Saya menyukai jagongan. Jagongan itu bahasa Jawa. Arti sederhananya ya berbincang-bincang.
Jagongan itu bisa membangun keakraban. Lewat jagongan, ada banyak hal bisa terurai. Secara santai jagongan menjadi media untuk saling berbagi, curhat, dan mencari solusi.
Jagongan bisa saja sekadar basa-basi tanpa arti. Kita semua sering melakukannya. Model semacam ini bahkan menjadi tradisi di masyarakat. Masyarakat kita memang memiliki tradisi lisan yang kuat.
Bukan berarti jagongan semacam ini tidak ada manfaatnya. Tentu saja banyak juga manfaatnya. Secara psikologis jagongan bisa menjadi semacam katarsis atas segenap beban jiwa. Lewat jagongan, beban demi beban bisa terurai.
Jagongan juga menjadi media keakraban yang luar biasa. Masyarakat komunal membutuhkan jagongan untuk mempererat relasi. Adanya jagongan membuat relasi antar sesama bisa terjaga.
Jagongan juga menjadi media bisnis yang efektif. Perbincangan demi perbincangan bisa mengantarkan pertemuan antara penjual dan pembeli. Para perantara di zaman sebelum digital melanda menjadikan jagongan sebagai media bisnis.
Saya sendiri penikmat jagongan. Jika berbincang dengan teman, bisa berjam-jam. Selalu saja ada hal-hal menarik yang mempertemukan kami dalam perbincangan.
Sebagai orang yang menekuni dunia menulis, saya menjadikan jagongan bukan sekadar jagongan. Saya menjadikan jagongan dalam konteks menulis. Hal-hal penting dalam jagongan saya cermati, saya ingat, dan jika selesai segera saya catat.
Bagi saya, mencatat poin-poin penting dalam perbincangan itu sangat penting. Terlihat sederhana tetapi sesungguhnya sangat bermakna. Catatan demi catatan ibarat harta karun. Suatu saat ia akan berguna saat kita butuhkan.
Salah satu manfaat catatan adalah sebagai tambang ide. Ia bisa menjadi pemicu munculnya ide menulis. Saat mencermati catatan, ide bisa muncul.
Saya memiliki pengalaman unik terkait hal ini. Ceritanya saya berdiskusi cukup lama dengan seorang kawan. Salah satu topik yang saya catat adalah tentang bagaimana periwayatan hadis itu sangat selektif sehingga proses seleksi nya bisa menentukan kualitas hadis.
Hasil diskusi ini menjadi pemicu lahirnya artikel yang saya tulis dalam rangka menyambut hari santri tanggal 22 Oktober 2021. Saya menulis sebuah artikel yang judulnya "Santri, Transformasi Belajar dan Literasi Digital".
Saya tidak akan bercerita tentang isi artikel tetapi yang ingin saya ceritakan adalah tentang bagaimana saya menulis topik ini. Jujur topik ini terinspirasi dari catatan perbincangan dengan seorang kawan tentang hadits. Saya melihat santri sekarang sesungguhnya siap menghadapi literasi digital karena pernah belajar ilmu hadits. Cara kerja ilmu hadits semestinya juga diterapkan di era digital ini yakni pentingnya melakukan cek dan ricek terhadap sebuah berita.
Tulungagung, 20-6-2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H