[caption caption="Adult Video Expo di Taiwan"][/caption]
Dalam memahami sebuah fenomena, terkadang yang kita butuhkan bukan sekedar jawaban yang benar, tapi sebelumnya kita perlu melayangkan pertanyaan yang benar. Ketika masyarakat Indonesia sangat tabu dengan pornografi dan sibuk dengan pertanyaan “bagaimana mencegah bahaya pornografi?”, dua antropolog Hong Kong melakukan penelusuran historis terhadap fenomena maraknya Japanese Adult Video (JAV) di Asia Timur.
Aktris JAV di Hong Kong tidak hanya terkenal melalui AV-nya saja. Maria Ozawa dan Sora Aoi membintangi film-film layar lebar, Akiho Yoshizawa berperan sebagai cameo dalam beberapa sitcom, dan iklan-iklan pun tak jarang menggunakan aktris JAV sebagai penarik audiens. Namun hal ini tidak terjadi secara tiba-tiba, adalah Heung-wah Wong dan Hoi-yan Yau yang memulai investigasi tentang bagaimana JAV disambut baik dan populer di Asia Timur sejak tahun 1990an.
Yuki Maiko dan VCD Bajakan
Kedua antropolog tersebut tergelitik dengan kejadian di bulan April 1997, ketika ribuan orang mengantri di sebuah mall di Hong Kong untuk mendapatkan tanda tangan “neui san” atau “dewi” mereka, Yuki Maiko, seorang aktris film dewasa Jepang. Fenomena ini dianggap sebagai sebuah dobrakan besar, di mana masyarakat Hong Kong tidak lagi tertutup perihal seksualitasnya.
Masyarakat Hong Kong di era 1990an dikenal sebagai masyarakat transisi, di antara Timur dan Barat, di antara modern dan tradisional. Pada saat itu pula terjadi penerimaan besar-besaran terhadap produk Jepang yang dianggap sangat sesuai dengan karakter masyarakat saat itu, termasuk konten-konten hiburannnya: drama TV, kartun, dan idol. Khusus untuk para idol yang terkenal saat itu, mayoritas perawakan yang dibawakan oleh para idol tersebut adalah perawakan shoujo, atau bisa dibilang sebagai sebuah citra “cantik dan imut”, sangat sesuai dengan perwakan Yuki Maiko.
Seiring dengan penerimaan budaya tersebut, pria-pria muda mulai mengidentifikasi diri mereka dengan budaya Jepang. Kemudian budaya Jepang ini mendapatkan tempatnya sendiri untuk tumbuh kembang di kalangan pria kelas menengah Hong Kong, dan dari situlah mereka menemukan citra ideal wanita yang cute/kawai/imut dan halus, sebuah citra yang tersedia bagi mereka sejak tahun 1980an melalui konten-konten Jepang. Dan citra ideal wanita secara umum ini pun merambah ke citra seksual yang ideal.
Sebelumnya di tahun 1960an, Hong Kong sangat ketat dalam melarang penampakan genitalia di dalam pornografi, sehingga para pembuat film membuat aktris perempuan menggunakan sikap agresif dan flirty sebagai kompensasi dari tidak adanya penampakan langsung dari aktivitas hubungan seksual.
Sedangkan pada di tahun 1990an ketika larangan mulai mengendur, citra seksual yang ideal pun berubah dari wanita agresif penggoda ke wanita innocent. Yuki Maiko seketika menjadi booming dengan karakternya yang terbuka secara seksual, namun memiliki citra cute dan sangat pasif dalam hubungan seksual (berlawanan dengan citra dewasa dan agresif seperti tergambarkan dalam pornografi pada umumnya di era sebelumnya dan di industri pornografi barat). Meskipun dalam budaya barat dianggap kekanak-kanakan, karakter aktris film dewasa yang manis, polos, naif, dan sederhana menjadi idola konsumen Hong Kong.
Tidak hanya melalui karakternya, ketenaran Yuki Maiko juga didukung oleh kondisi media saat itu. Tahun 1990an adalah era booming VCD bajakan, termasuk di antaranya adalah VCD porno dari Jepang. Dan bisnis bajakan ini terbilang sangat menguntungkan hingga jumlah kepingan VCD pornografi Jepang yang tersebar di Hong Kong diperkirakan mencapai 3 milyar keping per tahun 1998 (jika disamakan dengan Indonesia, mungkin mirip dengan booming-nya Maria Ozawa di tahun 2000an).
[caption caption="Sampul Buku Tentang JAV di Taiwan (terbitan Routledge, 2014)"]