Tujuan utama ke Kalianda adalah Pemandian Air Panas Way Belerang, setelahnya kembali ke Bandar Lampung untuk mengunjungi Museum Lampung. Namun, setelah melihat-lihat tempat wisata di sekitar Kalianda melalui mesin pencari, kami memutuskan ke Pematang Sunrise lebih dulu. Sehingga, rute perjalanannya adalah Pematang Sunrise, pemandian air panas, pantai terdekat lalu kembali ke Bandar Lampung.
Demi menyaksikan matahari terbit, kami memutuskan berangkat lebih pagi dan meninggalkan Bandar Lampung. Sekitar pkl05.15 pagi, kami check-out dari hotel. Langit masih gelap. Jalan masih lengang. Sekalipun ada beberapa kendaran terlihat, lalu lintas masih tidak sibuk. Sekitar 10 menit dari hotel, kami memasuki jalan tol menuju Kalianda.
Pematang Sunrise
Selain bisa menyaksikan matahari terbit, dari Pematang Sunrise bisa juga menyaksikan matahari terbenam. Posisinya membuat kita bisa menyaksikan peristiwa alam tersebut di tempat yang sama.
Awalnya tidak yakin akan datang ke tempat ini. Tempat ini tutup permanen. Menariknya, kami melihat ulasan terakhir di bulan Juni tahun ini. Naaah, apa yang membuat tempat ini tutup permanen dalam waktu 6 bulan?
Setelah menempuh sekitar 1,5 jam, kami keluar dari jalan tol, teknologi map mengarahkan kami masuk lagi ke jalan tol. Loh? Â Kami memutuskan tetap terus di Jalan Lintas Sumatera hingga menemukan posisi paling dekat dengan titik tujuan.
Kami beberapa kali menanyakan posisi Pematang Sunrise sampai akhirnya ada seorang ibu yang bisa menunjukkan posisi terdekat menuju ke arah lokasi tujuan kami. Ketika makin mendekati tujuan, awalnya lebar jalan yang dilewati bisa untuk 2 badan mobil menjadi jalan yang hanya bisa dilewati 1 badan mobil. Kami memutuskan untuk memarkirkan mobil di sebuah tanah lapang dekat masjid kemudian melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki.
Seorang bapak yang sedang menikmati kopinya di depan teras rumahnya menyaksikan kami. Ketika kami meminta izin untuk meninggalkan mobil, bapak tersebut menanyakan tujuan kami. Setelah tahu tujuan kami, si bapak menyarankan kami untuk tetap menggunakan mobil karena masih ada 3 km lagi jalan yang harus ditempuh sebelum bertemu dengan jalan tanah yang merupakan persimpangan menuju Pematang Sunrise. Kami juga disarankan untuk menemui pak Heri, dan menyewa joki motor setempat ke Pematang Sunrise. Mobil tidak bisa naik lebih tinggi lagi ke arah lokasi wisata ini.
Sekalipun jalan tersebut hanya cukup 1 badan mobil, kami merasa beruntung karena tidak mobil dari arah yang berlawanan pada saat kami melintasinya. Setelah 2km, kami melihat penanda arah bertuliskan pantai Minang Rua di sisi kanan jalan.
Ketika kami akhirnya berjumpa dengan jalan tanah dan penunjuk arah yang terbuat dari kayu, juga bertemu dengan pak Heri dan mendapatkan sedikit info tentang lokasi tersebut. Ketika kami menanyakan tentang info Pematang Sunrise yang tutup permanen 6 bulan sebelumnya, beliau menjelaskan bahwa sebuah perusahaan hendak mengelola Pematang Sunrise sehingga warga lokal tidak ikut lagi dalam pengelolaannya. Namun, jika ada pengunjung yang datang, mereka akan tetap membantu pengunjung untuk tetap bisa ke Pematang Sunrise.