Seorang ulama mazhab Hanbali, Najm al-Din al-Thufi, berpendapat bahwa; jika dalil agama bertentangan dengan konteks sosial, maka konteks harus didahulukan di atas teks agama. “Mendahulukan” di sini, dalam pandangan Thufi, bukan berarti membatalkan dan menganulir sama sekali dalil agama. Sebaliknya, konteks sosial dianggap sebagai “pentakhsis” atau spesifikasi dan “bayan” atau menerangkan teks atau dalil agama yang ada.
Singkat kata Al-Thufi ingin mengatakan bahwa jika terjadi pertentangan antara dalil agama (teks /nass dan konsensus ulama / ijma’) dengan maslahat, maka kemaslahatan umum harus didahulukan di atasdalil agama tadi, bukannya malah mengabaikan atau mengorbankan maslahat demi tegaknya teks dan ijma'. Dalam hal ini, jika teks/ dalil agama mengatakan Dinar sebagai hukum, sedangkan konteks maslahat mengatakan bahwa Dinar tak lagi relevan, maka konteks maslahah haruslah diutamakan dibanding teks atau dalil agama.
Oleh karena itu, Umat Islam perlu mengubah pandangannya terhadap teks-teks suci, kemudian mampu memaknainya secara dinamis dan tidak kaku, sehingga Islam benar-benar menjadi "agama sepanjang zaman" yang bisa menjawab setiap tantangan zaman yang terus berkembang dan makin kompleks.
*****
Sebenarnya masih banyak efek negatif yang sangat mungkin ditimbulkan dari penggunaan Dinar sebagai mata uang yang justru akan merugikan umat manusia. Tentu karena keterbatasan, saya tak bisa menulis semuanya sekaligus.
Dalam setiap tulisan "Dinar, Cermin Kemunduran Berpikir Umat Islam" berikutnya, saya akan mencoba mengupas kekhawatiran saya sebagai manusia awam akan Dinar yang dalam pandangan saya justru akan menimbulkan banyak masalah dan krisis, ketimbang mengatasi masalah seperti yang selama ini di-koar-koar-kan.
Bersambung, Insyaallah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H