Kembang api warna-warni semarakkan langit malam
Jejak-jejak cahaya memencar, menjauh sebelum luruh.
Bersama, memisah, sendiri, senyap, lenyap.
Ketika kesunyian datang, hanya aku, milikku
Ketika kesendirian tiba, aku hanya memiliki diriku.
Tiada apapun, selain diriku.
Jika aku pergi dan berjalan, pertigaan membingungkanku.
Orang-orang itu, entah mengapa, berebutan memberikan saran, tanpa kuminta.
Mengapa mereka memberi, saat tidak diminta?
Banyakkah, hikmat dan bijak dalam hidup dan nasehat mereka?
Melimpahkah, pengalaman dan pengertian mereka?
Ketika jalan berbeda, mengapa orang-orang ini menyamakan hidup mereka dengan hidupku?
Ketika pergumulan datang, mengapa orang-orang ini menenangkanku seolah pergumulan ini milik mereka?
Samakah, kekuatan kami?
Serupakah, hasrat kami?
Setarakah, kedudukan kami?
Ber-irisankah, hdup kami?
Ketika aku melanjutkan perjalanan, namun tersandung. Sakit melumpuhkanku.
Orang-orang itu berlomba menasehati dan menyalahkan, tanpa kuminta.
Dari mana hak suara mereka, atas hidupku?
Hidupku yang tanpa warna-warni.
Hidupku dengan warna-warni.
Warna warni sepi, warna warni diri.
Mengapa orang-orang itu yang menentukan warna apa yang pantas untuk hidupku?
Tidakkah mereka memiliki hidup mereka sendiri?
Tidakkah (seharusnya) mereka menjalani hidup mereka sendiri?
***
Catatan dari kotaku
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H