Ngainun Naim
Ribuan buku terpampang di beberapa lemari. Jumlah pastinya saya tidak tahu. Tetapi jumlah buku sudah mengisi nyaris sebagian besar isi rumah.
Buku ini saya kumpulkan sejak masih bujangan. Tepatnya sejak kuliah S1 di IAIN Sunan Ampel Surabaya. Itu sekitar 30 tahun lalu. Jumlahnya terus bertambah dari waktu ke waktu.
Dulu saya menganggap memiliki koleksi buku adalah kebanggaan. Semakin banyak semakin merasa bangga. Makanya ketika memiliki uang dan ada buku menarik selalu saya usahakan untuk membelinya.
Buku juga aset. Saat diperlukan bukunya ada. Saya pernah menulis makalah yang memerlukan referensi. Beruntung saya ingat memiliki buku yang mendukung. Jadi tinggal baca dan kutip beberapa bagian yang relevan.
Makanya yang penting memiliki buku dulu. Soal membacanya itu soal waktu dan kesempatan. Jika kondisi memungkinkan, buku akan terbaca juga.
Belakangan saya melakukan refleksi diri. Sampai kapan saya terus membeli buku tanpa tahu pasti kapan membacanya? Untuk apa buku demi buku terus dikoleksi? Sampai kapan membeli buku demi buku akan saya lakukan?
Pertanyaan demi pertanyaan bisa diperpanjang. Deretan pertanyaan ini membuat saya mengambil keputusan untuk selektif. Tidak semua buku menarik harus dibeli. Perlu pertimbangan matang sebelum memutuskan untuk membeli buku. Bukannya berhenti membeli buku tetapi selektif dan berhitung secara cermat sebelum akhirnya sebuah buku dibeli.
Semenjak era online, saya jarang ke toko buku. Toko buku langganan yang ada di Tulungagung juga sudah tutup. Jadi kesempatan ke toko buku semakin terbatas.
Saya biasanya membeli buku ke pelapak langganan. Sejauh ini belanja buku dengan mereka cukup aman. Dengan harga yang bersaing, buku bisa didapat.