Mohon tunggu...
Satya Hedipuspita
Satya Hedipuspita Mohon Tunggu... -

Nama saya Satya, diambil dari bahasa Sanskrit yang berarti kebenaran. Kebenaran sejati bukan saya, tetapi saya mengikuti Dia yang adalah kebenaran sejati dan kehidupan sejati. Karena nama ini diberikan orang tua saya bagi saya, maka saya akan berjuang sebagai pewarta kebenaran.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Worldview, Sebuah Matakuliah?

2 Februari 2016   09:38 Diperbarui: 2 Februari 2016   09:44 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ada banyak istilah yang mungkin digunakan untuk menunjukkan apa yang dimaksudkan, demikian juga dengan tata pandang dunia, sebagian lain mengatakan sebagai pandangan hidup atau bingkai kehidupan, atau mungkin dengan istilah-istilah yang lain. Sebagai contoh James W. Sire mendefinisikan tata pandang dunia sebagai "a set of presuppositions (assumptions which may be true, partially true or entirely false) which we hold (consciously or subconsciously, consistently or inconsistently) about the basic makeup of our world." Dan karenanya dia mengusulkan agar "with a consciousness not only of our own way of thought but also that of other people, so that we can first understand and then genuinely communicate with others in our pluralistic society."(James W. Sire. The Universe Next Door, 15-16). Singkatnya, yang hendak dibicarakan adalah sebuah pola dalam diri seseorang ketika memandang keadaan sekitarnya. Kita memahami bahwa dalam dunia ini jumlah tata pandang dunia adalah sama dengan jumlah orang yang hidup di dunia. Namun untuk memudahkan pemahaman maka orang selalu mengklasifikasikannya dengan beberapa yang mayor yang cenderung dihubungkan dengan keyakinan, sehingga sebagai seorang Kristen semestinya memiliki tata pandang dunia Kristen, dan dalam semua aktifitas dan cara berpikirnya menggunakan tata pandang dunia dalam perspektif Kristen.

Anselmus dalam Proslogion mengatakan “Credo ut intelligam”, yang artinya aku percaya, karena itu aku mengerti. Pengertian dan ilmu didasari pada keberimanan. Tidak semua hal dapat kita mengerti, namun apa yang kita percaya akan dapat kita pahami. Hikmat sejati manusia bukanlah milik manusia, melainkan pemberian Allah, dalam pemahaman inilah keilmuan seharusnya dihayati dan ditelusuri. Karena hikmat sejati adalah dari DIA yang adalah hikmat dan sumber hikmat maka pencarian ilmu sejatipun didasari akan keyakinan kepada DIA. Tanpa adanya keyakinan kepada Allah semesta alam, yang menciptakan dunia berserta segenap isinya, tidak ada ilmu yang sejati. Kesejatian bermula pada DIA yang sejati.

Masih berkaitan dengan iman dan ilmu pengetahuan, Anselmus mengatakan “fides quaerens intellectum” yang berarti iman mencari pemahaman. Mereka yang beriman akan berusaha untuk mencari dasar pemahaman mereka dan mengungkapkan apa yang mereka imani. Iman bukanlah sesuatu yang mati, dia hidup dan berkembang dalam diri manusia yang memilikinya. Bila seseorang tidak sedang berusaha mencari apa yang dipahaminya maka dapat dikatakan bahwa dia tidak beriman. Dari dua ungkapan Anselmus di atas, kita memahami bahwa dunia pendidikan, yang di dalamnya dilakukan pencarian pemahaman tentulah didasari atas keyakinan-keyakinan. Pertanyaan yang mendasar adalah apakah keyakinan tersebut, yang mendasari pencarian pemahaman akan kebenaran, bertolak pada iman kepada Kristus, ataukah didasarkan pada pandangan-pandangan lain yang berasal dari dunia ini?

Dalam pergumulan yang demikian penyusunan silabus untuk mata kuliah seharusnya dilakukan. Pertama, sebagai wujud keberimanan pengampu dan kedua, tanggung jawab pengampu dalam mendidik orang-orang yang dipercayakan kepadanya untuk percaya dan mengikuti Tuhan. Kerinduan agar matakuliah yang disampaikan kepada peserta didik dengan tata pandang Kristiani, atau lebih tepat dikatakan bahwa matakuliah disampaikan dalam perspektif Kristen, sehingga Kristen bukan hanya sebuah embel-embel yang retorik yang digunakan hanya karena latar belakang agama, namun sebuah nilai hidup yang ditransformasikan dalam pengajaran sehingga mentransformasi manusia-manusia yang bernilai Kristen, yang mengikuti Kristus dengan sepenuh hidup.

Walaupun worldview dapat dijadikan sebuah matakuliah, namun demikian worldview bukanlah ilmu yang berdiri sendiri. Worldview adalah wujud dari karakteristik teologi dan filosofi seseorang, secara khusus berhubungan dengan pertanyaan yang sering muncul dalam dunia teologi dan filosofi yaitu kenyataan. Tidak setiap orang membahas dan memahami worldview yang mereka miliki, namun setiap orang pasti memiliki worldview. Kita memahami worldview sebagai nilai-nilai yang menjadi penggerak perilaku seseorang. Dengan mempelajari worldview yang kita miliki dan membandingkan dengan worldview Kristen yang seharusnya, kita dapat ditolong untuk menguji tatanan hidup dan nilai, sedemikian sehingga kita semakin selaras dengan dan layak disebut sebagai murid Kristus.

Ketika kita membahas worldview dalam pemahaman Kristen, maka sebenarnya kita secara langsung menyandarkan nilai dan pandangan dengan sebuah keyakinan akan keberadaan Allah. Karenanya Christian worldview dipahami sebagai theistic worldview, namun demikian kita memahami bahwa Christian worldview bukanlah satu-satunya theistic worldview. Keunikan kebersandaran itu dapat dikatakan sebagai keyakinan kepada Allah yang berpribadi, yang menciptakan semesta, dan secara terus dengan hikmat dan kekuatannya memelihara dunia. Allah yang karena kasihnya kepada ciptaanNya telah melakukan penebusan dan restorasi pada ciptaanNya sedemikian sehingga mencapai tujuan ilahi.

Semakin jelaslah sekarang bahwa, dalam tataran pendidikan, worldview sangat penting sebagai framework kehidupan dan nilai pribadi peserta didik. Karena itu Christian worldview perlulah diajarkan bukan hanya sebagai matakuliah mandiri melainkan di dalam dan sebagai benang merah semua pengajaran dalam pendidikan. Sehingga kekristenan bukan hanya sebuah retorika namun menjadi jiwa dalam semua matakuliah. 

(ditulis awal di Surabaya sekitar tahun 2012)

Satya Hedipuspita

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun