Ngainun Naim
Â
Mengawali catatan sederhana ini, saya ingin mengutip pendapat Franz Kafka yang menyatakan, "Buku harus dijadikan kapak untuk mencairkan lautan beku dalam diri kita".
Pendapat ini menarik dan memiliki makna yang signifikan terkait dengan buku. Tentu bukan buku sebagai benda yang sekadar dimiliki tetapi buku yang dibaca, dipahami, dan dikontekstualisasikan. Buku dalam makna ini adalah buku yang bisa menjadi energi untuk merubah kehidupan.
Perubahan di sini maknanya sangat luas. Bisa perubahan wawasan, pandangan hidup, keterampilan, dan manfaat-manfaat lain yang merubah kondisi pembaca menjadi lebih baik.
Besarnya manfaat membaca sudah menjadi pengetahuan banyak orang. Namun membaca sendiri ternyata tidak selalu mudah untuk dilakukan. Ada saja hal-hal yang menjadikan aktivitas membaca tidak bisa berjalan secara maksimal. Inilah yang---antara lain---menjadi sebab belum tumbuh dan berkembangnya budaya membaca di masyarakat kita.
Problem lainnya adalah dunia digital yang berkembang sangat pesat. Ada semacam loncatan budaya. Ketika membaca belum menjadi budaya, dunia digital telah menyerbu. Akibatnya, energi lebih banyak dicurahkan untuk menelusuri media sosial. Membaca buku semakin hari semakin ditinggalkan.
Ada yang berpendapat bahwa buku elektronik yang semakin mudah diakses merupakan kesempatan baik untuk membangun budaya membaca. Ketersediaan bahan bacaan dinilai sebagai faktor penting yang menentukan budaya membaca. Namun kenyataannya ternyata belum berkorelasi positif. Budaya membaca masih belum sesuai dengan harapan.
Di tengah semakin derasnya arus digital, saya masih lebih nyaman membaca buku cetak. Jika saya ingin membaca artikel jurnal yang tersedia secara online, saya biasanya juga mencetaknya terlebih dulu. Rasanya lebih nyaman.
Mungkin karena saya bukan bagian dari generasi digital. Buku cetak lebih nyaman untuk dibaca. Juga bebas untuk diberikan anotasi.
Anotasi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan sebagai catatan yang dibuat oleh pengarang atau orang lain untuk menerangkan, mengomentari, atau mengkritik teks karya sastra atau bahan tertulis lain. Saya biasanya memberikan warna di teks yang menarik dan memberikan catatan di pinggirnya. Bisa di teks buku, bisa juga ada kertas lain yang kemudian saya tempelkan dalam naskah.
Cara membuat anotasi, sejauh yang saya tahu, tidak ada aturannya. Bebas saja. Intinya kita ingin menandai sebuah teks dan memberikan catatan tertentu.
Ada banyak cara saya dalam mendapatkan buku cetak. Ada yang beli, ada yang diberi. Beli bisa secara langsung ke toko buku, bisa secara online.
Beberapa waktu lalu, saat pulang kerja, sudah ada dua judul buku dalam bungkus putih. Ruangan yang ada di bagian belakang rumah ini menjadi tempat yang saya tuju saat pulang. Tentu setelah menyapa istri dan anak anak.
Di meja kerja ini biasanya diletakkan barang kiriman atau undangan. Dominasi kiriman yang saya terima adalah buku. Ini wajar karena saya memang menyukai buku sejak lama. Buku demi buku terus datang ke rumah meskipun harus jujur saya akui bahwa jumlah yang mampu saya baca baru sebagian kecil. Lebih banyak yang belum dibaca dibandingkan dengan yang sudah dibaca. Kesibukan biasanya yang menjadi alasan. Padahal jika ada waktu luang juga belum tentu dimanfaatkan untuk membaca.
Ikhtiar mengoleksi buku sudah saya lakukan sejak lama. Seingat saya, saya mulai membeli buku di tahun 1994. Namun demikian bukan berarti koleksinya utuh. Sebagiannya tidak ada. Ada yang rusak, dipinjam tidak kembali, hilang atau sengaja saya berikan karena sebuah pertimbangan.
Sekarang ini saya cukup selektif. Jika pun membeli buku, ada pertimbangan yang cukup matang. Salah satu pertimbangannya adalah tempat yang sudah sesak.
Prof. Dr. M. Sholikan, M. Ag.
Saya mengenal nama Prof. Dr. M. Sholikan, M. Ag. Pada tahun 2017-an. Saat itu beliau menjadi Ketua LP2M UIN Walisongo Semarang. Beliau merupakan salah satu Ketua LP2M yang cukup kritis. Pemikiran beliau cukup mewarnai dalam setiap pertemuan. Segar, kritis, dan kreatif menjadi ciri pemikiran beliau.
Tahun 2019 beliau menyelesaikan tugas sebagai Ketua LP2M. Namun demikian bukan berarti tugas beliau berkurang. Beliau aktif di berbagai kegiatan ilmiah, sosial, pendidikan, dan keagamaan.
Usia beliau tidak muda lagi. Beliau lahir di Demak pada tanggal 4 Juni 1960. Itu berarti tahun ini beliau berusia 64 tahun.
Meskipun demikian produktivitas dalam berkarya sungguh luar biasa. Buku demi buku terus terbit. Artikel demi artikel terpublikasi di jurnal--jurnal bereputasi. Semua ini semakin mengokohkan posisi beliau sebagai Guru Besar Filsafat Islam UIN Walisongo Semarang.
Saya beruntung berkenalan baik dengan Prof. Dr. M. Sholikan, M. Ag. Curahan ilmunya, khususnya melalui link You Tube, rutin saya terima.
14 Januari 2022 sebuah buku karya beliau, Falsafah Kesatuan Ilmu: Paradigma Keilmuan UIN Walisongo Semarang (Semarang: Rasail Media Grup, 2021) saya terima. Buku ini sangat penting untuk memahami tentang apa, mengapa, dan bagaimana paradigma keilmuan UIN Walisongo. Saya banyak belajar dari buku yang mencerahkan tersebut.
Rupanya keberuntungan kembali menyapa. Prof. Dr. M. Sholikan, M. Ag. kembali mengirimkan buku karyanya. Kali ini dua buah yaitu Harmonisasi Ilmu Keislaman & Islamisasi Ilmu Modern Sebagai Respon Epistemologis terhadap Tantangan Modernitas (Semarang: Rasail Media Grup, 2024) dan Etika Global dan Nilai Nilai Humanistik Etika Islam (Semarang: Rasail Media Grup, 2023)
Selain untuk saya, Prof. Dr. M. Sholikan, M. Ag. juga menitipkan beberapa eksemplar buku untuk perpustakaan kampus tempat saya bekerja. Spirit berbagi karya semacam ini penting untuk diteladani, meskipun tidak mudah.
Mukani, M.Pd.I.
Namanya pendek: Mukani. Saya terhubung dengan beliau di grup WA Halaqah Literasi.
Pada tahun 2020 saya sedang menulis artikel jurnal tentang KH. Abdurrahman Wahid. Salah satu referensi yang saya cari adalah disertasi Dr. Johari yang diterbitkan menjadi buku oleh Pustaka Tebuireng.
Entah inspirasi dari mana, saya WA Mas Mukani. Intinya saya membutuhkan buku karya Dr. Johari. Judulnya Fikih Gus Dur, Pemikiran Gus Dur dan Kontribusinya dalam Pengembangan Hukum Islam Indonesia (Jombang: Pustaka Tebuireng, 2019).
Responnya sungguh luar biasa. Beliau dengan senang hati membelikan dan mengirimkan ke alamat saya. Sebuah ketulusan yang harus diapresiasi.
Pada 31 Agustus 2022 beliau ada kegiatan di PCNU Tulungagung. Saya sendiri baru mengetahuinya setelah beliau memberikan informasi di WA. Beliau juga meminta maaf belum sempat silaturrahim.
Pertemuan secara fisik dengan beliau baru terjadi pada 17 Desember 2022. Saat itu saya menjadi narasumber sebuah seminar di Universitas Hasyim Asy'ari Tebuireng Jombang. Beliau menemani saya usia acara. Itu merupakan pertemuan pertama kami secara langsung .
Pertemuan berikutnya terjadi di rumah saya di Tulungagung. Beliau sengaja datang untuk mengantarkan buku yang saya beri kata pengantar karya Dr. Ahmad Sholikhin Ruslie, SH., MH., dan Mukani, M.Pd.I. Judulnya Nasionalisme Generasi Milenial (Jombang: Nakomu 2024). Saya juga mendapatkan satu buku karya Mas Mukani. Judulnya Membaca Pendidikan Indonesia (Jombang: Ainun Media, 2022).
Buku bukan hanya media aktualisasi pemikiran. Ada fungsi lain yang juga penting, yaitu media mempererat persahabatan. Saya sudah merasakan manfaatnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H