Mohon tunggu...
Nurul Furqon
Nurul Furqon Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Arab UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Nama saya Nurul Furqon, saya berasal dari kabupaten Sumedang, riwayat pendidikan saya SDN Babakandesa, SMPN 1 Cibugel, SMAN Situraja. Dan sekarang saya menjadi Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Arab UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Belajar Kiri Tidaklah Semengerikan yang Orang Katakan

6 Januari 2022   06:00 Diperbarui: 6 Januari 2022   06:03 598
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Belajar Kiri Tidaklah Semengerikan yang Orang Katakan

Ketika kita mendengar kata paham kiri pasti di kepala kita langsung terbesit sosialis, komunis, progresif, pemberontak, atau apapun itu yang sangat erat dengan perlawanan, memang tidak bisa dinafikan bahwa paham kiri adalah paham revolusioner yang akan selalu menuntuk perubahan baik kecil ataupun besar ke arah yang lebih baik, dan menghancurkan segala jenis penindasan dan ketidak adilan, banyak sekali sekali tokoh kiri yang sangat mendunia, katakan saja Karl Marx, che guevara, Rosa Luxemburg, Amadeo Bordiga, dan lain-lain, bahkan di negara kita sendiri pun terdapat tokoh kiri legendaris dengan sejuta karyanya, yaitu Tan Malaka.

Stigma banyak orang tentang orang berpaham kiri tentu tidak jauh dengan komunis, atau atheis, padahal sejatinya tidak demikian, kita bisa membantah stigma itu dengan sangat sederhana, sebab secara garis dasar bahwa kiri merupakan sayap politik, yang notabennya politik bersifat publik, dan atheis adalah agama yang notabennya adalah privat, dari dua garis itu saja sudah berbeda, agama dan politik memiliki ruang yang berbeda.

Kiri selalu diidentikan dengan komunis, memang kiri adalah mereka yang menginginkan perubahan dari yang buruk ke yang baik, dari ketertindasan menuju keadilan, bahwa semua sama, adalah manusia, yang sama-sama memiliki hak, mereka yang tertindas adalah kaum lemah, mereka tertindas secara ekonomi, dan secara politik, mereka hanya dijadikan mesin penghasil uang oleh kaum-kaum pemilik modal, sebut saja kaum tertindas adalah proletar dan yang menindas adalah borjuis, mereka kaum proletar diperas habis sampai keringat mereka kering, sedangkan kaum borjuis hanya tertawa riang melihat uang mereka setiap hari semakin bertambah, keadaan inilah yang membuat para proletar bersatu untuk membangun kekuatan komunal, dan melawan ketertindasan mereka, dan yang berdiri disamping mereka adalah kaum komunis yang secara lantang mendeklarasikan perang terhada kaum kapitalis.

Namun apalah daya, hari ini banyak kaum kiri yang kalah dari perang dan menjadi kambing hitam dari segala masalah, paham kiri menjadi paham terlarang, bahkan di negara kita pun paham kiri dianggap sebagai paham PKI yang melawan Pancasila, terlalu banyak kepentingan dalam politik sehingga menyebabkan semuanya dicampur adukan, sehingga seolah berdampingan, pisau-pisau serangan akan selalu dilemparkan ke arah yang berbeda pandangan, dan mereka bersembunyi dibalik tameng-tameng perlindungan.

Belajar paham kiri tidaklah mengerikan, belajar paham kiri tidak berarti melawan pancasila atau akan menjadi komunis, dan tidak juga menjadi atheis, apalagi menjadi teroris. 

Belajar paham kiri adalah belajar tentang bagaimana rasanya menjadi mereka yang tertindas, belajar tentang apa itu rasa sakit, bagaimana rasanya diinjak, dan eksploitasi, sehingga kita mengerti betapa pentingnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat, mereka yang lemah harus dilindungi, dan mereka yang kuat harus melindungi, penindasan harus dilenyapkan dan ketidak adilan harus diberantas, supaya dilain hari tidak ada seorang ibu yang menangis karena anaknya kelaparan.

Hak-hak dari setiap individu masyarakat harus dipenuhi, dan memenuhi hak-hak rakyat adalah kewajiban bagi pemerintah, sebab pelindung masyarakat adalah pemerintah itu sendiri, dan pemerintah berangkat dari masyarakat. Ketika kita sudah mengerti apa itu rasa sakit, maka jangan buat orang lain ikut merasakannya, hapuslah rasa sakit itu dunia ini, dan penderitaan manusia harus sirna bersama setiap tetes air keluar sebagai tangisan, jika sebuah negara diperjuang banyak darah, maka setelah kemerdekaan jangan pernah dipenuhi dengan tetesan air mata, dan itulah paham kiri, paham yang melawan penindasan untuk melenyapkan rasa sakit.

Terima Kasih

Salam Dari Penulis

Nurul Furqon

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun