Ngainun Naim
Sabtu pagi 24 Desember 2022. Suasana cukup cerah. Saya baru saja melakukan aktivitas ringan di rumah. Anak saya yang kecil ikut Mamanya untuk sebuah kegiatan.
Tetiba muncul rencana untuk mengajak anak sulung ke Ponorogo. Ada seorang teman lama yang sekarang ini tinggal di Ponorogo. Dulu dia tinggal di Tulungagung. Kabar yang saya dengar beliau sakit stroke dan sekarang tinggal bersama keluarga adiknya.
Anak sulung setuju dengan ajakan saya. Setelah sarapan kami naik sepeda motor N-Max menuju Jetis Ponorogo. Perjalanan secara umum lancar. Mendung tipis membuat perjalanan berlangsung nyaman.
Jarak dari rumah ke Jetis Ponorogo kisaran 40 KM. Bukan jarak dekat. Tetapi karena memang diniati silaturrahmi dan memang ada kesempatan, kami tidak dikejar target. Menikmati saja setiap jejak yang kami lalui.
Awalnya anak sulung yang memegang kendali. Ia menyetir sampai Bendungan Tugu Trenggalek. Lumayan, nyaris separuh jalan. Selanjutnya gantian saya yang mengemudi.
Beberapa kali kami berhenti. Di Bendungan Tugu kami berhenti sesaat untuk gentian menyetir. Sampai tugu perbatasan Ponorogo Trenggalek kami berhenti untuk mengambil gambar. Kami berhenti lagi menjelang Pasar Sawo Ponorogo untuk ganti oli.
Begitulah perjalanan santai yang kami nikmati. Pelan tapi pasti kami sampai di perempatan Jetis. Di barat perempatan, gang ke utara kami masuki. Ada gang pertama ke arah barat saya bertanya ke seorang ibu. Beruntung beliau kenal kawan saya itu. Ditunjukkan gang utaranya.
Setelah berterima kasih kami menuju gang yang dimaksud. Sesaat ada seorang anak muda. Saya bertanya ternyata orang yang saya cari ada di dalamnya.
Begitulah, kami kemudian dipersilahkan masuk. Saya bersama anak sulung pun duduk di ruang tamu.
Kawan saya ini adalah teman kerja di awal tahun 2000-an. Kebetulan kami berada di lembaga yang sama, hanya beda program. Jadi ya cukup akrab.
Seiring perjalanan waktu, nasib memisahkan kami. Saya menjadi dosen, beliau menekuni karir sebagai konsultan. Pertemuan terakhir terjadi delapan tahun lalu. Ya, tahun 2014 beliau menemui saya di hotel tempat saya menginap di Bali. Saat itu beliau bertugas ke Bali.
Tahun berikutnya beliau pindah tugas ke Jakarta. Saya sudah jarang dengar kabarnya. Nasib rupanya menghentikan jejak karir beliau. Tahun 2017 beliau terserang stroke. Dua tahun kemudian, yaitu tahun 2019, istri beliau meninggal karena sakit kanker payudara.
Kini beliau hidup bersama keluarga adiknya di Ponorogo. Bahagia sekali memiliki kesempatan menjenguk beliau. Semoga beliau semakin sehat. Amin.
Jarum jam sudah menunjukkan angka 12.25. Saya pun pamit untuk melanjutkan perjalanan. Tujuan berikutnya adalah makam Kiai Muhammad Besari. Kebetulan dari rumah kawan ini hanya sekitar 2 kilometer. Jadi tidak terlalu jauh.
Masjid besar Tegalsari Jetis Ponorogo cukup ramai dengan peziarah. Suara pengeras suara menunjukkan bahwa baru saja shalat dzhur ditunaikan. Zikir terdengar syahdu.
Saya segera ambil air wudhu dan mengajak anak sulung untuk shalat jamaah di dalam masjid. Sungguh suasananya terasa berbeda. Saya menikmati shalat dan ikut larut dalam dzikir panjang yang belum juga usai.
Usai doa, saya keluar dari masjid. Saya ajak anak sulung masuk ke dalam makam yang baru saja dibuka. Di dalamnya saya membaca dzikir dan doa secukupnya. Setelah itu kami pun keluar dan melanjutkan perjalanan pulang.
Agenda sabtu itu sudah usai. Perjalanan pulang lancar. Alhamdulillah, semoga hal sederhana yang kami lakukan memberikan berkah dan manfaat dalam hidup. Amin.
Trenggalek, 24 Desember 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H