Pulau Samosir do, haroroanku Samosir do; I do asal hu sai tong ingothonku; saleleleng ngolungku hu puji ho. I do asal hu sai tong ingothonku; saleleng ngolungku hu puji ho. (Lagu Pulo Samosir)
Dulu. Di suatu pagi menjelang siang, aku terbangun dengan tumpukan tipis tikar anyaman di atas tubuhku. Tikar yang adalah hasil anyaman sendiri yang terasa hangat. Tapi bukan hasil anyaman oppung boru. Kata oppung doli, rumah yang baik harus menyediakan banyak tikar.Â
Apalagi kalau memiliki banyak anak dan cucu. Sehingga ketika cuaca menjadi sangat dingin, selain dijadikan alas, tikar bisa digunakan untuk selimut.Â
Tikar yang banyak membuat oppung tidak cemas apakah cucu-cucunya akan kedinginan. Tikar-tikar berwarna coklat muda pucat tersebut biasanya disimpan oppung di dalam lemari kayunya dan akan dikeluarkan ketika cucu-cucunya berencana akan datang dan menghabiskan waktu libur di Samosir. 😄
Rumah utama oppung, biasa kami sebut jabu, adalah bangunan terbuka satu ruangan, berbahan dasar kayu tebal kuat yang sangat terawat. Seluruh bagiannya terbuat dari kayu.Â
Tidak ada paku di sana. Di langit-langit bagian dalam rumah di dekat pintu depan rumah, ada bagian yang menjorok ke dalam selebar 1 meter seperti loteng terbuka.Â
Bagian tersebut seperti rak memanjang yang kadang digunakan untuk menyimpan hasil panen. Bisa juga digunakan untuk para pemusik beserta semua alat musik tradisional  (gondang) jika tuan rumah mengadakan acara tertentu yang membutuhkan musik.
Lantai jabu oppung terbuat dari kayu dan terasa hangat. Jendelanya berbentuk segiempat, berada di dua sisi jabu dan berukuran kecil. Pintu di bagian belakang jabu seperti menggantung. Berbentuk segiempat dan tidak sampai dasar lantai. Dapur tambahan adalah bangunan tambahan yang berada di belakang jabu.Â
Sekarang, bangunan tambahan itu sudah tidak ada lagi. Diganti dengan bangunan rumah modern yang menggunakan semen, batubata dan dinding pembatas ruangan. Sehingga rumah oppung menjadi 2 bagian rumah yang dihubungkan dengan tangga.
Dari jalan raya di depan rumah, rumah tradisional oppung tak tampak. Namun, ketika berjalan menuju arah Palipi, akan tampak rumah oppung yang masih tampak terawat.Â
Ketika itu, di sepanjang jalan Samosir mulai dari Tomok menuju Hatoguan, sudah mulai jarang terlihat rumah tradisional Batak. Sebagian besar sudah menggantinya dengan rumah semen dan bertembok. Kalaupun masih ada, rumah-rumah tradisional tersebut tidak berada di tepi jalan raya, namun berada di bukit-bukit yang jauh dari jalan.Â
Oppung doli selalu berpesan untuk terus menjaga jabu oppung, sesekali mengunjungi sehingga kami selalu berkesempatan tidur di sana dan merasakan kehangatannya.Â
Ketika bagian rumah oppung ditambah dengan bangunan rumah modern, setiap kali kami (anak-anak dan cucu-cucu oppung) ke Hatoguan, kebanyakan kami memilih tidur di rumah depan (merujuk ke rumah modern yang berada di tepi jalan).Â
Aku, termasuk yang masih sering menikmati tidur siang di jabu. Yang aroma kayu dan hangatnya lantai masih ada. Sambil beralaskan dan berselimutkan tikar punya oppung.
Namun, ketika aku ingin menikmati pemandangan Danau Toba, aku akan turun menuju rumah depan dan menatap Danau Toba dari pintu rumah oppung.Â
Kembali ke lagu di atas yang artinya: Pulau Samosir adalah kampung halamanku; dari sanalah aku berasal, 'kan kuingat senantiasa; sepanjang hidupku, aku memujamu.
Rasa kagum yang juga berasal dari hangatnya rumah oppung yang di Samosir.Â
(RS)
***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI