Mohon tunggu...
Nur Fajri Romadhon
Nur Fajri Romadhon Mohon Tunggu... -

Pemuda yang ingin berkontribusi terhadap pembangunan bangsa.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bukhari-Muslim atau Muslim-Bukhari?

23 Oktober 2010   10:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:11 689
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Imam Asy-Syafi’i, semoga Allah merahmati beliau, pernah berujar: “Kitab yang paling shahih setelah Al-Quranul Karim adalah Al-Muwaththa’ (kitab hadits yang disusun oleh guru beliau, Imam Malik)”

Statemen tersebut diucapkan pada abad kedua hijriah, karena memang kodifikasi hadits waktu itu baru sedang digiatkan. Namun setelah Imam Al-Bukhari merampungkan karya monumentalnya : Al-Jami’ Ash-Shahih, yang lazim disebut Shahih Al-Bukhari, pada tahun 230-an hijriah, lalu diikuti Imam Muslim (w. 261 H)dari Naisapoor yang juga menyusun kitab sejenis dengan judul identik dan terkenal dengan sebutan Shahih Muslim, maka kenyataan pun berubah. Imam Ibnu Shalah (w. 643 H), salah satu ulama reformis di bidang ilmu hadits, mengatakan bahwa kitab yang paling otentik, paling shahih, dan paling tinggi nilai kebenarannya di dunia setelah Al-Qur’anul Karim adalah Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim. Adapun selain kedua kitab ini, para penulisnya masih memasukkan hadits yang kurang shahih atau bahkan dhaif.

Pendapat ini kemudian dikuatkan oleh Imam An-Nawawi (w. 676 H) yang menyebutkan dalam syarahnya terhadap Shahih Muslim bahwasanya hal ini telah menjadi konsensus ulama dan umat Islam pun telah menerimanya. Yang dimaksud oleh ulama dan umat Islam oleh beliau tentu saja mereka yang hidup antara zaman Imam Al-Bukhari dan Imam An-Nawawi, yaitu kurun abad 3-5 hijriah Tiga abad setelah itu, Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani (w. 853 H) saat mensyarah Shahih Al-Bukhari turut melegitimasi pendapat Ibnu Shalah dan An-Nawawi di atas.

Kemudian setelah berlalu berabad-abad lamanya, baik zaman Ibnu Rajab Al-Hanbali (w. 795 H), As-Suyuthi (w. 911 H), As-Shan’ani (w. 1182 H), dan Asy-Syaukani (w. 1250 H) ternyata tidak ada seorang ahli hadits pun yang menggugat pendapat tersebut. Begitu juga para ahli hadits abad modern seperti Ahmad Syakir, Muhammad Abdurrahman Al-Mubarakpoori, Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Musthafa As-Siba’i, Muqbil bin Hadi, dan lain-lain juga tidak menyanggah keputusan tersebut. Muhadditsin dari negeri kita, Indonesia, semisal KH Hasyim Asy’ari, A. Hassan, Prof. Hasbi Ash-Shiddiqi, Prof. Musthafa Ali Yakub, Dzulkarnen bin Muhammad Sunusi, Abdul Hakim bin Amir Abdat, Daud Rasyid, Ph.D, dan semisalnya juga mengamini yang demikian itu.

Nah, setelah ulama dan umat telah bersepakat bahwa kitab yang paling otentik setelah Al-Qur’an adalah Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim, yang mana dari 2 kitab ini yang paling otentik. Berikut akan dipaparkan beberapa kelebihan dan kekurangan masing-masing kitab dalam beberapa sisi perbandingan, sehingga kita bisa melihat masalah dengan objektif:

Pertama,

Shahih Al-Bukhari: Hanya memuat hadits yang menurut beliau shahih saja.

Shahih Muslim: Hanya memuat hadits yang menurut beliau shahih saja.

Penilaian: Sekalipun tetap ada kritik ringan (bahkan sudah dibantah beberapaahli hadits), memang hanya kedua kitab ini punya keistimewaan dengan pencantuman hadits shahih saja. Berbeda dengan kitab-kitab hadits lainnya, semisal milik Imam At-Tirmidzi, Abu Dawud, dst.

Kedua,

Shahih Al-Bukhari: Periwayat-periwayat yang haditsnya ditulis oleh Imam Al-Bukhari saja (tanpa bersamaan dengan Imam Muslim) berjumlah kurang lebih 435 orang. Dari jumlah ini yang mendapat kritikan dari para muhadditsin berjumlah 80 orang

Shahih Muslim: Periwayat-periwayat yang haditsnya ditulis oleh Imam Muslim saja (tanpa yang bersamaan dengan Imam Al-Bukhari) berjumlah 620 orang dan yang mendapat kritikan para ahli hadits sejumlah 160 orang atau dua kali lipat dari jumlah periwayat terkritik milik Imam Al-Bukhari.

Penilaian: Logikanya, semakin sedikit dikritik semakin bagus.

Ketiga,

Shahih Al-Bukhari: Hadits yang dicantumkan oleh Imam Al-Bukhari dari 80 orang terkritik tersebut tidak banyak.

Shahih Muslim: Hadits yang Imam Muslim riwayatkan dari periwayat terkritiknya (160 orang) cukup banyak.

Penilaian: Di sini terlihat Shahih Al-Bukhari lebih unggul.

Keempat,

Shahih Al-Bukhari: Delapan puluh periwayat terkritik milik Imam Al-Bukhari kebanyakan adalah guru beliau yang secara langsung bertemu, sehingga beliau punya alasan untuk tetap memasukkannya dalam kitab beliau karena beliau lebih kenal terhadap mereka daripada yang mengritik.

Shahih Muslim: Sementara 160 periwayat Imam Muslim yang terkritik, kebanyakan adalah tabi’in atau tabiut-tabi’in yang tentu saja belum pernah Imam Muslim temui.

Penilaian: Lagi-lagi kali ini Shahih Al-Bukhari lebih unggul.

Kelima,

Shahih Al-Bukhari: Hadits-hadits yang berasal dari thabaqah tsaniyyah (generasi kedua) diseleksi dahulu oleh Imam Al-Bukhari.

Shahih Muslim: Hadits-hadits dari generasi kedua langsung ditulis apa adanya.

Penilaian: Tentu saja hadits yang sudah diseleksi lebih tinggi nilainya.

Keenam,

Shahih Al-Bukhari: Dalam hal bersambungnya sanad (ingat Komunikata khan, kira-kira seperti itulah hadits disampaikan dari generasi ke generasi), Imam Al-Bukhari menetapkan syarat bahwa kedua perawi harus benar-benar bertemu langsung meski cuma sekali.

Shahih Muslim: Menurut beliau, sanad sudah dikatakan bersambung hanya apabila kedua perawi sezaman dan bertempat tinggal tidak saling berjauhan, tidak harus benar-benar bertemu langsung.

Penilaian: Pengertian bersambung menurut Imam Al-Bukhari lebih tegas.

Ketujuh,

Shahih Al-Bukhari: Memuat hadits dari periwayat kepercayaan Imam Al-Bukhari meski hanya berupa makna hadits, tidak harus berupa lafal persis seperti yang diucapkan Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam.

Shahih Muslim: Tidak memuat periwayatan secara makna, harus persis lafalnya.

Penilaian: Untuk urusan lafal hadits, Imam Muslim lebih meyakinkan.

Kedelapan,

Shahih Al-Bukhari: Terdapat 80 dari 7275 hadits yang mendapat kritik ringan dari beberapa ahli hadits.

Shahih Muslim: Hadits yang dikritik ahli hadits berjumlah 130 dari 12.000-an hadits saja.

Penilaian: Kali ini Imam Al-Bukhari lebih teliti dari Imam Muslim.

Kesembilan,

Shahih Al-Bukhari: Penentuan susunan hadits sudah baik.

Shahih Muslim: Penentuan susunan hadits lebih sistematis dari Shahih Al-Bukhari.

Penilaian: Imam Muslim lebih lihai tampaknya untuk perkara ini.

Kesepuluh,

Shahih Al-Bukhari: Derajat hadits-hadits yang diriwayatkan Imam Al-Bukhari secara umum lebih kuat dari yang diriwayatkan Imam Muslim.

Shahih Muslim: Meski secara umum hadits-haditsnya kalah kuat dari hadits yang diriwayatkan Imam Al-Bukhari, tapi tidak sedikit juga hadits-hadits beliau yang lebih kuat dari hadits-hadits Imam Al-Bukhari.

Penilaian: Secara umum hadits-hadits Shahih Al-Bukhari lebih valid.

Sekarang mari kita dengar komentar beberapa ulama berikut:

-Imam Al-Hakim, yang terkenal dengan kitabnya Al-Mustadrak, mengatakan: "Semoga Allah merahmati Muhammad bin. Isma’il (Imam Al-Bukhari), karena ia telah membukukan hadits-hadits Nabi yang menjadi sumber hukum Islam (bersama Al-Qur’an) serta menerangkannya kepada manusia. Orang-orang yang membukukan hadits setelah beliau seperti Muslim bin Al-Hajjaj sebenarnya hanya mengikuti jejak dari kitab Al-Bukhari.“

-Berkata Imam Ad-Daruquthni: “Seandainya tidak ada Al-Bukhari maka Muslim juga tidak ada.“ Di tempat lain bahkan beliau berkata: “Apa yang sebenarnya dilakukan oleh Muslim? Ia hanya mengoper hadits dari kitab Al-Bukhari lalu memberi tambahan di sana dan di sini.“

-Al-Khatib al-Baghdadi berkata “Muslim telah mengikuti jejak Bukhari memperhatikan ilmunya dan menempuh jalan yg dilaluinya.” Pernyataan-pernyataan ini tidak berarti bahwa Muslim hanyalah seorang pengekor. Sebab ia mempunyai ciri khas dan karakteristik tersendiri dalam menyusun kitab serta metode baru yg belum pernah diperkenalkan orang sebelumnya.

-Imam Muslim pun yang sempat berguru kepada Imam Al-Bukhari juga mengakui bahwa Imam Al-Bukhari lebih alim dalam bidang hadits dari beliau.

-Mayoritas ulama berpendapat Shahih Al-Bukhari lebih unggul dari Shahih Muslim, kecuali sejumlah ulama dari Maroko yang berpendapat sebaliknya.

Jadi, jelaslah sudah perkara, Shahih Al-Bukhari lebih otebtik daripada Shahih Muslim. Mungkin inilah dia sebabnya dalam penuturan hadits, selalu Imam Al-Bukhari lebih dahulu disebut daripada Imam Muslim. Perlu diingat juga bahwa keduanya dan juga ahli hadits lainnya mereka hanyalah membukukan hadits, bukan mengarang-ngarang hadits sendiri. Mereka mendapatkan hadits ini dari hafalan ke hafalan, dari tulisan ke tulisan, dan dari lisan ke lisan dari Rasulullah, sahabat, dan seterusnya. Jika haditsnya dan periwayat-periwayatnya memenuhi kriteria hadits shahih maka hadits itu shahih, jika tidak, barulah para ahli hadits menetapkan derajatnya dengan keilmuan yang mereka miliki. Untuk hal ini butuh penjelasan yang panjang, silakan dibaca di buku-buku lain.

Sekarang ini sudah banyak buku-buku hadits yang diterjemahkan, software dan situs-situs hadits pun sudah banyak. Tugas kitalah membaca dan mempelajari hadits-hadits kekasih kita, Rasulullah shalallahu `alaihi wa sallam, selain juga membaca dan mempelajari Al-Qur’an. Hal ini penting dilakukan karena keduanyalah landasan hidup manusia yang sejatinya berasal dari wahyu Allah Yang Maha Pengasih. Wallahu a’lam.

* Kota Ihsan, 9 Oktober 2010

Rujukan:

Imam Bukhari & Metodologi Kritik dalam Hadits,Prof. KH Musthafa Ali Yakub

101 Jejak Tokoh Islam Indonesia, Badiatul Roziqin, dkk.

Kedudukan As-Sunnah dalam Syari’at Islam, Ustadz Yazid Jawwas

Nuzhatun Nadzhar, Al-Hafidzh Ibnu Hajar Al-Asqalani

Dan lain-lain.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun