Mohon tunggu...
H. N. Sobolim
H. N. Sobolim Mohon Tunggu... Freelancer - word id power

Anak Yesus Kristus dan Adik Dari Che Guevara

Selanjutnya

Tutup

Politik

Neo-Pepera: Melibatkan Mahasiswa Papua dalam Kegiatan Demi Pencitraan

29 Agustus 2019   20:13 Diperbarui: 29 Agustus 2019   22:18 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berawal dari insiden penghadangan oleh Organisasi Masyarakat (Ormas) dalam aksi Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) di hari peringatan Perjanjian New York pada 15 Agustus 2019 di Malang, Jawa Timur. Dimana dalam bentrokan itu sebanyak 5 orang massa aksi AMP mengalami luka berat. Sehari kemudian, di Surabaya teriakan rasis, yel-yel usir Papua dilontarkan oleh gabungan berbagai ormas hingga terjadi penggeledahan Asrama mahasiswa Papua yang terletak di jalan Kalasan Surabaya oleh aparat gabungan TNI-Polri pada 18 Agustus 2019. 

Di Semarang, pada 18 Agustus 2019 dilakukan pemasangan spanduk bertuliskan "Kami warga Kelurahan Candi tidak setuju Asrama West Papua digunakan untuk kegiatan yang mengarah pemisahan Papua dari NKRI. Jika hal tersebut dilakukan kami sepakat menolak keberadaan West Papua di Kelurahan Candi. NKRI harga mati." Setelah itu sejumlah anggota ormas mengepung Asrama mahasiswa West Papua.

Ketiga peristiwa tersebut mencuat ke publik dan menjadi isu nasional bahkan disorot oleh media-media internasional. Apalagi di berbagai kota besar di Papua seperti Manokwari, Jayapura Sorong, Timika, Fak-Fak dan lainnya disikapi dengan aksi demonstrasi besar-besaran melibatkan ribuan massa disertai pembakaran kantor pemerintahan dan sentral ekonomi. Atas peristiwa itu juga gubernur Papua, Lukas Enembe menyatakan "lebih baik mereka pulang, kalau di NKRI tidak nyaman. Ada beberapa Universitas di Tanah Papua dan Papua New Guinea siap menampung mereka,".

Pernyataan Gubernur tersebut mendapat respon dari organisasi mahasiswa Papua di berbagai kota di Se Jawa dan Bali. Ikatan Mahasiswa Papua (IMAPA) Se-Jawa dan Bali secara resmi mengeluarkan pernyataan berisi beberapa poin tuntutan memuat hal-hal prinsipil dalam merespon tawaran Gubernur itu.

Selain tawaran pemerintah daerah Papua, di berbagai kota studi di Jawa dan Bali pemerintah daerah setempat bersama aparat TNI-Polri bergerak cepat dengan melakuakan pendekatan terhadap mahasiswa dan pelajar Papua.

Dalam situasi ini tercipta perang opini melalui media massa, terkait keamanan mahasiswa Papua. Di setiap kota studi,  pemerintah daerah, organisasi pemuda dan mahasiswa dan organisasi keagamaan mencoba dengan berbagai cara untuk dapat melibatkan mahasiswa Papua dalam kegiatan-kegiatan seremonial.

Sementara aparat TNI-Polri mendatangi tempat tinggal mahasiswa untuk menanyakan jumlah mahasiswa di setiap asrama dan kontrakan, dan juga meminta kartu indentitas seperti KTP dan KTM.

Media masa turut mengangkat persoalan ini hingga saat ini masih hangat diperbincangkan. Terlebih ketika aksi unjuk rasa anti rasisme dan tuntutan hak penentuan nasib sendiri menggema di seantero Tanah Papua.

Wajah Staf Khusus Presiden urusan Papua, Lenis Kogoya mengisi layar kaca dalam setiap perbincangan mengenai persoalan ini. Lenis Kogoya yang mengklaim dirinya sebagai Kepala Suku Papua itu menjadi narasumber utama di berbagai stasiun televisi.

Mungkin bagi sejumlah media televisi kehadiran Lenis Kogoya akan mampu meredahkan situasi di masyarakat di Papua dan mahasiswa. Sehingga Lenis Kogoya terus diundang untuk memberikan solusi taupun untuk mempengaruhi opini publik.

Di beberapa kota beberapa mahasiswa dan pelajar dilibatkan dalam sejumlah kegiatan. Sekaligus dilaksanakan deklarasi damai Papua dengan nuansa nasionalisme Indonesia. Setelah mahasiswa Papua yang terlibat diambil gambar dan diberitakan bahwa mahasiswa dan pelajar dari Papua terlibat dalam kegiatan dan merasa aman di kota tempat mereka menempuh pendidikan.

Kejadian seperti ini dilakukan di beberapa kota, di Malang dua orang mahasiswa tampil di acara tarian, tampak sorotan kamera fokus tertujuh di wajah dua mahasiswa ini, mereka mengenakan kaos seragam berwarna merah dan putih. Kejadian serupa juga terjadi di beberapa kota. Di video yang tersebar via Whattshap dua orang pemuda asal Papua memengang bendera Merah Putih, kemudian direkam saat mereka menyampaikan pesan-pesan yang bersinggungan dengan peristiwa di Surabaya dan Papua. Dilihat dari raut wajah kedua pemuda itu kakuh, tegang dan terkesan dipaksakan.

Di Makassar, sejumlah mahasiswa Papua di Universitas Hasanudin mendekrasikan perdamaian Papua. Di video yang beredar di sosial media ada beberapa anggota Kepolisian di tengah mereka. Dan masih banyak peristiwa seperti diatas di sejumlah kota.

Mungkin tujuan dari deklarasi damai yang dipelopori aparatus negara (TNI-Polri) itu selain memberikan kesan ke publik terkait jaminan keamanan dan kenyamanan mahasiswa Papua juga untuk meredam aksi  yang terus dilakukan di hampir semua kota di Papua.

Jika dilihat secara historis, hal itu sama dengan pelaksanaan act of free choiceatau Pepera 1969 di Papua. Kisah menjelang pelaksanaan Pepera dijelaskan Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari, Yan Christian Warinusi "di Manokwari sebanyak 75 orang wakil yang terpilih sebelumnya dikarantina di Kompleks TNI Angkatan Laut. Mereka dilarang bertemu dengan keluarga selama hampir sebulan dan diindoktrinasi."

Pepera yang dilaksanakan dari 14 Juli sampai dengan 2 Agustus di seluruh West Irian hanya 1025 orang anggota Dewan Musyawarah Pepera (DMP) mewakili 815.904 penduduk Papua saat itu. Anggota DMP menurut perincian terdiri dari, unsur tradisional (Kepala Suku/Adat) sebanyak 400 orang, unsur daerah sebanyak 360 orang dan unsur Orpol/Ormas/golongan sebanyak 266 orang. Hal itu tidak sesuai dengan kesepakatan New York Agreement pada 15 Agustus 1962, sebuah perjanjian yang mengatur masa depan wilayah Papua Barat yang terdiri dari 29 Pasal yang mengatur tiga macam hal, di antaranya pasal 14 hingga 21 mengatur tentang Penentuan Nasib Sendiri (Self Determination) yang didasarkan pada praktek Internasional yaitu satu orang satu suara (One Man One Vote).

Perwakilan 1025 orang itu kemudian melegitimasi kehadiran pemerintah Indonesia di Papua hingga sekarang.

Kesamaan dengan pelaksanaan Pepera terlihat dari cara pendekatan secara person maupun melalui birokrasi kampus yang dilakukan terhadap mahasiswa Papua. Padahal mahasiswa Papua di setiap kota studi tidak berada sendiri, melainkan terorganisir dan bernaung dalam paguyuban per daerah dan IPMAPA yang mewadahi semua paguyuban. Pendekatan personal dan melalui kampus dilakukan dengan melihat pernyataan IPMAPA yang dengan tegas dalam pernyataan di poin kedua menyatakan "Pemerintah Indonesia segera hentikan agenda-agenda pencitraan di seluruh wilayah Indonesia yang bertujuan menjebak pelajar dan mahasiswa Papua dalam menciptakan berita-berita hoax."

Jika ditilik keputusan IPMAPA itu memberikan suatu hambatan tersendiri kepada sejumlah pihak baik elit nasional, pemerintah daerah, aparat TNI-Polri hingga di tingkat pemerintahan RT/RW. IPMAPA juga mengeluarkan pernyataan keras di beberapa point tuntutan seperti tarik militer organik dan non-organik dari seluruh Tanah Papua dan menegaskan mahasiswa Papua pulang jika diberikan Hak Penentuan Nasib Sendiri.

Alhasil, deklarasi sepihak terkait situasi Papua dan kenyamanan di setiap kota studi memberikan kesan buruk di perkumpulan mahasiswa Papua dari Raja Ampat - Merauke yang menjaga nilai-nilai ke-Papuaan: saling menghargai dan menghormati, merasakan persoalan rakyat, membangun persatuan kesatuan dan nilai-nilai baik lainnya.

Kehadiran berbagai pihak di kalangan mahasiswa Papua kemudian membuat berita-berita Hoax, selain membuat kesalah pahaman di antara sesama mahasiswa Papua juga menciptakan perpecahan di internal mahasiswa Papua. Sehingga, berskibat pada saling curiga dan menyimpan terjadinya konflik di kemudian hari.

Lenis Kogoya yang dianggap oleh pemerintah Indonesia sebagai orang yang dianggap betanggung jawab terkait semua persoalan Papua di bully oleh orang Papua di sosial media yang menganggap dia memberi tanggapan tidak sesuai konteks dan kemauan orang Papua. Tanggapan mengenai Lenis juga datang dari gubernur Papua, dia mempertanyakan kapasitas Lenis Kogoya. "Dia kepala suku apa, mewakili apa? Tidak ada," ujar Lukas. 

Pendekatan dan Kehadiran negara dengan cara seperti itu terhadap orang Papua dan juga di kalangan mahasiswa Papua tidak akan bisa menyelesaikan persoalan. Justru terlihat sensasional. Hal ini terbukti  di berbagai kota pelajar mengaku dipaksa terlibat dalam kegiatan. Mereka merasa kesal dan melakukan klarifikasi sekaligus meminta maaf.

Referensi

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190816181952-20-422091/asrama-papua-di-surabaya-digeruduk-massa-beratribut-fpi

https://suarapapua.com/2019/08/25/pernyataan-sikap-mahasiswa-papua-ipmapa-se-jawa-dan-bali/

https://news.okezone.com/read/2019/08/20/519/2094257/bertemu-wakil-wali-kota-malang-mahasiswa-papua-kami-nyaman-dan-aman-di-sini

https://nasional.republika.co.id/berita/pws5og423/ribuan-mahasiswa-baru-ump-gelar-deklarasi-damai-tanah-papua

https://suarapapua.com/2019/07/30/pepera-1969-melanggar-ham-oap-atas-tindakan-amerika-dan-indonesia-yang-melibatkan-pbb/

http://www.tabloidjubi.com/16/2013/07/25/pepera-1969-sebuah-renungan/

https://news.detik.com/berita/d-4682034/lukas-enembe-lenis-kogoya-bicara-papua-wakili-apa

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun