Dear Diary..
Cangkringan, salah satu kepanewon terakhir dibawah puncak Gunung Merapi. Waktu menunjukkan pukul 9 pagi, kala itu saya bersama seorang kawan berkendara menyusur jalan dari arah bilangan Kepuh Sport Center, menyusur jalan aspal yang mulus dan terawat baik, meski tiap hari menjadi rute truk-truk bertonase besar mengangkut pasir Merapi.
Truk-truk tersebut hilir-mudik mengangkut pasir yang ditambang dari sungai-sungai yang berhulu di lereng Merapi, tiap hari pasir Merapi ditambang dan ditambang, diangkut dengan truk-truk dan dijual sebagai material bahan bangunan berkualitas tinggi.
Saya bersama kawan yang berangkat dari pusat kota sedari pagi mulai merasakan lapar, kecepatan kendaraan kami kurangi sambil awas mata ini mencari mini market atau warung tuk sekedar membeli sekerat roti dan air mineral guna menggajal perut yang belum terisi.
Hingga kami dapati sebuah warung makan di pinggir jalan yang berdekatan dengan pangkalan truk dan Backhoe penambang pasir Merapi, warung yang cukup startegis dan  higienis menurut saya.
Jujur dari palung hati ini, Â saya memilih berhenti diwarung ini karena rasa iba, sebuah warung kecil. Saya pikir kami menjadi dermawan jika berhenti dan singgah tuk turut serta membantu ekonomi pemilik warung dengan cara membeli dagangan mereka, layaknya kampanye kepedulian sosial yang sering lalu-lalang di lini masa medsos, bahwa kita dianjurkan untuk membeli di warung tetangga sehingga nadi ekonomi mereka berdenyut dan hidup.
Warung yang kami singgahi itu dijaga oleh 2 orang Ibu-ibu, saya mencoba lebih akrab saya memanggil mereka Bude.
*"Kula nuwun Bude..?" ujarku memohon izin masuk degan bahasa jawa halus
"Monggo Mas pinarak, monggo dhahar mendhet piyambak.." timpal bude penjaga warung ramah
"Njih Bude, matur nuwun.."
"Ngunjuk ipun menapa Mas..?"
"Teh anget mawon kalih Bude.."
"Njih Mas.."
Hari teramat pagi bagi industri pasir Merapi tuk memulai kegiatan, depo pasir tampak sepi. Di warung itu hanya saya dan rekan yang duduk di bangku kayu dan mulai melahap nasi dan Sayur nDeso beserta lauk ikan lele, didepan kami hanya terdapat pemandangan Backhoe berwarna kuning yang berjajar diparkir diantara gundukan pasir Merapi yang siap diangkut dengan truk dan dijual.
Usai makan dan sedikit obrolan ringan dengan bude pemilik warung, saya segera pamit beranjak melanjutkan perjalanan.
**"Sampun Bude.. pinten njih..?" kata ku sambil meneguk teh hangat
"Tigang dasa ewu mawon Mas.." sahut bude
"Njih menika Bude.. matur nuwun.." sembari memberikan  3 lembar uang kertas sepuluh ribu.