Sebelum membahas judul diatas, saya baru saja memblok beberapa teman FB saya karena perilaku yang secara umum tidak terpuji, yaitu tidak henti-hentinya membombardir laman saya dengan berita-berita yang nyata-nyata hoax dan bersumber dari situs berita abal-abal, tidak resmi, tidak pula terverifikasi. Bahkan seorang teman perempuan membagikan postingan yang isinya kurang lebih begini, “Kita main logika-logikaan aja deh. Apabila anak gadis kita punya teman dekat, bagus pekerjaannya, jujur, tidak suka mencuri, berintegritas baik, tapi mulutnya kadang suka bicara kasar, dan yang lebih prinsip lagi agamanya berbeda dengan kita, apakah kita akan mengizinkan anak gadis kita menikah dengan orang itu? Tentu tidak kan?”
Oh my.....Apakah sampai sebegitunyakah Pilkada DKI ini merasuk kedalam nalar kita, terlebih untuk kita yang tidak ber-KTP DKI? Apakah sama kasusnya mencarikan jodoh buat anak gadis dengan memilih seorang gubernur untuk masa jabatan hanya lima tahun yang akan datang? Apakah analogi itu tepat? Apakah tidak lebih pas situasinya dengan kita naik pesawat? Seperti yang sering dicontohkan orang-orang, kita tentu lebih yakin dan merasa aman bila pilotnya lebih berpengalaman tanpa mempersoalkan agamanya, iya kan? Toh nanti setelah mendarat selesai pula urusan kita dengannya. Bedalah kasusnya beda pula situasinya.
Tidak berbeda dengan Grup WA, terpaksa saya meninggalkan, cabut dari beberapa grup karena isinya kurang lebih sama. Copas berita-berita atau membagikan link tulisan dari sumber yang tidak jelas, tanpa ricek tanpa tabayyun. Bertumpuk-tumpuk hingga memenuhi memori. Dalam waktu beberapa jam saja notifikasi pesan belum terbaca bisa mencapai ratusan bahkan ribuan. Belum lagi ancaman kepada anggota grup yang lain yang tidak sejalan atau sepemikiran, bahkan terhadap anggota yang hanya diam tidak berkomentar. Alasannya tidak berpihak kepada kebenaran adalah bathil, tidak ada netral tidak ada abstain. Naudzubillah, kebenaranpun telah dimonopoli oleh mereka dan teman-temannya yang sehaluan.
Hanya sementara, nanti bila demam Pilkada DKI ini telah reda dan isi FB tidak terlalu dominan lagi curhatan dari pakar-pakar politik dadakan itu, serta pembicaraan di grup WA telah sekitaran yang lucu-lucu atau sedikit saru saja lagi, maka tentu saya akan kembali bergabung, pada dasarnya saya merindukan itu.
Miris sekali memang. Padahal permasalahnnya adalah karena kita kesulitan menentukan siapa ranking dua. Itu saja.
Dalam banyak kejadian kita selalu saja kesulitan menentukan peringkat kedua ini. Contoh. Kita tentu menginginkan karyawan yang kinerjanya baik, tugas-tugas dapat selesai tepat waktu, kesalahannya juga sedikit dan sumir serta ketaatannya pada jam masuk kantor juga tinggi, terlihat dari jam yang bersangkutan melakukan absensi pada mesin fingerprint juga cocok, tidak ada yang terlambat atau bahkan blank, alias tidak masuk. Ini ranking satu. Nah ranking dua-nya apakah kita akan menempatkan karyawan dengan kinerja baik tapi sering bolos atau karyawan yang rajin masuk kantor tapi kinerjanya kurang?
Pernah dalam sebuah pengajian sang ustadz menyampaikan kajian mengenai sedekah, infak. Bahwa yang terbaik adalah infak dalam jumlah yang besar dan ikhlas. Ini ranking satu. Nah ranking duanya apakah yang bersedekah sedikit ikhlas atau yang banyak tapi tidak ikhlas?
Pun dalam hal mencari rumah tempat tinggal. Bila dapat rumah yang dekat dengan tempat kerja terus jalannya luas bisa masuk mobil tentulah itu yang diidam-idamkan. Tapi bila karena ketersediaan dana yang terbatas kita terpaksa memilih maka pilihannya adalah rumah yang lebih jauh tetapi jalannya luas atau yang lebih dekat tetapi hanya bisa dijangkau dengan sepeda motor.
Akhirnya tibalah contoh ini pada Pilkada DKI ini, bila ada calon yang baik kinerjanya, baik pula integritasnya, lemah lembut tutur katanya, dan seiman pula dengan kita, maka pilihlah itu, itu ranking satu. Lalu siapa yang menempati ranking dua? Apakah yang kinerjanya baik, berintegritas, jujur, tidak menzalimi dirinya sendiri dan orang lain walaupun bicaranya kadang kasar dan menyakitkan serta tidak seiman dengan kita? Atau yang halus tutur katanya, enak dilihat wajahnya, dan yang jelas seiman dengan kita walaupun tidak pernah tau kita apa prestasinya dan banyak catatan buruk dalam sejarah karirnya?
Tapi bukannya sudah ada perintah Allah jangan memilih pemimpin kafir?
Kalaupun benar tafsir perintahNya adalah seperti itu, lantas seperti apa definisi kafir? Akan panjang sekali pembahasan soal ini. Semua orang akan mendadak mufassir, ahli tafsir. Tapi apakah kita akan memberikan tampuk kepemimpinan kepada gembong ISIS misalnya? Yang setiap saat bisa saja menghabisi anak-anak kita, membumihanguskan kampung halaman kita? Apabila alasannya hanya karena seiman.
Tapi kenapa harus ISIS, bukannya masih banyak orang yang seiman dengan kita yang baik, yang berintegritas, yang jujur, yang tidak korupsi, yang........ Eits! Kalau seperti itu, itu sudah masuk kategori pertama, ranking satu itu, pilih dia! Sekarang kan kita lagi bicara soal ranking dua, makanya contohnya ISIS.
Dua-duanya ada minusnya tapi kita harus memilih. Dan semua orang akan berbeda pendapat dengan argumentasi masing-masing.
Tidak banyak panduan tentang tata cara menentukan ranking dua ini, dalam hal jodoh ada panduannya. Kanjeng Nabi memberikan arahan, bila kita temukan yang cantik, bening, beriman pula maka pilihlah yang ini, ini ranking satu. Persoalannya yang seperti ini ada tidak? Kalaupun ada mau nggak dengan kita? Nah bila tidak kita temukan yang seperti itu, apakah kita akan memilih yang tidak beriman tetapi cantik atau yang jelek tapi beriman? Kata Nabi, budak yang hitam legam itu, apabila dihatinya ada iman, maka sungguh itu lebih baik. Walaupun saya berkeyakinan tidak begitu banyak yang patuh dengan arahan Nabi ini.
Itu soal jodoh. Dalam hal menempatkan seseorang untuk bekerja, Kanjeng Nabi memberikan arahan berikanlah tugas dan tanggung jawab kepada orang yang ahli, bila kita serahkan kepada orang yang bukan ahlinya maka tunggulah saat kehancurannya.
Nah, sekarang kita sedang mencari jodoh atau tengah melaksanakan seleksi untuk orang yang akan kerja pada kita?
Kembali ke cerita Ustadz tentang infak diatas. Ketika beliau bertanya tentang ranking dua itu sebagian besar kami menjawab bahwa sedekah itu yang penting ikhlas, tidak mengapa walaupun kecil jumlahnya. Bukankah ada haditsnya yang mengatakan seperti itu. Lalu beliau tersenyum kemudian memberikan contoh, katakanlah seluruh jamaah disini mungkin ada 100 orang, ikhlas semua menyumbang untuk pembangunan masjid, tapi menyumbangnya hanya seribu, bahkan sebagian lagi hanya Rp 500,-, menurut kalian berapa tahun masjidnya akan berdiri.
Bisa ratusan tahun, atau mungkin tidak akan pernah berdiri sama sekali. Tapi bila sebagian ada yang menyumbang Rp 500 juta, sebagian lagi Rp 1 M, walaupun tidak ikhlas saya yakin dalam waktu singkat masjid baru akan siap digunakan. Ikhlas itu adalah urusan hati, urusan iman yang bersangkutan kepada Allah, kepada Tuhan. Tapi manusia lain melihatnya dari kemanfaatan. Ikhlas dihatimu tapi tidak ada manfaatnya bagi orang lain maka jariahnya tidak juga akan terwujud. Lagian kadang kala ikhlas itu bukan sesuatu yang seketika, bisa saja hari ini belum ikhlas, besok atau minggu depan atau bahkan tahun depan jadi ikhlas, karena memang tidak ada pilihan lain, seperti dapat jodoh yang jelek tadi.
Satu lagi, adakah orang yang ikhlas merasa sedekahnya besar? Tidak ada, merasanya sedikit selalu, lupa malah. itu maknanya hadits Nabi itu.
Kok ceritanya jadi menyimpang jauh seperti ini?
Ya gak apa-apalah sekali-sekali tak mengapa menyimpang jauh, asal kembali lagi.
Lalu kesimpulannya apa ini?
Tidak ada kesimpulan! Hanya sumbang pemikiran saja, bahwa orang bijak bilang bila kita menghadapi situasi sulit untuk menentukan ranking dua, maka pilihlah yang paling banyak memberikan manfaat atau paling sedikit membawa mudharat.
Kalau kedua-duanya memberikan manfaat dan membawa mudharat sekaligus?
Itung saja, kalkulasi, setelah manfaat dikurangi mudharat siapa diantaranya yang masih menyisakan manfaat walaupun sedikit. Ingat ukurannya adalah manusia, makhluk hidup lainnya bahkan alam. Bukan Tuhan, dia tidak butuh manfaat dari kita.
Ooh..
Satu lagi, kita bukan sedang memilih calon penyanyi dangdut!
Maksudnya?
Tidak perlulah memilih yang suaranya merdu!
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H