Mohon tunggu...
Ngainun Naim
Ngainun Naim Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Penulis buku JEJAK INTELEKTUAL TERSERAK (2023). Dosen UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung Jawa Timur. Pengelola http://www.spirit-literasi.id. dan http://www.ngainun-naim.blogspot.com.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guru Menulis Buku

24 Mei 2019   09:44 Diperbarui: 24 Mei 2019   10:21 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Mereka berdua yang sesama penulis itu mengajak berdiskusi untuk mematangkan proses penerbitan. Buku tersebut akhirnya betul-betul terbit di minggu kedua Februari 2019 ini.

Bersamaan dengan terbitnya buku Akhid Afnan adalah buku antologi karya para guru dari LPI Al Irsyad Tulungagung. Judulnya Pelangi Hati Sang Pejuang Pengabdian. Buku ini melalui proses yang jauh lebih panjang lagi. 

Awalnya adalah pelatihan menulis yang diselenggarakan pada tahun 2017. Kebetulan saya diminta menjadi mentornya. Hasil dari pelatihan ini adalah kesepakatan untuk membukukan tugas mereka.

Butuh beberapa waktu sampai tugas betul-betul terkumpul. Setelah itu saya mengedit sekian puluh tulisan yang ada di dalamnya. Saya juga membuatkan kata pengantar untuk buku bersama ini. Rasanya lega sekali ketika buku ini akhirnya betul-betul terbit.

Membaca, menulis, dan menerbitkan karya tulis sesungguhnya merupakan rangkaian kerja yang cukup panjang. Tidak ada kata instan di dalamnya. Instan tampaknya kata yang lebih lekat untuk mie atau kopi, tapi tidak dengan literasi. Semuanya membutuhkan proses dan kesabaran dalam menjalaninya.

Kita selayaknya belajar kepada para pegiat literasi negeri ini. Salah satu yang bisa saya sebuat adalah Myra Sidharta. Myra Sidharta, seorang kolomnis terkenal Indonesia dalam buku yang diedit oleh St. Sularto, Guru-Guru Keluhuran Zaman, Rekaman Monumental Mimpi Anak Tiga Zaman, (Jakarta: Kompas, 2010) menyatakan bahwa menulis itu membutuhkan perjuangan yang tidak ringan. 

Namun demikian, ternyata basis kepenulisannya dia ada dua, yaitu tradisi membaca yang disemai sejak belia dan mimpi besar. Tanpa membaca dan mimpi besar, ia sulit membayangkan apa yang akan terjadi dalam perjalanan kehidupannya kelak.

Perjalanan menulisnya ternyata tidak lancar, bahkan ketika ia sendiri sudah menjadi seorang peneliti yang cuku disegani. Saat menulis esai untuk sebuah media, tulisan itu ditolak. Bahkan redaksinya menyebut jika tulisan tersebut jelek.

Tetapi Myra Sidharta tidak putus asa. Penolakan itu, meski menyakitkan, justru menjadi titik pijak bagi usahanya untuk serius membuat esai. Usahanya berhasil. Jika sebelumnya artikelnya banyak ditolak, berikutnya justru banyak media yang memintanya untuk menulis esai. Jadi, kerja kerasnya berbuah manis. 

Penolakan yang disikapi secara positif dan perbaikan pada akhirnya berbuah penerimaan, bahkan dari pihak yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.

Coba simak pernyataannya berikut ini. "Saya tidak mau menyerah dan terus menulis, sampai dapat diterima di majalah. Setelah itu saya sering mendapat permintaan untuk menulis kolom di surat kabar dan majalah, dan tiba-tiba saya dapat menamakan diri saya sebagai penulis, atau paling tidak sebagai columnist" (h. 174).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun