suatu perbuatan yang mubah namun dibenci oleh Allah SWT. Terdapat beberapa ayat alquran yang menegaskan bahwa perceraian ialah suatu yang diperbolehkan saat kondisi tertentu serta dilakukan dengan baik (ihsan). Makna ihsan bisa berubah sesuai dengan situasi serta kondisi masyarakat. Secara umum ihsan bisa bermakna bahwa hak dan kewajiban yang muncul karna adanya perceraian tetap terpelihara. Hak dan kewajiban itu contohnya hak nafkah mantan istri selama masa iddah, hak mut'ah, pengasuhan dan pemeliharaan anak, pembagian harta bersama dan lainnya. Sebagaimana nikah sirri, legalitas talak yang dilakukan di luar pengadilan masih menjadi bahan debat. Ini disebabkan antara lain karena masih ada dualisme dalam memahami hukum, yaitu adanya istilah sah menurut pandangan agama serta tidak sah menurut pandangan hukum positif.

Masalah perceraian di luar pengadilan yang diperbuat oleh Bupati tersebut dalam masalah yuridis sama halnya dengan kasus pernikahan sirrinya. Dalam hal itu, pejabat tersebut tidak sejalan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mengenai Pemerintahan Daerah. Selain dari itu, pernikahan siri Bupati yang hanya dilakukan selama 4 hari adalah sesuatu yang kurang atau tidak etis. Meskipun secara yuridis tidak ada hukum yang mengatur hal tersebut, tetapi banyak elemen masyarakat yang menganggap bahwa hal itu adalah suatu tindak pelecehan terhadap wanita.

 

Masih terdapat banyak kasus pernikahan ataupun perceraian yang dilakukan di luar pengadilan, salah satunya yang dilakukan oleh beberapa oknum pejabat negara, ialah salah satu dampak dari adanya dualisme pemahaman yaitu sah menurut agama, tetapi tidak sah menurut hukum negara. Pemahaman seperti ini terlihat nya sudah menjadi kesadaran sebagian masyarakat, hingga aturan tentang pencatatan perkawinan atau perceraian tidak menjadi perhatian. Atau sebagian kalangan masyarakat merasa bahwa pencatatan itu tidak membawa keadilan yang bersifat timbal balik. Selain itu, faktor kepentingan pribadi (self interest), biaya pencatatan nikah yang menjadi mahal dan yang lain memiliki dampak yang cukup besar terhadap adanya pernikahan atau perceraian yang dilakukan di luar pengadilan. Terdapat berbagai faktor yang berpengaruh dalam ketataatan dan penegakkan hukum(rule of law). Faktor itu bisa bersifat internal, seperti hukumnya itu sendiri, aparat,organisasi dan fasilitas; ataupun faktor eksternal seperti sistem sosial, politik, ekonomidan budaya.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun