ketika mencintaimu adalah sebuah takdir, maka tak ada alasan bagiku untuk sedetik lalu berpaling darimu...
ketika mencintaimu adalah sebuah sabda, maka tak ada kuasa untukku berpulang pada hatiku, walau hanya sekejap rindu...
ketika mencintaimu adalah sebuah ketetapan, maka tak ada lagi nafas untukku selain melantunkan namamu...
aku mencintaimu...
cukup itu...
tanpa parafrase, tanpa puitisasi...
aku mencintaimu...
lugas... selugas itu
selugas ketetapan hatiku pula mengarah padamu...
selugas hatiku pula menafaskan namamu...
sebait demi sebait kutasbihkan keberkahan untukmu...
kuparafrasekan mimpi dalam setiap doaku
ku kidungkan nyanyian malam hanya untuk dirimu...
demi keindahan takdirmu... agar kau bahagia...
tapi, sepertinya ini telah pada masanya...
aku tidak ditakdirkan untuk berharap lagi akan makbulnya kidung malamku...
aku sudah tidak ditakdirkan lagi menggantungkan mimpi atas namamu...
tapi, bagiku mencintaimu adalah sebuah takdir...
hatiku, lama telah memilihmu sebagai oase-nya...
jiwaku telah lama memilihmu sebagai belahannya...
tanpa ku sadari, diriku sendiri menakdirkan hatiku untuk mencintaimu...
mencintaimu sebagai sebuah keindahan
mencintaimu sebagai sebuah hadiah Tuhan...
dan mecintaimu hanya pada sebatas keinginan...
dalam munajatku hanya mengaharap Tuhan menjagamu untukku, hingga takdir mengijinkan aku mencintaimu...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H