Pekanbaru memanglah ramai. Selaiknya ibukota provinsi, kota ini dijejali aneka pusat perbelanjaan dan mal. Pekanbaru juga bersuhu panas, lantaran terletak di dataran rendah. Jadi jangan dibandingkan dengan Bukittinggi yang dingin semriwing. Â
Setelahnya, aku mulai bingung. Objek apa lagi yang perlu kusinggahi di Pekanbaru. Aku googling dan menemukan Museum Sang Nila Utama. Museum? Hmm, sounds good. Akhirnya aku menghampiri museum ini.
Sabtu, 3 Juni 2023. Dari hotel tempatku menginap, aku mengendarai ojek online untuk sampai ke Museum Sang Nila Utama. Ternyata letak museum ini berseberangan dengan Kantor DPRD Provinsi Riau.
Impresi pertama yang kudapatkan, hhmm, Museum Sang Nila Utama mempunyai gedung yang estetik. Gedungnya khas seperti rumah adat suku Melayu. Setidaknya itu asumsi awalku sebelum terus melangkah memasuki area museum. Oh ya, bangunannya bercat kuning. Warna khas Riau yang memiliki julukan "Bumi Lancang Kuning".
Sepi. Itu adalah kesan yang kudapatkan berikutnya. Atau mungkin lantaran aku berkunjung di hari Sabtu. Entahlah. Namun yang jelas, saat pengalamanku datang ke sana, aku adalah satu-satunya pengunjung yang eksis di jam itu.
Aku melewati pintu pagar dan pos petugas keamanan. Kosong. Pos itu tidak dijaga oleh siapapun. Baiklah. Aku lanjut menelusuri halaman dan menuju pintu masuk museum. Benar-benar sepi. Cuma aku yang ada di halaman museum.
Akses masuk Museum Sang Nila Utama berupa tangga. Kunaiki tangga ini dan kutemukan sebuah prasasti tepat di sebelah pintu masuk museum. Kubaca prasasti ini. Hmm, museum yang sedang kupijak ternyata diresmikan sejak 9 Juli 1994. Ada tanda tangan Direktur Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud) kala itu.
Saat aku sudah memasuki ruangan museum, barulah aku menemukan petugas museum ini. Untuk masuk ke dalam museum ada tiket seharga 5000. Sayangnya tidak tersedia brosur terkait museum, kala aku menanyakannya kepada petugas bersangkutan.