Kesadaran ini penting untuk memaknai konsep waktu berkaitan dengan Ramadhan. Substansi Ramadhan itu tetap, hanya konteks ruang dan waktunya yang terus berubah. Tidak mungkin berharap mendapatkan Ramadhan yang sama di setiap masa. Segalanya berubah, kecuali perubahan itu sendiri.
Jika kita mau mebaca buku-buku yang nerisi riset antropologi berkaitan dengan Ramadhan akan kita dapatkan informasi yang sangat beragam tentang bagaimana umat Islam menjalani Ramadhan. Ada ajaran agama, ada ekspresi kultural, dan ada berbagai dimensi kehidupan. Semuanya menuju kepada konteks keberislaman dalam maknanya yang luas.
Aspek yang sesungguhnya jauh lebih substansial adalah bagaimana membangun kesadaran tentang puasa dan implikasinya dalam kehidupan sehari-hari. Puasa Ramadhan dengan segenap hikmahnya telah menjadi bagian dari dakwah di berbagai bidang kehidupan. Di televisi, kampung, kampus, dan berbagai instansi berisi nuansa Ramadhan. Setiap tahun semarak keberislaman itu sekarang ini menunjukkan kesemarakan yang semakin tinggi. Geliat keberislaman begitu mudah ditemukan di berbagai tempat. Â Tentu fenomena ini harus disyukuri dan diapresiasi.
Namun demikian semestinya juga dipertanyakan secara kritis tentang realitas yang paradoks. Rajin puasa tetapi tetap tidak bisa mengelola nafsu belanja, misalnya. Berpuasa tetapi saat berbuka tidak terkendali. Dan berbagai fenomena lain yang sejenis.
Selain itu yang jauh lebih penting adalah apa efek puasa terhadap kehidupan setelah puasa. Saya kira ini jauh lebih penting karena berkaitan dengan pertanyaan yang sifatnya eksistensial.
Versi awal catatan ini dimuat di blog pribadi penulis.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H