Berbicara pemetaan genomik, genome sequencing BGSi yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan RI ini memang sudah banyak dilakukan di negara lain termasuk negara tetangga MALAYSIA yang melakukan atas printah langsung dari perdana menterinya. Akan terhubung antarnegara seperti GISAID. Juga sudah dilakukan di negara kecil lainnya seperti Maldives dan Ethiopia secara masif, baik, dan terstruktur. Dengan melakukan pemetaan genomik, negara (pemerintah) dapat memiliki peta penyakit individu di Indonesia, pencegahan sakit dan komplikasi, deteksi dini, sampai pengobatan dan perencanaan penyakit yang akan sangat efektif efisien, dll dll tapi isu provokasinya: DNA kita datanya akan bocor dan diambil asing
Contoh implementasi genome sequencing pada bakteri & inang Tuberkulosis / TBC. Klinisi onkologi juga perlu informasi genomik untuk pencegahan & terapi presisi kanker. Contoh pemetaan genomik di Malaysia, kerahasiaan data menjadi tanggung jawab pemerintah.
Selain itu kolaborasi negara-negara asia termasuk Iran sudah dilakukan untuk ini di asiacohort.org dan yang diuntungkan dalam program ini adalah seluruh dunia atau masyarakat global melalui ihccglobal.org. BGSi sendiri juga sudah paham dari sisi etik genome biobank melihat best practise dari Inggris / United Kingdom / UK yang bernama Blobank.
Saat ini sedang masif berlangsung BGSi Hub cancer Dharmais. Selain untuk pencegahan, diagnosis, dan pengobatan kanker yang lebih presisi, BGSi ini juga bisa melihat sebaran data warga terhadap respon pengobatan tertentu.
Data driven policy by populasi akan didapatkan misalnya di suatu populasi sudah resisten obat tertentu baik di penyakit menular atau tidak menular, maka perencanaan untuk pembelian obat tertentu menjadi lebih terarah berbasis data dan ini akan lebih efektif dan efisien.
Setelah 13 tahun akhirnya ada genom kanker secara serius di Indonesia. Potensi laboratorium yang luas / NGS pascacovid-19 juga perlu dioptimalkan dengan pengembangan ilmu mesin-mesin canggih, sehingga ilmu akan terus berkembang, melibatkan para pakar muda lintas disiplin (klinik, biomol, bioinformatik, biostatistik, etik) tidak seperti era flu burung, banyak mesin realtime / RT PCR yang mangkrak dan akhirnya tidak terpakai / tidak dimanfaatkan lagi.
Material transfer agreement (MTA) harus adil, jangansampai kita hanya 'ekspor' sampel saja. nah sejak era flu burung, sudah banyak ini ilmuwan2 muda kita yang sebenarnya menunggu diberikan kesempatan untuk berkembang. jadi kita memang perlu paham 'ruh' dari MTA bukan makna literalnya.
Terkadang orang sering lupa, bahwa teknologi itu bukan alat, tapi justru 'orang dibalik alat' atau malah 'orang di dalam alat', kesalahan ini yang tidak mau terulang di BGSI harus bisa berkembang home grown. Perlu belajar analisis data genome, perkuat statistik dan matematika (bioinformatika).
Ada ilmu yang lupa tersebut paska BGSI yaitu ilmu Public Health, jadi berkembang Molecular Epidemiology, nanti teman2 pakar-pakar biostatistik indonesia yang selama ini ada di luar negeri akan kita datangkan untuk sabbatical menganalisa big data BGSI
Pendapat dr. Inggrid PD POTJI: