Mohon tunggu...
Johar Dwiaji Putra
Johar Dwiaji Putra Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai

Alumni Ilmu Komunikasi. PNS dan staf Humas.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Berdzikir Bersama Sang Penari

14 Desember 2011   10:10 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:18 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Dari awal aku memang tertarik untuk menonton film ini. Pertama membaca informasinya di koran, aku sudah mempunyai ekspektasi untuk film ini. Film ini diangkat dari sebuah novel yang setahuku cukup fenomenal. Novelnya berjudul Ronggeng Dukuh Paruk, karya Ahmad Tohari. Aku mengenal Ahmad Tohari sejak membaca novel fenomenal lain yang pernah dihasilkan oleh penulis dalam negeri. Ayat-ayat Cinta, karya Habiburrahman El Shirazy.

Ahmad Tohari memberikan testimoninya untuk novel tersebut, dan dicetak di cover depan novelnya. Sejak itulah aku mengetahui sosok Ahmad Tohari dan novelnya yang cukup menyita perhatian. Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk. Novel inilah yang menginspirasi lahirnya satu film layar lebar di tahun 2011 ini. Sang Penari. Inilah judul film besutan Ifa Isfansyah itu.

Perjuanganku hingga akhirnya aku bisa menonton film ini di bioskop tak sia-sia. Kabar terakhir yang kudengar, Sang Penari menjadi yang terbaik di ajang tahunan Festival Film Indonesia (FFI) 2011 barusan.

Hari itu hari Jumat, 25 November 2011. Aku yang bekerja di instansi swasta, kebetulan mendapat jatah libur sampai hari Minggu. Aku yang mengadu nasib di Surabaya, sungguh menyambut gembira jatah liburku itu. Aku bisa pulang ke Malang. Beristirahat sejenak, melupakan hiruk-pikuk dan rutinitas yang selalu membayang di pelupuk mata.

Sebelum pulang ke Malang, aku ingin menonton di bioskop. Kubuka situs jaringan bioskop lokal untuk mengetahui film-film apa saja yang sedang diputar. Meski kantor pusatku di Surabaya, tetapi aku ditaruh di kantor cabang yang berada di Sidoarjo. Bioskop 21 yang paling dekat berada di Cito. Namun Sang Penari tak diputar di Cito.

Akhirnya aku beralih ke Tunjungan Plasa, mal terdekat yang 21-nya memutar Sang Penari. Terdekat??? Tunjungan ini berada di tengah Surabaya. Perjalanan kesana bagai perjalanan keluar kota. Tak apalah. Yang penting aku bisa menonton film yang dibintangi Prisia Nasution dan Oka Antara itu.

Sampailah di Tunjungan Plasa. Aku memilih pemutaran pada jam 16. 35 sore. Sambil menunggu aku menunaikan kewajiban Asharku. Sang Penari diputar di teater 3. Begitu aku kembali dari mushola, dari pengeras suara telah mengabarkan bahwa teater 3 sudah dibuka. Kalau tak salah, aku orang ketiga yang masuk teater. Dan hingga film mulai diputar, cuma ada sembilan orang yang “sudi” menonton film ini, termasuk aku. Imagine! Hanya 9 orang!!!

Sungguh ironis. Di teater sebelah sedang diputar film impor yang menceritakan vampir. Apa lagi kalau bukan Twilight series: Breaking Dawn Part 1. Para penonton bioskop yang didominasi kawula muda usia SMA dan kuliah, lebih memilih membuang uangnya untuk menonton film vampir tersebut. Sementara Sang Penari, film karya dalam negeri yang menceritakan episode lampau bangsa ini, sepi peminat. Kenapa bisa seperti ini??!

Kursi di teater sebelah yang memutar Breaking Dawn sampai penuh tak tersisa. Bandingkan dengan Sang Penari yang hanya ditonton 9 orang! Hal ini mungkin mempunyai beberapa sebab. Sang Penari memang film berlabel dewasa. Sehingga kalangan muda usia SMA, mungkin akan berpikir ulang untuk menontonnya.

Atau mungkin, bisa juga karena minat terhadap film dalam negeri yang masih rendah. Khususnya film yang sedikit “berat” dan berbau sejarah. Mereka lebih menyukai film-film ringan khas kawula muda. Film yang kadang dibumbui horor dan nuansa esek-esek. Juga film-film impor yang memiliki efek visual yang teramat canggih.

Ahh..... minat memang tak bisa dipaksa. Hingga bermenit-menit Sang Penari diputar, “penghuni” dalam teater tetap tidak bertambah. Sebagai penonton awam dan penikmat film layar lebar biasa, aku tak bisa berkomentar macam-macam terhadap film ini. Salah satu yang menarik perhatian, adegan erotis dan menggambarkan persetubuhan terlihat tak sedikit.

Ada satu yang menarik perhatianku. Diawal film terdapat tulisan bahwa Sang Penari terinspirasi dari novel Ronggeng Dukuh Paruk. Berbeda dengan film Ayat-ayat Cinta atau Ketika Cinta Bertasbih yang benar-benar diangkat dari novel berjudul sama.

Mungkin karena cuma terinspirasi, maka tim produser dan penulis film tak mempunyai kewajiban moral terhadap penulis novelnya (Ahmad Tohari). Jika mungkin terdapat perbedaan antara novel dan versi filmnya, tim produser bisa mengajukan alibi bahwa film ini hanya terinspirasi. Bukan mengadaptasi dari novelnya.

Tokoh sentral yang bernama Srinthil, sungguh dimainkan secara apik oleh Prisia Nasution. Bahkan karenanya, ia diganjar aktris terbaik dalam FFI 2011 ini. Srinthil yang begitu gemulai bertindak sebagai ronggeng di dukuh Paruk. Oka Antara yang memerankan tokoh Rasus, kekasih Srinthil, juga patut diacungi jempol. Ia bisa berakting dari seorang pemuda desa yang terkesan “lemot”, kemudian bermetamorfosis menjadi tentara yang tegap dan tegas.

Selebihnya, nuansa Indonesia masa 1950an dan 1960an terbangun cukup meyakinkan. Apalagi saat peristiwa 1965, dimana terjadi pergolakan antara PKI yang digambarkan sebagai kaum merah dengan Angkatan Darat. Selalu rakyat yang menjadi korban. Rakyat yang masih bodoh dan begitu mudahnya terombang-ambingkan keadaan dan propaganda. Dukuh Paruk sebagai setting cerita, juga terkena imbas dari peristiwa yang menorehkan luka di perjalanan sejarah bangsa Indonesia ini.

Ending-nya pun cukup tak terduga menurutku. Digambarkan kondisi Dukuh Paruk beberapa tahun setelah tragedi 1965. Orde Baru telah berkuasa. Termasuk doktrin Pembangunan Lima Tahun (Pelita) dan pembangunan yang dilaksanakan. Rasus telah menjadi tentara yang berposisi cukup tinggi. Sementara Srinthil tetap menjadi ronggeng, penari. Tetapi penari jalanan, yang mengais belah kasih dari orang yang menonton aksi liukannya di pinggir jalan.

Tragis.

Sidoarjo, 14 Desember 2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun