Mohon tunggu...
Abdul Haris
Abdul Haris Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis otodidak, tak pernah berhenti belajar

Pembelajar otodidak yang gemar membaca, suka olahraga jalan kaki, dan bekerja online dari rumah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengapa Bangsa yang Tidak Religius Justru Lebih Bermoral?

3 Februari 2025   10:32 Diperbarui: 3 Februari 2025   07:45 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika membandingkan bangsa-bangsa di dunia, sering kali kita menemukan fenomena yang tampak bertolak belakang: negara-negara yang tidak mengutamakan agama dalam kehidupan bernegara justru memiliki budaya yang menjunjung tinggi kejujuran dan kebersihan lingkungan. Sementara itu, di banyak negara yang secara eksplisit menjadikan agama sebagai pedoman moral dan kehidupan sosial, justru kita melihat tingginya angka korupsi, pelanggaran hukum, serta rendahnya kesadaran terhadap kebersihan dan ketertiban umum.

Fenomena ini tentu mengundang pertanyaan besar: mengapa hal ini bisa terjadi? Bukankah agama seharusnya menjadi sumber moralitas yang paling kuat? Mengapa justru negara-negara yang lebih sekuler memiliki masyarakat yang lebih disiplin dan menjunjung etika sosial?

1. Agama vs Budaya Moral

Secara teori, agama mengajarkan nilai-nilai kebaikan, termasuk kejujuran, disiplin, dan kepedulian terhadap sesama. Namun, dalam praktiknya, banyak masyarakat yang religius justru menjadikan agama sebatas identitas dan formalitas, bukan sebagai pedoman dalam kehidupan nyata. Agama lebih sering digunakan sebagai alat legitimasi politik dan sosial, bukan sebagai pemandu perilaku individu.

Sebaliknya, negara-negara yang tidak terlalu menekankan agama dalam sistem pemerintahan mereka cenderung lebih fokus pada pembangunan budaya moral yang bersifat universal, seperti transparansi, etika kerja, dan kepedulian terhadap lingkungan. Mereka menanamkan nilai-nilai ini melalui sistem pendidikan, kebijakan publik, serta penegakan hukum yang konsisten.

2. Mengapa Indonesia Penuh dengan Korupsi, Pengkhianatan, dan Ketidakjujuran?

Jika kita melihat sejarah, budaya korupsi dan pengkhianatan di Indonesia bukanlah fenomena baru. Sejak masa kolonial, banyak pejabat pribumi yang menjadi kaki tangan penjajah demi keuntungan pribadi, bahkan dengan mengorbankan rakyatnya sendiri. Budaya "asal selamat" dan "cari aman" telah terbentuk sejak lama, di mana banyak orang lebih mementingkan kepentingan sendiri dibandingkan kepentingan bersama.

Setelah merdeka, praktik korupsi semakin mengakar karena lemahnya sistem hukum dan tingginya budaya patronase---di mana seseorang bisa memperoleh kekuasaan dan kekayaan bukan karena kemampuan atau integritas, tetapi karena kedekatan dengan elite penguasa.

Hal ini juga diperparah dengan mentalitas feodal yang masih kuat, di mana banyak orang menghormati seseorang bukan berdasarkan kejujurannya, tetapi karena status dan kekayaannya. Akibatnya, banyak pejabat yang merasa bahwa mereka bisa menyalahgunakan jabatan tanpa konsekuensi yang berarti, karena masyarakat lebih cenderung tunduk pada kekuasaan daripada menuntut keadilan.

Selain itu, dalam kehidupan sehari-hari, banyak orang yang menganggap mengambil hak orang lain sebagai sesuatu yang wajar selama tidak tertangkap. Contoh kecil seperti mencuri listrik, menerobos lampu merah, atau mencontek di sekolah menunjukkan bahwa sejak dini, banyak masyarakat kita sudah terbiasa dengan perilaku curang tanpa rasa bersalah.

3. Penegakan Hukum dan Konsistensi Nilai

Negara-negara maju seperti Jepang, Norwegia, Denmark, atau Finlandia dikenal memiliki tingkat korupsi yang sangat rendah serta budaya kebersihan yang tinggi. Yang menarik, negara-negara ini tidak dikenal sebagai negara yang sangat religius dalam kehidupan sehari-hari. Namun, mereka memiliki sistem hukum yang kuat, serta budaya sosial yang menekankan pentingnya tanggung jawab individu terhadap masyarakat.

Di sisi lain, di Indonesia, hukum sering kali ditegakkan secara tidak adil---berlaku bagi rakyat kecil, tetapi bisa dinegosiasikan bagi mereka yang memiliki kuasa. Korupsi yang merajalela terjadi karena tidak adanya konsekuensi serius bagi para pelaku.

Selain itu, banyak individu yang mengaku religius tetapi justru menggunakan agamanya sebagai alat pembenaran atas tindakan yang merugikan orang lain. Misalnya, seseorang bisa menggunakan dalih agama untuk membenarkan ketidakjujurannya, atau menyalahkan pihak lain atas keburukan yang terjadi, alih-alih introspeksi.

4. Kejujuran dan Kebersihan sebagai Bagian dari Budaya, Bukan Sekadar Doktrin

Di negara-negara sekuler yang lebih maju, kejujuran dan kebersihan bukan hanya sekadar ajaran, tetapi sudah menjadi budaya yang tertanam dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat dididik sejak kecil bahwa membuang sampah sembarangan adalah tindakan yang merugikan orang lain, dan berbohong atau mencurangi sistem adalah perbuatan yang tidak bisa ditoleransi.

Sebaliknya, di Indonesia, aturan kebersihan dan kejujuran sering kali hanya menjadi wacana. Kesadaran kolektif untuk menjaga lingkungan masih rendah, dan banyak orang hanya merasa perlu bersikap baik jika ada pengawasan atau hukuman yang mengancam.

5. Kesadaran Kolektif vs Kepatuhan Simbolik

Salah satu perbedaan mendasar antara masyarakat yang menjunjung tinggi agama dengan masyarakat yang menjunjung tinggi budaya moral adalah cara mereka memahami tanggung jawab sosial.

Masyarakat yang menjunjung tinggi agama sering kali lebih fokus pada kepatuhan simbolik---misalnya, menampilkan identitas religius di ruang publik, tetapi tidak selalu mengaplikasikan nilai-nilai agama dalam tindakan sehari-hari.

Sebaliknya, masyarakat yang lebih sekuler justru cenderung memiliki kesadaran kolektif yang lebih kuat, di mana setiap individu merasa memiliki tanggung jawab untuk menjaga ketertiban dan kesejahteraan bersama, tanpa harus bergantung pada dogma tertentu.

Kesimpulan: Agama Tidak Menjamin Moralitas

Fenomena ini menunjukkan bahwa keberagamaan suatu bangsa tidak selalu berbanding lurus dengan tingkat moralitas masyarakatnya. Kejujuran, disiplin, dan kepedulian terhadap lingkungan lebih bergantung pada sistem sosial, pendidikan, serta penegakan hukum yang konsisten, daripada sekadar ajaran agama yang bersifat normatif.

Jika kita ingin membangun masyarakat yang lebih beradab, maka kita tidak cukup hanya mengandalkan ajaran agama sebagai solusi. Diperlukan pendekatan yang lebih nyata, seperti membangun budaya disiplin, menegakkan hukum tanpa pandang bulu, serta menanamkan nilai-nilai sosial sejak dini.

Pada akhirnya, bangsa yang maju bukanlah bangsa yang sekadar religius dalam ucapan, tetapi yang mampu mengaplikasikan nilai-nilai kebajikan dalam kehidupan nyata.

#Korupsi #AntiKorupsi #Kejujuran #Integritas #PendidikanKarakter #HidupJujur #BudayaKorupsi #MoralBangsa #RevolusiMental #BerantasKorupsi

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun